Sore itu adik iparku, Putri, berkunjung ke rumah. Sudah lama kami tak berjumpa. Sejak pertengkaran terakhir antara suamiku dengannya - yah, sekitar dua tahun yang lalu - baru kali ini dia berani menampakkan wajah. Aku tak ingin memperkeruh suasana, kuterima dia dengan tangan terbuka.
"Apa kabar mbak?" tanyanya.
Dia tersenyum lalu merangkulku, pipinya ditempelkan ke pipiku dengan kikuk. Kami memang tak terlalu akrab.
"Baik," jawabku. "Kamu, apa kabar, Put?" tanyaku sambil membantunya duduk di kursi kayu di ruang makan.
Dia tak menjawab, hanya menatap sekeliling ruangan, sudah lama dia tak pulang, aku membiarkan dia bernostalgia terhadap tempat yang pernah dia sebut rumah.
"Bagaimana kabarmu, Put?"
Aku bertanya lagi sambil menyodorkan secangkir teh padanya. Dia tak menyentuhnya. Dia menatapku tajam, tapi beberapa detik kemudian tatapannya berubah sendu.
"Mas Yatno mana, Mbak? Bagaimana kabarnya?" Dia balik bertanya bahkan sebelum dia menjawab pertanyaanku.
"Baik. Dia ehm... sedang tidur," aku sedikit berbohong. "Kakakmu akan pergi berlayar lagi lusa. Aku akan mengantarkannya sampai ke pelabuhan Benoa."
"Belum mau berubah," sahut Putri yang lalu memutar bola matanya dengan kesal. "Lebih suka berpisah.... Betah sekali dibelenggu rindu," sambungnya lagi sambil menyesap teh.