Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sri

3 Oktober 2012   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:20 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349241256129960274

Hari ini wajahmu nampak begitu lelah, Sri. Entah apa yang sudah kau lakukan hingga seperti itu. Kau seka lagi air matamu yang mulai mengering di pipi. Kau baru saja menangis. Mengeluarkan air mata untuk sesuatu yang sama sejak beberapa bulan yang lalu. “Aku selalu merindukanmu, Mas.” Itu yang selalu kau ucapkan di sela isakanmu yang kaupikir tak boleh didengar orang lain. Tapi jelas Tuhan mendengarnya, Sri.

Lepas dari kegiatan sehari-hari yang lumayan menyita pikiranmu – mengurusi pesanan lemper yang disetor ke beberapa warung langganan – kau kembali mengurung diri di kamar. Kau langsung menuju meja dan menarik salah satu laci di sisi kiri. Ada selembar foto lusuh di laci itu. Kau mengambilnya dan menutup lagi laci itu. Kau duduk di tepian ranjang kapuk tua. Ranjang itu menjadi saksi bisu cintamu dengan seseorang yang tergambar di foto lusuh itu. Sesekali kau membiarkan jemarimu memanjakan diri menelusuri wajah pada foto itu. Dan tak lama, air matamu mengalir lagi. Kali ini tanpa isakan. Rupanya kau sudah terlalu mahir meredamnya, Sri.

Tak lelah kau pandangi wajah pada foto lusuh itu. Kadang terlintas tanya di pikiranmu, seperti apa rupa wajah itu sekarang. Apakah sudah berubah seiring waktu? Atau si empunya wajah menjaga agar kau tak terlalu kaget jika nantinya kalian akan bertemu lagi. Tanpa kausadari, ada segaris senyum muncul pada wajah sendumu, Sri. Cukup lama kau mengembangkan senyum itu. Ya. Paling tidak, sampai tak kausadari pula, air matamu kembali jatuh menuju bumi.

Sejenak kau melepaskan pandangan dari wajah pada foto lusuh itu. Pandanganmu tertuju pada benda tipis berlapis-lapis yang berisi urutan angka. Lalu kau beranjak ke arah benda itu tergantung, pada salah satu sisi tembok di kamarmu. Jemarimu menyusuri deretan angka yang tertera di sana. Kau menghitung hari. Pelan-pelan. Berulang-ulang. Sampai kau yakin. Kau angkat foto lusuh itu lagi sampai sebatas dada. Dan kau tersenyum, sembari berkata, “Seratus hari lagi. Seratus hari lagi kita akan segera bertemu, Mas.” Lalu kau mendekap foto itu dengan segenap perasaanmu.

--- @@@ ---

Foto, klik image.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun