Minggu 17 September 2017 lalu, tim Potehi Rumah Cinwa mendapatkan kehormatan untuk tampil di Vihara Buddhasena Batu Tulis Bogor atas undangan dari bapak Andri. Pementasan kali ini agak berbeda karena dilaksanakan bertepatan dengan upacara ulambana, sebuah prosesi penghormatan terhadap arwah leluhur. Maka tim mengangkat cerita bakti seorang anak pada orang tuanya. Cerita Ding Zhu, gadis muda yang seharusnya banyak bermain bersama temannya tetapi harus  merawat sang ibu yang sedang sakit dibawakan dengan luwes oleh dalang Meme.Â
Ketika Ding Zhu sedang bersedih karena keadaannya dan karena sang ayah yang belum kunjung pulang dari bekerja, rombongan Sun Go Kong yang juga terdiri dari Ti Pat Kay, Wu Cing dan Biksu Tong menghiburnya. Sun Go Kong yang dibuat lincah oleh dalang Pras menghibur Ding Zhu hingga ia kembali bersemangat untuk terus merawat sang ibu, apalagi ketika biksu Tong yang disuarakan oleh pak Uki memberi nasihat tentang pentingnya berbakti kepada orang tua.
Permasalahan datang ketika kuda satu-satunya milik keluarga Ding Zhu dicuri, tapi dengan bantuan Sun Go Kong pencuri kuda itu berhasil ditemukan dan kuda milik keluarga Ding Zhu kembali. Tetapi permasalahan tidak sampai di situ saja, rupanya persediaan uang pun beras milik keluarga Ding Zhu menipis. Akhirnya ketika sang ibu yang disuarakan oleh bu Woro tertidur, Ding Zhu pergi ke rumah pamannya untuk meminjam uang. Namun sial, Ding Zhu pulang dengan tangan kosong karena sang paman murka kepadanya. Ding Zhu pulang dengan sedih hati, hingga saat ia sampai di rumah sang adik mengabari kalau tetangga rumah dan pemilik kedai kopi dekat rumahnya memberi mereka uang dan beras.Â
Ding Zhu bersyukur tak ada habisnya kepada para dewa, kemudian datang lah rombongan Sun Go Kong yang kebetulan ingin menengok Ding Zhu. Mengetahui keadaan itu, Biksu Tong menyampaikan kalau semua berkah itu datang dari Ding Zhu yang selalu berbakti kepada sang ibu dan selalu melakukan upacara ulambana setiap tahunnya kepada para leluhur.
Sepanjang pertunjukan diiringi oleh campuran alat musik tradisional Tiongkok dan Indonesia. Dong ko (tambur), piak ko (semacam kentongan namun berukuran kecil), siaw lo (gembreng kecil), toa lo (gembreng besar), siauw bak, hyana, bangsi dan suling sunda. Perpaduan alat musik itujuga menggambarkan keberagaman dari tim Rumah Cinwa sendiri. Walau berbeda namun tetap satu dan saling mengisi. Pementasan berdurasi 45 menit itu ditutup dengan penyampaian pesan moral bahwa setiap karma baik di dalam kehidupan pasti akan selalu bertemu dengan karma baik lainnya.Â
Upacara ulambana membuahkan karma baik yang membuat manusia terhindar dari segala malapetaka duniawi. Penonton yang terdiri dari berbagai kalangan usia sangat terpukau dengan alur cerita yang ringan namun sarat nilai-nilai Buddhisme. Nilai yang bisa diterima secara universal dan tidak hanya untuk kalangan tertentu saja. Tim Potehi Rumah Cinwa lainnya yang terdiri dari Sekar, Bagya dan Deby sebagai pemusik pengiring pertunjukan; Arinda sebagai pengabadi momen; juga Kanya dan Viena sebagai penjaja merchandise juga sudah mempraktekan toleransi keberagaman di pementasan ini.Â
Semoga untuk seterusnya Tim Potehi Rumah Cinwa tetap menjunjung nilai-nilai luhur dengan melestarikan wayang Potehi. Sampai berjumpa di panggung Potehi tim Rumah Cinwa selanjutnya! Salam Potehi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H