Aku melihatnya lagi. Di duduk di tempat yang sama setiap harinya – di bangku paling tepi sebelah kanan. Dia datang pada waktu yang sama tiap harinya, sore hari menjelang senja menampakkan diri di horison barat. Sambil menekuni hiasan manik-manik pada tas tangannya, sesekali ia melongok ke sebelah kanan, seolah menunggu sesuatu – atau seseorang. Kadang juga ia membuka tasnya, mengeluarkan selembar tisu, lalu mengusap sesuatu yang meleleh dari matanya. Dia menangis tanpa suara, dan tanpa raut sedih. Di hari ke sekian aku melihatnya lagi duduk di bangku yang sama, aku tak tahan. Maksudnya, aku terlalu sentimental melihatnya menangis. Jika ia perempuan normal, menangis biasanya tersedu-sedu. Atau, paling tidak, tunjukkanlah ekspresi sedih. Hei, aku hampir saja menyebut perempuan itu ‘tidak normal’. Lancangkah aku? Tapi, aku tidak melantangkan kalimat itu di depannya.
Tahu apa yang membuatku terperangah suatu hari? Ia bicara padaku! Ya, bicara! Seperti manusia normal kami berbincang.
Awalnya, dia menanyakan pukul berapa saat itu. Aku melihat di pergelangan kirinya, jam tangan warna marun yang biasa ia pakai tidak ada di sana. Aku katakan padanya, masih cukup terang untuk melihat apa yang ia tunggu. Dia kembali diam dan meniti lagi manik-manik di tasnya. Apa yang membuatku gusar adalah hal yang ia tunggu. Aku tak pernah bisa tuntas mengetahui apa yang ia tunggu. Aku selalu pergi dari halte itu ketika bus pukul enam datang. Tak jarang, aku ingin mengabaikan saja bus pukul enam itu, menemaninya sampai apa yang ia tunggu akhirnya tiba. Tapi, itu berarti, aku harus kehilangan lima dolar untuk semalam – dan untuk selama-lamanya karena pria kurus yang kusebut ‘bos’ itu tak akan mau memakaiku lagi sebagai pekerjanya. Tapi, rasa penasaranku semakin besar terhadap perempuan itu.
Kuceritakan, perempuan itu cantik, tapi kecantikannya terhalang awan kelabu yang bernama kecemasan. Kantung matanya menghitam, tapi ia mahir menutupnya dengan riasan. Wajahnya seolah tanpa noda, tirus, dan pucat. Bibir tipis itu selalu menggodaku, tak pernah terlapisi perona apa pun. Nampak alami dan – sekali lagi – sangat menggoda! Perempuan ini kira-kira sedikit lebih pendek dari aku – jika ia melepas alas kakinya yang tebal itu. Aku, lelaki dengan tinggi 6,5 kaki. Cukup tinggi. Dan, kuharap cukup berani untuk melewatkan saja bus pukul enam itu. Demi melihatnya lebih lama lagi.
Dan, aku benar-benar melakukannya malam ini! Ehm, tidak. Tepatnya, aku tertinggal bus itu. Aku baru sampai di tikungan blok ketika bus itu tiba di halte. Aku sudah berlari, tapi bus itu sudah melaju terlalu jauh. Akhirnya, setelah berlari hampir setengah mil – aku berlari sejak keluar dari apartemenku – aku kembali ke halte dan menghempaskan begitu saja tubuhku ke bangku. Aku sampai tidak melihat perempuan itu, dia ada di sana dan melihatku dengan tatapan empati.
“Hai,” sapaku. Aku bahkan tak sadar, aku sudah menyapanya!
Perempuan itu hanya tersenyum takut-takut. Entah mengapa. Padahal tak ada orang lain di sekitar kami. Aku hanya berdua dengannya di halte ini.
“Jangan takut!” kataku lagi, yang sedetik kemudian kusesalkan telah mengucapkannya.
“Aku tidak pernah takut.” Ajaib! Dia membalas perkataanku!
“Aku tidak menyebutmu begitu.”
“Kau menyebutnya. Kau menyuruhku agar jangan takut.”
“Kalau begitu aku minta maaf.”
Dia diam saja.
“Sebenarnya aku ingin bertanya padamu. Banyak hal. Maukah kau menjawabnya?”
Dia masih diam.
“Hei, aku bicara padamu. Bukan pada poster usang di belakang tempat dudukmu.”
Dan, dia tetap diam! Lalu, dengan gerakan terburu-buru, ia mengambil secarik kertas dan pena dari tasnya. Ia menulis sesuatu pada carik kertas itu, juga dengan terburu-buru. Selesai, ia meremas-remas kertas itu dan melemparnya ke dekat kakiku. Saat itu aku belum sadar apa yang ia lakukan. Dan, tiba-tiba saja sebuah Ferrari menikung tajam dari sudut blok, berhenti tepat di depan halte, lalu salah satu pintunya terbuka dengan cepat. Perempuan itu langsung masuk ke dalam Ferrari dan menghilang ke arah selatan.
Aku tersadar sekian detik kemudian. Kupungut kertas yang tadi dilemparnya ke arahku.
Jangan pergi dari halte ini. Satu jam lagi aku kembali. Dan, di saat aku kembali, jangan sampai pengemudi Ferrari ini melihatmu.
Ini betulan? Atau… apa? Apa yang ia lakukan selama satu jam dengan orang di dalam Ferrari itu? Ingin rasanya mencari tahu, tapi untuk apa? Aku bahkan tak mengenal perempuan itu. Aku tak tahu siapa namanya, di mana ia tinggal, apa pekerjaannya. Dan, sekarang perempuan itu menyuruhku menunggunya. Huh?! What a day!
Aku menyeberang jalan, masuk ke dalam sebuah café dan memilih bangku yang bisa leluasa memandang halte. Kaca pada dinding ini hanya bisa untuk melihat keluar dan tidak sebaliknya. Aku memesan segelas bir, lalu mulai menunggu.
Satu jam berlalu, aku sudah menghabiskan lima batang kretek. Tapi, Ferrari itu belum juga datang. Ya, sudah. Aku memutuskan, perempuan itu gila! Tapi, mungkin aku lebih gila darinya karena sudah mempercayai kata-katanya. Aku berdiri, membayar tagihanku, dan mengambil koran edisi pagi tadi. Yeah, aku harus mencari pekerjaan baru malam ini.
Baru saja aku membuka pintu café, suara berdecit itu muncul. Dia datang! Hatiku memberi tahu otakku! Kututup lagi pintu café, aku menunggu di ambangnya. Kendaraan merah menyala itu menurunkan seorang wanita di halte, lalu melaju lagi dengan kecepatan tinggi. Mataku mengikuti sedan merah itu sampai menghilang di balik tikungan blok. Lalu, mataku beralih pada perempuan di halte itu. Astaga! Apa yang terjadi?
Aku membuka pintu café dan langsung berlari menyeberang. Dua detik kemudian, aku sudah di hadapan perempuan itu. Pakaiannya tak keruan, compang camping, seperti terburu-buru ia memakainya. Riasannya terhapus di beberapa bagian, kecuali di bibirnya karena perempuan itu tak pernah memakai lipstick.
“Apa yang terjadi?” Kuberanikan diri bertanya.
Perempuan itu menangis dan langsung menghambur ke tubuhku. Air matanya membasahi kemejaku. Dia mendekapku seolah tak ingin kehilangan. Tangisnya bersuara, ada isakan yang memilukan. Aku lingkupkan kedua tanganku ke tubuhnya. Ya, Tuhan! Dia kurus sekali!
Tak lama kemudian, tangis berhenti, tapi isaknya masih terdengar sesekali. Dan, dia masih bertahan mendekapku.
“Sudah bisa bicara?” tanyaku pelan-pelan.
“Kau boleh membawaku,” katanya, sambil melepas dekapannya. “Aku perempuan bebas sekarang.”
“Apa maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Aku menunggu saat ini datang,” katanya sambil menatapku. “Aku tahu saat ini pasti datang, hanya saja tak tahu kapan.”
Aku makin tak mengerti.
“Tadi pagi aku mendapat kabar dari Bronx, ibuku meninggal. Jantungnya sudah tak kuat lagi menahan derita. Aku tidak menangis karena berita itu, karena itu artinya, aku sudah bebas. Setiap malam, aku tidak perlu lagi masuk ke Ferarri itu, menyodorkan tubuhku untuk pemiliknya, dan menerima lima puluh dolar untuk satu jam. Pria itu selalu kasar, tapi aku butuh dia. Aku butuh uangnya, hanya agar ibuku mendapat perawatan layak di rumah.”
Ah, aku sedikit mengerti sekarang. Kubiarkan perempuan itu melanjutkan ceritanya.
“Ketika aku melihatmu pertama kali, aku tahu, aku bisa bahagia denganmu.”
“Whoaa! Kau tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan,” kataku.
“Aku tahu. Tapi, otakku selalu meneriakkan itu setiap melihatmu.”
“Jangan jadi naïf!”
“Aku tidak peduli.”
“Aku bukan orang yang tepat, Dear. Malam ini aku bahkan kehilangan pekerjaanku. Apa yang bisa kau andalkan dari pria macam aku? Aku tak mau kau menderita lagi. Lebih baik kau pergi ke tempat lain. Carilah orang yang bisa membahagiakan dirimu. Bukan dengan cinta semata. Karena cinta juga butuh uang untuk membuatnya tetap tumbuh. Tidak banyak, yang penting cacing-cacing di perutmu tidak meronta setiap harinya.”
Dia menggeleng, tak setuju dengan ucapanku.
“Aku bahkan tak tahu namamu,” kataku lagi.
“Jadi, kau tidak menginginkanku?” tanyanya. “Lalu, untuk apa kau menungguku malam ini?”
Ah, dia benar. Aku memang menunggunya. Tapi, itu lebih karena rasa penasaranku yang meledak-ledak di dalam sini, di otakku, juga di sini, di perutku, yang seperti diaduk oleh sayap raksasa kupu-kupu tropis. Aku menunggunya karena aku… peduli padanya.
“Baiklah,” katanya, “aku akan pergi. Aku akan menuruti ucapanmu, mencari yang lain, yang lebih tepat untukku. Meski dengan begitu, aku harus kembali menjual cintaku pada mereka yang mau menerimaku.”
“Kenapa kau sebut itu menjual?”
“Karena aku hanya mau memberikannya padamu, bukan kepada pria lain.”
“Oh, Dear. Itu… manis, tapi tak masuk akal. Kita tidak saling kenal.”
“Apa ini masuk akal untukmu?”
Dan, tiba-tiba saja, bibirnya sudah menyentuh bibirku, memagutnya perlahan dengan segala kelembutannya. Dadaku menjadi sesak, ingin meledak. Aku meraih pinggangnya, membawanya lebih dengan denganku. Dia menuruti apa yang kuperintahkan dengan tanganku. Aku membelai rambut hitamnya, seolah aku membelai sutra terbaik dari Asia. Aku sentuh tengkuknya, telinganya, wajahnya…, dadanya! Dan, secara tiba-tiba, ia melepas pagutannya, lalu pergi begitu saja, tanpa melihat lagi ke belakang. Dia juga lupa memberi tahu namanya padaku.
Aku tertegun memandang punggungnya yang semakin menjauh. Punggung terindah yang pernah kusentuh. Dan, setelah ia menghilang di balik tikungan blok, segalanya jadi masuk akal bagiku. Aku jatuh cinta padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H