Mohon tunggu...
Sekar Ayu Woro Yunita
Sekar Ayu Woro Yunita Mohon Tunggu... -

Young forester. Interested in conserving nature, involvement of indigenous people and creating model of sustainable development.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mimpi Kecil untuk Desa Samas

30 Mei 2014   22:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pantai Samas?” begitu kira-kira tanggapan dari teman-teman ketika saya menanyakan apakah mereka sudah pernah mengunjungi Pantai Samas. Sebuah pertanyaan singkat pembuka diskusi mengenai Research di sesi training yang kesekian dari Gadjah Mada Inspiration Forum. Saya yang menjadi pelontar pertanyaan tak terlalu heran mendapati respon teman-teman saya yang malah balik mempertanyakan dimana-itu-pantai-Samas, bahkan beberapa meragukan eksistensinya.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke Pantai Samas di Bantul, DI Yogyakarta. Melepas penat di akhir pekan sekaligus mencari objek foto vegetasi cemara udang untuk dibawa ke simposium yang akan saya hadiri pada bulan Agustus mendatang. Bagi mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, nama pantai Samas ini justru yang paling bersahabat di telinga mereka, karena adanya proyek pengabdian masyarakat oleh dosen yakni penanaman cemara udang di tempat tersebut. Tujuan dari proyek tersebut adalah untuk menahan masuknya angin ke daratan, sehingga lahan pertanian yang terletak tidak jauh dari pesisir pantai Samas dapat diminamilisir kerusakan tanamannya yang bisa berujung pada gagal panen.

Meski begitu, bagi saya Pantai Samas adalah sebuah ironi. Hasil bincang-bincang dengan salah seorang warga Samas yang telah tinggal selama kurang lebih tiga puluh tahun di wilayah tersebut telah membuka mata saya. Di satu sisi, Samas merupakan kebanggaan akan keberhasilan sebuah pembangunan, namun di sisi lain banyak luka di dalamnya yang harus segera diobati akibat kurang optimalnya program keberlanjutan dari pembangunan tersebut. Keberhasilan penanaman cemara udang yang telah dilakukan memang membawa cukup banyak dampak positif ke kehidupan masyarakat lokal. Penanaman yang disebut-sebut oleh masyarakat sebagai ‘penghijauan’ ini memang membuka kesempatan bagi masyarakat untuk bercocok tanam jenis tanaman pertanian seperti ketela, palem, bahkan buah naga. Selain itu juga, mereka mulai dapat beternak kambing dengan membudidayakan tumbuhan bawah yang hidup dibawah tegakan cemara udang sebagai pakannya.

Namun, tidak semua masyarakat pantai Samas yang dapat merasakan hal tersebut. Menurut narasumber (ibu Puji Suwarno), masyarakat yang digolongkan ‘berada’ di pantai tersebut adalah yang bermata pencaharian sebagai petani. Sementara pasokan modal dari pemerintah untuk bercocok tanam seperti pupuk, dan peralatan tani lainnya sudah macet sejak beberapa tahun silam. Sehingga, tidak semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan untuk bertani. Ibu Puji sendiri sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul kayu kali. Dalam satu hari, ibu Puji harus mengumpulkan kayu kali sebanyak satu truk untuk bisa makan pada hari tersebut. Sementara itu, suamiibu Puji bekerja sebagai penggergaji kayu. Betapa miris, di usia yang sudah tergolong senja, ibu Puji dan suaminya masih harus bekerja keras untuk mencari makan.

Ibu Puji juga menjelaskan bahwa sumber pendapatan masyarakat Samas lainnya yakni terletak di sektor pariwisata. “Ketika dulu Samas berjaya, masih bisa makan,” jelas ibu Puji. Ya, sisa-sisa kejayaan Samas tersebut masih terlihat pada banyaknya warga yang menjual makanan dan perlengkapan mandi serta banyaknya kamar mandi umum di dekat vegetasi cemara udang. Namun sekarang, jangankan turis, kegiatan masyarakat lokal saja tampak tak bergeliat di pantai Samas. Dengan deburan ombak dan suara gesekan daun cemara yang terterpa angin, pesisir pantai Samas bagai kota mati jika tak ada suara anak-anak kecil yang berlarian di pekarangan rumah warga. Bahkan ketika saya dan teman-teman pertama kali datang ke pantai Samas, kami segera disambut oleh tatapan heran dan takjub dari beberapa warga Samas yang tengah duduk santai di beranda rumah.

Menurut analisis singkat yang saya lakukan, banyak faktor yang mempengaruhi kurang maksimalnya pengelolaan pariwisata dan menurunnya kesejahteraan masyarakat di pantai Samas ini. Sederhananya, masih banyak kealfaan dalam pengelolaan pantai Samas yang digadang-gadang sebagai “tempat wisata” ini. Jika dirunut dari empat unsur yang menjadi syarat tempat wisata menurut Undang-Undang, pantai Samas bahkan masih belum memenuhi setengahnya secara optimal.

Keempat unsur tersebut adalah daya tarik, aksesibilitas, infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Secara general, pantai Samas sudah memiliki daya tarik dan potensi yang cukup besar, namun kurangnya perhatian dari pemerintah membuat daya tarik pantai Samas masih kalah dibandingkan pantai-pantai tetangganya seperti pantai Parangtritis dan pantai Depok. Padahal, banyak daya tarik yang bisa ditonjolkan dari pantai Samas. Jika pantai Parangtritis menonjolkan pesona spiritual dan historis, kemudian pantai Depok menonjolkan kulinernya, pantai Samas juga bisa menjajakan keindahan vegetasi cemara udang dan kekhasan masyarakat lokalnya. Misalnya dibangun wisata live in untuk bisa merasakan hidup sebagai masyarakat Samas dalam mengelola vegetasi cemara udang, beternak dan bertani di daerah pesisir, atau menjajakan keunikan masyarakat lokalnya seperti yang dilakukan di Desa Suku Sasak Sade Lombok.

Aksesibilitas pantai Samas sudah dapat dikatakan cukup baik, meski saya sempat kebingungan dalam mencari jalan karena mungkin belum tahu daerah Bantul. Bahkan ketika terakhir kesana, terdapat pembukaan lahan pertanian untuk membuat jalan baru menuju pantai Samas.

Perbaikan ekstra sangat dibutuhkan untuk menunjang unsur infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat. Infrastruktur yang masih sangat minim terlihat jelas dengan tidak adanya lahan parkir di pantai Samas. Hal yang menurut saya cukup menggelikan untuk suatu lokasi yang disebut sebagai ‘tempat wisata’. Ketika saya dan teman-teman tiba di pantai Samas, tempat yang langsung kami cari sebagai wisatawan tentu saja adalah lahan parkir. Namun, betapa terkejutnya kami ketika mengetahui bahwa sebagian besar warga yang bertempat tinggal di dekat gapura pantai Samas-lah yang menjajakan teras rumahnya untuk lahan parkir.

Selain lahan parkir, di Samas juga tidak ada tempat penginapan, bahkan sarana vital seperti tempat ibadah (masjid) kurang terurus. Mukena yang disediakan sudah kotor, bau, bahkan berdebu karena tidak pernah dipakai dan dicuci. Lantai masjidnya pun berselimutkan debu yang cukup tebal untuk ukuran masjid yang berada di tengah pemukiman.

Pemberdayaan masyarakat pantai Samas juga masih perlu ditingkatkan lagi. Kenyataan bahwa masih banyak masyarakat yang belum tahu cara mengelola sumber daya di sekitarnya, membuang sampah tidak pada tempatnya (terdapat tumpukan sampah di beberapa titik di vegetasi cemara udang) seharusnya sudah cukup menampar para akademisi untuk bangkit dan bergerak dalam mengedukasi mereka. Pengarahan mengenai pengelolaan tempat wisata, pemeliharaan tegakan cemara udang, dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata di pantai Samas.

Singkat kata, perlu adanya kerjasama yang terintegrasi antar disiplin ilmu dalam pembangunan kembali pariwisata di pantai Samas. Saya memimpikan terbentuknya model pembangunan berkelanjutan dengan memaksimalkan sektor lingkungan dan sosial untuk mencapai perbaikan perekonomian warga desa Samas, dan saya yakin tidak ada yang tidak mungkin. Dalambeberapa tahun lagi, mungkin.. ketika saya lulus dan memiliki pengetahuan yang mapan untuk memperbaiki desa-desa tertinggal di Indonesia, saya akan kembali untuk mengabdi dan mewujudkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun