Menjalin hubungan relasi yang intim (pacaran) menjadi hal yang wajar. Â Namun disayangkan angka kekerasan dalam pacaran mencapai 1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua dalam data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021). Â
Kekerasan dalam pacaran didefinisikan sebagai perilaku yang bersifat mengancam dan menyiksa yang dilakukan seseorang terhadap pasangannya dalam hubungan yang bersifat pacaran dan belum menikah (Sugerman, 1989 dalam Meadows, 2005). Â
Dalam kenyataannya masyarakat masih menafsirkan kekerasan sebagai bentuk pemukulan saja. Padahal tindak kekerasan itu banyak jenisnya.Â
Berdasarkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) menyebutkan ada beberapa jenis kekerasan, sebagai berikut:
1. Â Kekerasan Terbuka (overt) Â Yakni kekerasan fisik yang dapat dilihat, seperti perkelahian, pukulan, tendangan, menjambak, mendorong, sampai pada membunuh.
2. Kekerasan Tertutup (covert) Â Biasanya dikenal dengan kekerasan psikis atau emosional. Kekerasan ini sifatnya tersembunyi, seperti ancaman, hinaan, atau cemooh yang kemudian menyebabkan korban susah tidur, tidak percaya diri, tidak berdaya, terteror, dan memiliki keinginan bunuh diri.
3.  Kekerasan Seksual  Merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual (meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal seperti membuat komentar, julukan, atau gurauan porno yang sifatnya mengejek, juga membuat  ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.Â
4. Kekerasan Finansial atau Definisi Kekerasan yang dilakukan dalam bentuk eksploitasi, memanipulasi, dan mengendalikan korban dengan tujuan finansial. Serta memaksa korban bekerja, melarang korban bekerja tapi menelantarkannya, atau mengambil harta pasangan tanpa sepengetahuannya.
Meskipun membawa dampak negatif bagi korban, banyak korban yang memilih bertahan. Sebanyak 40% sampai 70% wanita yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran mempertahankan atau kembali ke dalam hubungan tersebut selama kurun waktu tertentu (Ben-Porat & Itzhaky, 2008; Davhana-Maselesele, dkk., 2009; Horwitz &
Skiff, 2007 dalam Duley, 2012)
Lalu apakah alasan korban bertahan dan kembali lagi setelah berkali-kali mengalami kekerasan. Ada beberapa alasan korban memilih untuk bertahan, salah satu teori yang digunakan untuk memahami kondisi ini adalah Stockholm Syndrome.Â