Moy, boleh nanya?
Eh, lagi wawancara nih? *benerin jilbab* Boleh, boleh. Mo nanya apaan?
Nomer sepatu lu berapa?
Hah?
Eh, salah catetan. Bentar. *kebat-kebet notes* Nah, ini dia. Elu kan sering banget tuh ngomel-ngomel di wall ––
Lha, ngomel-ngomel di wall?
Iya, ngomel-ngomel di wall. Elu bilang, kebanyakan penulis pemula males banget melakukan self-editing.
Oh, itu. Jadi, gini. Nggak terhitung banyaknya penulis senior dan editor yang membuat artikel soal pentingnya self-editing. Tapiiiiii…, kok ya masih banyak yang dengan pedenya ngirim naskah berantakan ke penerbit. Yakin naskahnya layak terbit? Yakin cerita yang dibikin bisa meluluhkan hati peninjau naskah? Meskipun kisah yang ditawarkan sekelas serial Divergent, The Hunger Games, atau kisah-kisah romance-nya Nicholas Sparks, tapi kalo naskah kalian berantakan, ya bakalan langsung di-skip ama peninjau.
Berantakan versi peninjau dengan versinya pembaca jelas beda lho yak. Berantakan di sini nggak melulu soal ketikan yang nggak rapi, tapi ada beberapa kesalahan yang masuk kategori berantakan dan harusnya sudah terbabat habis di sesi self-editing.
Oya, ini nggak papa ya wawancaranya nggak pake bahasa baku? KBBI saya lagi dipinjem J.K. Rowling.
Errr… boleh deh. Semoga pembaca nggak muntah-muntah ya, Moy. *rapiin notes* Eniwei, self-editing itu apaan, sih?
Ehm ya, masih sodaraan dikit sih ama si selfie, sepupuan gitu deh. *lalu, dziinnggg… tersambit cireng dengan suksesnya*
Jangan garing gitu deh becandanya, Moy!
Hehehe… oke, oke. Mari kita serius barang sebentar.
Dari penampakan frasanya aja udah ketauan ya self-editing itu apaan. Self-editing adalah proses penyuntingan naskah oleh si penulis sendiri.
Namun, sebuah naskah yang baru saja selesai, tidak bisa serta merta langsung masuk self-editing. Ada satu proses lagi yang sebaiknya dilakukan, yaitu pengendapan. Kenapa? Sebab, otak kita butuh penyegaran setelah sekian lama berjibaku dengan naskah tersebut. Paling enggak, untuk sebuah novel, endapkan selama satu bulan. Makin lama, makin baik. Kayak wine deh, makin lama disimpan, makin kuat aromanya (tsaaahhh…). Lalu, selama proses pengendapan itu, beri otak kita nutrisi yang baik. Lahap bacaan apa saja yang bermanfaat untuk otak. Sambil ngunyah cireng juga boleh. Dan, ketika proses pengendapan berakhir, silakan buka kembali naskah kalian, lalu baca! Maka, kalian mungkin akan menemukan bertumpuk-tumpuk sampah di naskah itu.
Kok sampah sih, Moy?
Iya, sampah! Apa coba sebutan tepatnya untuk sesuatu yang harus dibuang demi kemaslahatan umat? *eh*
Ehm… kasi bocoran dikit deh, Moy, soal sampah-sampah itu.
Ada nih yang bikin paragraf dialognya panjaaaang banget, tanpa jeda narasi. Panjang bisa sampe satu halaman sendiri. Boleh sih kalo emang suka ama yang panjang-panjang ––
Aih, itu tendensinya ke mana ya, Mooooyyyy? *nggerundel nggak jelas dalam hati*
–– tapi itu bakal bikin mata pembaca siwer duluan. Dan lagi, emangnya ada ya orang berbicara lempeng aja tanpa ekspresi dan tanpa memperlihatkan bahasa tubuh yang unik? Kayaknya nggak ada deh. Si Penggugup pasti akan berulang kali mengusap tangannya yang berkeringat ke bajunya. Atau mungkin karakter yang gampang terharu bakalan terisak ketika menceritakan kesedihannya pada tokoh lain. Atau kalian bikin si tokohnya emosian ––
Kayak elu ya, Moy, kalo ketemu ama naskah amburadul, bawaannya pengen ngunyah meja. *dalam hati lagi, takut disambit tutup panci*
–– pasti pas ngomong matanya sambil membelalak atau tangannya kadang teracung ke udara. Terus, kenapa sih kalian harus menyisipkan narasi berisi ekspresi dan bahasa tubuh si tokoh? Pertama, ya biar nggak bikin pembaca bosan. Kedua, naskah kalian pasti akan lebih hidup, lebih dinamis.
Ada lagi sampah yang lain, Moy?
Ada! Fakta geografis yang tidak sesuai. Kadang nih yak, kita pengen bikin cerita yang berlatar di negeri tetangga, atau jangan jauh-jauh deh, di provinsi tetangga. Etapi ternyata kita belum pernah ke sono. Alhasil, kita mengandalkan Paman Google untuk membantu kita. Cumaaaaa, ati-ati yah kalo nyopas angka atau nama-nama tempat yang udah fix. Cek ricek berulang-ulang nggak ada salahnya, daripada kalian dicengin ama editor. Pilih mana hayooooowww?
Contohnya yang gimana sih, Moy?
Oke. Misal nih yak, cuma misal ini mah, kalian nulis kalo Denpasar itu letaknya di Pulau Sumatera. Atau nulis Yogyakarta ada di Papua. Atau kalian nulis bahwa Pantai Kuta berada di Kabupaten Buleleng, padahal faktanya ada di Kabupaten Badung. Hwalaaaahhh… editornya semaput deh tuh.
Euw… ekstrem banget contohnya, Mooooyy. *lalu ekting manyun kece*
Oke deh. Contoh sederhananya ya salah nyopas angka. Misalnya panjang Sungai XYZ harusnya 23 km, kalian malah ngetiknya 32 km. Jangan dikira editor terima beres fakta yang dituliskan di naskah. Pasti bakal dicek. Jadi, saran saya, kalo emang buta sama sekali soal suatu tempat, lebih baik ganti dengan lokasi yang sudah sangat kalian kenal, sehingga detail yang kalian tuliskan bisa sampai ke pembaca. Ya paling enggak, nggak bikin manyun pembaca yang berasal dari kota yang kalian coba untuk tuliskan di naskah kalian.
Atau sebaliknya, kalian bernafsu sekali untuk menuliskan Kota ABCD meskipun kalian belum pernah ke sana. Maka, silakan observasi. Cari fakta selengkap-lengkapnya, bisa lewat artikel atau bertanya pada seseorang yang memang tinggal di kota itu. Cari tau juga bagaimana suasana kota itu, perangai orang-orangnya, aktivitasnya, dan lain-lain. Lebih banyak detail yang kalian dapat, lebih hiduplah naskah kalian.
Oke, oke. Mulai paham deh, Moy. Terus apaan lagi sampah yang perlu dibantai?
Usia si tokoh. Jangan sampe di halaman pertama ditulisnya 23 tahun, eh di halaman kedua ditulis 25 tahun, padahal adegannya masih di hari yang sama.
Setting waktu. Kalian bikin adegan di Melbourne pas bulan Desember, tapi si tokohnya pake mantel tebel banget. Plis deh! Desember emang identik ama Natal dan salju, tapi ya liat-liat tempat dong. Di bulan Desember, bumi belahan selatan sedang mengalami musim panas. Masa iya kalian makein mantel tebel ke tokoh yang kalian bikin. Kan kesian, keringetan nggak jelas gitu jadinya.
Urutan kejadian dan fakta tindak kejahatan. Misalnya kalian lagi bikin cerita kriminal. Ada kejadian pencurian dan si tokoh utama dituduh. Padahal dia nggak berbuat, tapi sepuluh menit setelah laporan pencurian masuk, tau-tau si tokoh utama ditangkep tanpa ada penjelasan kenapa polisi bisa memutuskan nangkep dia. Faktanya, polisi nggak bakal menahan seseorang tanpa bukti yang jelas. Polisi pasti bakal melakukan oleh TKP dulu untuk mengumpulkan bukti-bukti. Dan itu nggak cukup cuma sepuluh menit. Mungkin bisa cerita bahwa di TKP ditemukan jejak sepatu bernoda tanah di karpet, dan ternyata jejak sepatu itu cocok dengan sepatunya si tokoh utama, apalagi ditambah kalo sepatunya si tokoh utama juga ternyata bernoda tanah. Atau mungkin di lemari besi ditemukan sidik jari si tokoh utama. Tapi, di tengah proses peradilan, ternyata ditemukan ada seseorang yang mengaku melakukan pencurian tersebut. Ternyata si B, temennya si tokoh utama yang mencuri. Dan soal noda tanah di karpet, ternyata si B meminjam sepatu di tokoh utama agar dirinya terbebas dari tuduhan.
Elu kebanyakan baca bukunya Agatha Christie ama nonton CSI, ya, Moy?!
Ayolah! Kalian pasti bisa membuat semuanya logis di mata pembaca. Bahkan fiksi fantasi pun harus terlihat logis, apalagi yang cuma romance atau slice of life.
Oke, oke. Punya tips buat para penulis?
Ehm… ini mungkin tips udah basi banget, udah banyak yang nayangin di blog, tapi saya nggak bosen buat menyarankan. Kalo kalian pengen ngedit, copy dulu filenya. Jadi nanti yang diedit adalah file kopian dan yang asli tetap utuh. Kenapa? Semisal kalian merasa editan kalian udah melenceng terlalu jauh dari rencana awal, dan kalian lupa bagaimana seharusnya yang terjadi pada tokoh-tokoh kalian, kalian masih punya pedoman yang berupa naskah awal.
Sip deh, Moy. Nanti bayaran wawancaranya ambil di rumah gue yak.
Oh, ada bayarannya?
Ada. Cilok, dua rebu.
Wew…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H