Mohon tunggu...
Sekar Ayu Woro Yunita
Sekar Ayu Woro Yunita Mohon Tunggu... -

Young forester. Interested in conserving nature, involvement of indigenous people and creating model of sustainable development.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bermimpi Sampai Kalundborg: Sebuah Tulisan Tentang Ekologi Industri

19 Juni 2014   21:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:06 1892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“...akan ada saatnya ketika tantangan lingkungan tak lagi sekedar pencemaran lokal, melainkan ancaman global,” (Green Economy)

Di tengah maraknya kampanye pilpres ini, saya masih sibuk ngumpet dibalik salah satu sudut Gramedia Malioboro Mall dan menemukan buku yang cukup menarik berjudul “Ekologi Industri 2”. Bukannya ignoran dengan isu yang tengah hangat berkembang di negeri ini, hanya lelah dengan black campaign sana-sini yang dilontarkan di berbagai media sosial padahal masih banyak hal yang jauh lebih penting yang bisa kita lakukan dan masih banyak masalah di Indonesia yang harus segera kita atasi dengan bergandeng tangan. Salah satunya adalah masalah lingkungan yang semakin menjadi permasalahan pelik tiap kepala sehari-harinya. Dan kini semua saling menyerang soal pilih siapa? Please. Sejauh yang saya lihat, siapapun presidennya, masih belum ada yang berinisiatif untuk berbicara soal Ekologi Industri. Padahal jika bisa menjanjikan penerapan ekologi industri di Indonesia, bayangkan berapa banyak masalah yang bisa teratasi; mulai dari ekonomi, pangan, sampai lingkungan. Apalagi seperti kita ketahui sektor industri memiliki dampak dan pengaruh yang sangat signifikan pada keadaan lingkungan serta perekonomian.

Lantas sebenarnya, apa itu ekologi industri?

Ekologi industri adalah studi mengenai aliran energi dan materi dalam sistem industri. Istilah Ekologi Industri dipopulerkan oleh Robert Frosch dan Nicholas E. Gallopoulos dalam artikel yang berjudul “Scientific American”. Dalam artikel tersebut, mereka mempertanyakan "why would not our industrial system behave like an ecosystem, where the wastes of a species may be resource to another species? Why would not the outputs of an industry be the inputs of another, thus reducing use of raw materials, pollution, and saving on waste treatment?". Intinya, Ekologi Industri adalah sistem industri yang berjalan seperti ekosistem, dimana buangan dari suatu industri dijadikan sebaagai bahan baku dari industri yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga tidak ada emisi yang terbuang.

Aplikasi dari ekologi industri ini sudah ada di beberapa negara maju. Contoh yang paling terkenal yaitu di Kalundborg, Denmark, yang disebut-sebut sebagai Eco-industrial park pertama di dunia. Di Kalundborg, terdapat enam industri yaitu Pusat Pembangkit Listrik Asnaes, Industri pemurnian minyak Statoil, Perusahaan bioteknologi Novo Nordisk, Industri kayu lapis Gyproc, dan Perusahaan remediasi tanah Bioteknisk Jordrens, serta pemukiman warga kota Kalundborg.

Pusat pembangkit listrik Asnaes ini menjadi jantung dari jaringan pertukaran di Kalundborg, dimana surplus panasnya dialirkan ke 3500 rumah di pemukiman lokal serta peternakan ikan di Kalundborg. Para pemilik rumah ini hanya membayar pipa bawah tanah yang digunakan untuk mengalirkan panas dari Asnaes ke rumah mereka masing-masing dan membayar panas yang dihasilkan oleh Asnaes dengan harga rendah. Limbah sludge dari Asnaes dijual dalam bentuk pupuk. Uap dari pembangkit listrik Asnaes juga dijual ke Novo Nordisk dan Industri pemurnian minyak Statoil dimana dengan membeli uap dari Asnaes ini, berarti Novo Nordisk dan Statoil bisa mematikan boiler uap yang dianggap tidak efisien dan tidak environmentally friendly. Sementara itu, abu yang dihasilkan dijual ke pabrik semen di Denmark utara dan gipsum yang dihasilkan dari proses desulfurisasi dijual ke Industri kayu lapis Gyproc. Dua per tiga dari kebutuhan gipsum oleh Gyproc ini dicukupi oleh Asnaes, sehingga mengurangi frekuensi pertambangan.

Tidak selesai sampai disitu, semua pertukaran tersebut berkontribusi pada efisiensi penggunaan air di Kalundborg. Skema daur ulang air juga digunakan di sistem ini, dimana Statoil mengalirkan 700.000 m3 air pendingin ke Asnaes untuk dibersihkan dan digunakan sebagai “boiler feed-water”. Selain itu, Asnaes juga menggunakan 200.000m3 air buangan Statoil untuk pembersihan.

Hasilnya? Kota Kalundborg dianggap sebagai kota paling bersih dengan efisiensi penggunaan bahan bakar mencapai 90%. Limbah produksi seperti abu layang, sulfur, lumpur dan gipsum dapat dimanfaatkan menjadi produk dengan nilai lebih.

Pertanyaannya, bisakah Ekologi Industri diterapkan di Indonesia?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita cermati beberapa fakta yang saya dapat dari berbagai penelitan, jurnal, dan mengamati langsung di lapangan. Di Indonesia sendiri memang belum ada wujud nyata dari penerapan ekologi industridalam skala besar seperti di Kalundborg, tetapi sudah banyak jurnal penelitian yang mengarah kesana dan hasilnya mengindikasikan adanya potensi Indonesia untuk menuju ke industri yang berwawasan lingkungan.

Menurut Deni Swantomo et al (2007), penerapan ekologi industri di Indonesia saat ini sebenarnya sudah ada, hanya saja masih pada tahap pengembangan dan masih sangat sedikit kawasan industri yang menetapkannya. Indonesia sebagai negara agraris yang besar sangat berpeluang untuk dikembangkan kawasan ekologi industri berbasis industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri).

Sebagai contoh penerapan kawasan ekologi industri pada industri gula. Meskipun masih sebatas ide, namun cukup memungkinkan dan berpotensi untuk diterapkan di Indonesia. Industri gula yang dimaksud ini akan melibatkan industri kertas, industri pupuk, industri biogas, industri penyulingan etanol dan industri pengolahan limbah. Dimana dari kawasan pertanian tebu, masuk ke industri gula akan dihasilkan gula, dan produk sampingan berupa tetes tebu dan limbah serat selulosa. Tetes tebu kemudian dialirkan ke industri penyulingan etanol menjadi etanol dan serat selulosa dialirkan ke industri kertas menjadi kertas. Limbah yang dihasilkan dari industri kertas berupa sludge (limbah lumpur) dialirkan ke industri pupuk menghasilkan pupuk. Setelah itu, pupuk digunakan pada kawasan pertanian tebu, dan digunakan lagi dalam industri gula, begitu seterusnya. Sementara itu, pada waktu yang bersamaan industri biogas menghasilkan energi yang digunakan sebgai bahan bakar industri gula dan effluent untuk industri pengolahan limbah. Hasil dari industri pengolahan limbah yakni berupa limbah lumpur yang dialirkan ke industri pupuk untuk diubah menjadi pupuk dan air daur ulang yang dialirkan ke industri penyulingan etanol untuk menjadi etanol.

Betapa efisien, bukan? Tidak ada emisi yang terbuang, ramah lingkungan, dan menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Kesempatan untuk menerapkan konsep ekologi industri sudah ada—bahkan sangat banyak—lantas bagaimana dengan kesadaran masyarakatnya?

Menurut hasil penelitian dari jurnal Psikologi yang diterbitkan pada tahun 1995 oleh UGM, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri manufaktur justru lebih peduli dengan kelangsungan hidup lingkungannya dibanding responden di sekitar kawasan pariwisata! Hal yang mengejutkan, bukan? Masyarakat yang tinggal di sekitar industri sering dianggap masyarakat yang tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Paradigma ini terbentuk karena lingkungan industri diidentikkan dengan kumuh, banyak sampah non organik dan limbah yang mengalir di sungai. Ternyata hal tersebut salah besar. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri manufaktur justru menunjukkan wawasan yang lebih memperhatikan lingkungan dibanding di sekitar kawasan pariwisata. Hal ini terjadi karena kondisi sekitar industri manufaktur memang kurang baik, sehingga menimbulkan reaksi berupa harapan maupun kesadaran untuk memperbaikinya.

Omong-omong soal masyarakat, tentu tidak bisa lepas dari pelajar dan mahasiswa yang nantinya akan menjadi tonggak pembangunan bangsa. Menurut saya, pembelajaran mengenai ekologi industri sudah harus ditanamkan sejak dini. Ekologi industri harusnya masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah dan di jurusan-jurusan yang terkait seperti Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik PWK, Teknik Nuklir, Kehutanan, Pertanian, Teknologi Pangan, Psikologi, dll. Sebagai mahasiswa kehutanan, jujur saja adanya pelajaran mengenai Ekologi Industri akan sangat saya perlukan, mengingat masih banyaknya industri kehutanan (seperti perusahaan palm oil, pulp & paper, dll) yang belum berbasis kelingkungan. Dengan adanya pelajaran/mata kuliah mengenai ekologi industri juga menunjukkan adanya keseriusan dunia pendidikan dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Sangat besar kesempatan Indonesia untuk menerapkan konsep industri berwawasan lingkungan ini. Peran pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong industri kita menerapkan ekologi industri. Pemerintah dapat berperan dalam pembuatan kebijakan peraturan dan pemberian insentif bagi industri yang menerapkan ekologi industri. Sementara masyarakat bisa berperan dengan menjadi konsumen yang dapat menekan industri dengan memilih produk lokal yang dihasilkan dari proses yang environmentally friendly.

Lantas, kini saatnya kembali untuk menjawab pertanyaan di atas: bisakah ekologi industri diterapkan di Indonesia? Jawabannya: bisa! Bahkan kita bisa memulainya dari sekarang. Tidak perlu menunggu pemerintah mencatatnya dalam sebuah kebijakan/regulasi untuk melakukannya. Tak perlu menunggu dipaksa untuk menekan limbah dan emisi yang terbuang sia-sia. Lagi-lagi saya sepertinya akan menutup tulisan ini dengan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat ingin saya wujudkan dalam waktu dekat, yakni mimpi untuk bisa membangun desa binaan yang merintis eco-industrial park seperti yang ada di Kalundborg, Denmark. Well, tidak ada yang tak mungkin :)

DAFTAR PUSTAKA

http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_ecology. Diakses pada 1 Juni 2014: 20.23

http://en.wikipedia.org/wiki/Kalundborg_Eco-industrial_Park. Diakses pada 1 Juni 2014: 19.20

http://jambiprov.go.id/images/ragam/masterplan/laporan_antara_bab_7.pdf. Diakses pada 2 Juni 2014: 21.04

Djajadiningrat, Surna T., Famiola, Melia., Hendriani, Yeni. 2011. Green Economy. Bandung: Rekayasa Sains.

Faturochman., Himam, Fathul. Wawasan Lingkungan Masyarakat di Daerah Industri. Universitas Gadjah Mada. Jurnal Psikologi 1995 No. 1, 31-40.

Putra, Agusta Samodra., Putra, Herlian Eriska., Hariyadi, Hari Rom., Djaenudin. Ekologi Industri Pengembangan Bioetanol Berbahan Dasar Limbah Pangan Sebagai Salah Satu Bentuk Kemandirian Energi di Indonesia. Bandung: Pusat Penelitian Kimia LIPI.

Swantomo, Deni., Christina, Maria., Megasari, Kartini. 2007. Kajian Penerapan Ekologi Industri di Indonesia. Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN. Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, 21-22 November 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun