Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata-mata Carla

9 Januari 2013   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:20 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1357749807443966621

“Aku tidak tahu apa jadinya diriku jika aku hanya sendiri berdiri di tepian jurang ini,” ucap Carla Hudson dengan wajah memelas.

“Jurang apa?” tanya Darren. “Kau ini bicara apa, Carla? Belakangan ini aku tidak pernah mengerti ucapanmu,” keluhnya lagi.

“Ah…. Kapan kau berusaha mengerti perkataanku, Darren?”

“Aku berusaha.”

“Tapi, tidak sepenuh hati. Aku bisa mendengar itu,” ucap Carla sambil menghapus satu tetes air mata yang berhasil mencuri keluar dari liangnya.

“Aku benci ketika kau menangis,” kata Darren.

“Dan, sepertinya kau memang membenci setiap hal yang aku lakukan,” sahut Carla tanpa mengubah emosinya. “Aku ingin tahu, Darren. Sebenarnya untuk apa kita bersama? Untuk apa kau rela membuang waktumu hanya untuk aku? Sementara masih ada wanita….”

“Cukup, Carla!” potong Darren.

“Mengapa? Aku tidak mengatakan sesuatu yang salah, kan?!” Carla bertanya keheranan. Kali ini ada sedikit kerut di dahi Carla.

“Memang tidak. Tapi, aku ingin percakapan kita kali ini hanya berisi soal kita, bukan orang lain.”

Carla menyeringai dengan getir. Ingin ia menampar wajah pria itu, tapi ia tidak bisa. Sesuatu menghalanginya melakukan hal itu.

Kita adalah siapa, Darren? Kau dan aku? Itukah maksudmu?!”

“Ya. Memangnya siapa lagi? Kau berharap ada orang lain?” Darren mencecar.

“Bukan aku yang bicara begitu. Kalaupun memang benar ada orang lain, itu pasti bukan aku yang memulai.” Suara Carla tegas dan tanpa getar ragu.

“Sudahlah, Carla,” Darren melunak tiba-tiba. “Aku bosan bertengkar. Apa kau tidak bosan?”

Carla menggeleng. “Aku menikmati saat-saat seperti ini, Darren. Karena di saat kita bertengkar, aku bisa mendengar getar suaramu dengan jelas. Aku mendengar sesuatu yang bahkan kau ucapkan sebaliknya. Ketika kau berbohong, aku bisa mengetahuinya dengan cepat, Darren.”

Carla memiringkan tubuhnya sehingga kini wajahnya berhadapan langsung dengan Darren yang juga dalam posisi yang sama. Tangan kanan Carla meraba-raba tubuh Darren. Mencari-cari sebentuk wajah pada pria keturunan hispanik itu. Dan akhirnya ia menemukannya.

“Aku menyukai bentuk wajahmu,” kata Carla lagi. “Bodohnya aku baru menyadari itu ketika aku sudah tak mungkin lagi memandang wajahmu, Darren. Aku… menikmati setiap sentuhan ketika aku menyusuri lekuk wajahmu. Dan, aku… paling suka matamu, Darren. Kau tahu mengapa?”

“Tidak,” jawab Darren pelan.

“Matamu indah. Entah kau menyadarinya atau tidak. Tapi, kau harusnya bersyukur atas pemberian Tuhan yang satu itu.”

“Tapi, aku benci mataku, Carla.”

“Benci?! Kau bodoh!!!” umpat Carla.

“Bisakah untuk sekali saja kau tidak menghinaku, Carla?” Darren tak mau kalah meninggikan suaranya. “Aku berkata jujur, tapi kau malah mencecarku dengan kalimatmu yang sok tahu.”

Carla tahu, Darren sedang kesal. Namun, kekesalan itu hanya bertahan sebentar, hanya ketika diluapkan saja. Selanjutnya, Carla tahu, Darren menunggu suara Carla memenuhi lagi rongga telinganya.

“Ranjang ini seharusnya hanya berisi satu orang.”

Cepat sekali Carla mengubah topik pembicaraan kali ini, sungut Darren dalam hatinya.

“Tapi, kita bertahan memakainya,” sambung Carla lagi. “Atau lebih tepatnya, aku yang selalu memintamu untuk berbaring di sini, menemani aku. Anehnya, kau selalu menuruti permintaanku. Sekalipun aku memintamu di saat yang paling absurd. Aku… berterima kasih untuk itu, Darren. Sekali lagi, entah kau sadari atau tidak, kau sudah menjadi mataku selama enam belas tahun ini. Kau yang mengatakan bagaimana rupa Leticia. Bentuk wajahnya, matanya, warna kulitnya, juga warna rambutnya. Aku bisa membayangkan rupa malaikat kecil itu. Meskipun aku rela mengorbankan nyawaku untuk dapat benar-benar melihatnya.”

Darren tersenyum. Kini ia tahu kemana arah pembicaraan Carla. Wanita ini memang unik. Selalu punya alur lain yang tidak biasa ketika hendak mengutarakan maksudnya.

“Kau tahu mengapa tadi kukatakan aku benci mataku, Carla?”

“Tidak.” Carla tersenyum. Sebenarnya ia sudah tahu Darren hendak berkata apa.

“Karena aku benci melihatmu seperti ini, honey. Dan, aku lebih benci lagi, ternyata aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membuatmu lebih bahagia.”

***

Carla duduk di bangku halte. Tidak ada orang lain di sana. Ini sudah jam sepuluh pagi dan orang-orang sudah pasti sampai di tempat kerja mereka sedari tadi. Carla tidak sedang menunggu bus ataupun tram. Ia hanya ingin duduk di bangku halte itu sambil menikmati lalu lalang orang di kafe seberang halte. Dan, tanpa diminta, setiap ia melihat bangunan kafe itu, Carla jadi teringat pertemuannya dengan seseorang.

Saat itu ia memilih duduk di salah satu sudut ruangan kafe. Ia membawa sebuah buku tebal. Lalu, ia bermain-main dengan bahasa tubuhnya, seolah memberi tanda kepada siapapun yang melintas di dekat mejanya bahwa ia sedang tidak ingin diganggu, meskipun pelayan hanya akan menambahkan lagi kopi hitam ke dalam cangkirnya yang sudah hampir kosong. Nampaknya, semua pelayan di kafe itu sudah tahu kebiasaan Carla dengan buku bacaannya yang tebal. Namun, rupanya seseorang tidak mengindahkan bahasa tubuh Carla. Atau mungkin ia memang tidak mengerti isyarat itu. Pria dengan rambut pirang dan wajah keturunan hispanik tiba-tiba duduk di meja Carla, tepat di hadapan gadis berambut hitam sebahu yang tengah tenggelam dalam kesibukannya membaca.

Seorang pelayan mencoba mengingatkan pria itu, namun tidak didengarkan. Si pria tetap saja duduk di hadapan Carla. Carla membanting buku tebalnya, lalu ia melempar pandangan menuduh kepada salah satu pelayan yang kebetulan berdiri tak jauh dari meja Carla. Pelayan itu nampak ketakutan, tapi ia memberi tanda bahwa pria itu keras kepala walau sudah diperingatkan. Carla pun membelokkan tatapan sinisnya ke pria di hadapannya.

“Apa maumu?” Carla marah. Pengunjung lain sepertinya yakin suara Carla memenuhi ruangan kafe itu.

“Tidak ada,” sahut pria tadi sambil melempar senyum nakalnya.

“Lalu?” Carla menyelidik.

“Hanya ingin melihat wajahmu.”

Carla memutar bola matanya. Ia kesal. Ia memasukkan buku tebalnya ke dalam tas, membuka dompet, lalu melempar begitu saja sepuluh dolar ke atas meja. Kemudian ia melangkah pergi dari kafe itu.

Kejadian seperti itu berlangsung selama beberapa hari berturut-turut. Sampai suatu hari, ketika Carla baru saja membuka pintu kafe, ia mendapati mejanya telah dihuni pria itu. Ia langsung membalikkan badan hendak melangkah keluar dari kafe tersebut. Tapi, rasanya ada yang menahan tangan kanannya. Carla menengok dan pria itu sudah berada di belakangnya. Cepat sekali pria ini, pikir Carla. Ia menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.

“Tolong jangan salah paham dulu,” pinta pria itu.

“Aku…,” Carla pun lebih memilih berbisik ke telinga pria itu, “sudah berkali-kali bertanya padamu. Apa maumu? Tapi, kau hanya menjawab ingin melihat wajahku. Bukankah kau bisa melakukannya tanpa harus menggangguku?!” Meski hanya berbisik, Carla tetap ingin pria itu mengerti kemarahannya.

“Aku minta maaf.”

Ucapannya terdengar tulus, pikir Carla. Tapi, ia memilih untuk lebih berhati-hati dengan pria ini. “Kutanyakan sekali lagi padamu. Apa yang kau inginkan dariku?”

Pria tadi seperti menyapukan pandangan ke sekitarnya hanya dari ekor matanya. Ia jengah dengan tatapan beberapa pengunjung kafe yang penasaran dengan yang ia dan Carla lakukan di dekat pintu masuk.

“Ayo kita keluar dulu.” Pria tadi melangkah sambil menarik lengan Carla. Carla berontak, tapi pria itu masih terlalu kuat.

Sampai di luar, pria tadi melihat sekeliling, mencari tempat yang tepat untuk bicara dengan Carla. Lalu, matanya tertuju pada sebuah halte yang berdiri persis di seberang kafe. Mereka berdua menyeberang.

Damn!” Carla mengumpat sambil menghempaskan tubuhnya di bangku halte. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa pula dirinya yang harus mengalami pertemuan dengan pria aneh yang kini sudah duduk di sampingnya? Carla meringis kesakitan menahan perih di lengannya akibat cengkeraman pria tadi yang terlalu kuat.

“Aku Darren Rodriguez. Kau bisa memanggilku Darren,” ucapnya tanpa diminta.

“Aku tidak peduli,” gumam Carla yang masih memegang lengannya.

“Dan, aku… aku minta maaf,” kata Darren lagi.

Carla berhenti mengusap-usap lengannya yang perih. Kepalanya terangkat dan ia melihat wajah Darren dengan seksama untuk yang pertama kali. Penampilannya liar. Atau mungkin jaket kulit hitam dan celana jeans kumal itu yang membuatnya nampak liar, pikir Carla. Tapi, matanya sangat teduh. Seolah tidak mungkin tenggelam kalaupun memaksakan untuk menjatuhkan diri ke dalamnya. Wajah Darren biasa saja, seperti kebanyakan pria tampan keturunan hispanik yang banyak bertebaran di San Francisco ini. Namun, sekali lagi, mata itu yang membuatnya menjadi lain. Sejak saat itu, Carla memiliki satu alasan lagi mengapa ia harus kembali bergumul dengan kata ‘cinta’.

Sebuah sedan hitam berhenti tepat di hadapan Carla yang masih terduduk di bangku halte. Lamunan Carla buyar seketika. Seseorang dari dalam sedan hitam itu membuka kaca jendela mobil. Pria itu tersenyum pada Carla. Dan Carla balas memberi senyuman serupa.

Hallo, stranger,” sapa Carla.

“Ayo masuk, Carla. Kita sedikit terlambat sore ini.”

Darren membukakan pintu dari dalam mobilnya. Setelah Carla duduk dengan, pintu kembali tertutup, dan sedan hitam itu kembali meluncur di atas aspal.

“Kuharap dokter Rhys masih menunggu kita,” ucap Darren lagi.

“Dia pasti menunggu kita. Bukankah wanita tua itu bibimu sendiri, Darren?!” Carla tersenyum mengejek Darren.

“Iya. Kau benar. Tapi, wanita tua itu juga memiliki mulut yang sedikit pedas jika menyangkut kata terlambat. Aku rasa alasannya menjadi dokter kandungan adalah untuk mengurangi angka kehamilan di dunia ini,” balas Darren yang lalu tertawa cukup keras. Begitu pula dengan Carla.

“Dia wanita yang baik,” ujar Carla. “Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya.”

Darren memacu mobilnya lebih kencang ketika memasuki jalan layang bebas hambatan. Ia merasa sudah sangat terlambat dari janji yang seharusnya ditepati satu jam yang lalu. Jumlah mobil yang melintas di jalan bebas hambatan itu lebih banyak dari hari biasa. Sekarang hari Sabtu dan banyak warga San Francisco yang memanfaatkan waktu akhir pekan dengan bepergian. Dan, ketika ruas jalan sedikit terlihat lengang, Darren lebih memacu kecepatan mobilnya.

Melihat tingkah Darren seperti itu, Carla jadi sangat cemas. Satu tangan memegangi perut besarnya, sedangkan tangan lainnya mencengkeram erat pegangan tangan yang tertanam sedikit di atas pintu mobil.

“Darren. Aku pikir bibi Rhys tidak akan menghukum kita jika kita datang beberapa menit lebih lambat,” suara Carla sedikit bergetar.

“Tenang saja, Carla. Aku mengenal ruas jalan ini seperti aku mengenal gurat-gurat halus pada telapak tanganku sendiri,” sahut Darren.

“Tapi, telapak tanganmu kali ini benar-benar ramai, Darren. Aku… takut.”

Beberapa menit berlalu dan kecemasan masih menyelimuti diri Carla. Berkali-kali ia mencoba mengingatkan Darren, tapi rasanya percuma. Darren tetap saja memacu mobilnya dengan kencang. Lalu, yang terdengar selanjutnya adalah suara dentuman keras dan nyaringnya pecahan kaca.

***

Nurse Hamilton. Biar aku saja yang mendorong kursi roda itu,” pinta Leticia Rodriguez pada seorang perawat yang tengah mendorong kursi roda.

Nurse Hamilton mengangguk dan membiarkan Leticia mendorong kursi roda yang diduduki seorang wanita paruh baya. Perawat itu kemudian berjalan di depan dan mengarahkan Leticia – gadis yang seminggu lalu baru saja menapaki usia enam belas tahun – ke sebuah lajur menuju taman di dalam kompleks rumah sakit itu.

Di tengah-tengah taman, ada sebuah bangku panjang bercat putih dengan ukiran bunga pada sandarannya. Bangku itu diduduki oleh dua orang pria, salah satunya memakai kacamata hitam. Satu pria lagi, yang memakai jubah putih, segera berdiri menyambut Leticia dan nurse Hamilton.

“Nyonya Hudson,” sapa pria berjubah putih. “Bagaimana kabarmu pagi ini?”

Wanita itu tertawa kecil. “Sekilas tadi aku berpikir kau akan menyebutku Nyonya Rodriguez, dok,” jawab wanita yang duduk di kursi roda.

“Ah, ya. Kudoakan semoga saat itu cepat menghampirimu,” sahut sang dokter. “Kau sudah siap, ma’am?”

“Ya. Aku siap dokter.”

“Baiklah. Nurse Hamilton, kau membawa guntingnya?”

Perawat tadi mengangguk, lalu menyerahkan sebuah gunting kecil kepada sang dokter. Sementara itu, Leticia menyentuh jemari ibundanya, seolah memberi energi positif untuk menguatkan wanita yang telah melahirkannya.

“Leti….”

“Ya, Mom.”

“Mana ayahmu?”

“Dia akan segera datang, Mom,” Leticia bicara di dekat telinga ibunya. “Tunggulah sebentar lagi.”

Tak lama kemudian, perban yang membalut kepala Carla sudah terlepas semuanya. Mata Carla masih terpejam. Namun, jantungnya berdetak lebih cepat kali ini. Ia benar-benar tak menyangka, ia akan segera kembali menikmati warna-warni dunia. Seandainya saja Darren bisa hadir saat ini, tentu akan lebih menyenangkan, pikir Carla.

“Silakan buka mata secara perlahan, Nyonya Hudson,” perintah sang dokter.

Carla menurut. Pelan-pelan kedua kelopak matanya bergerak. Ada cahaya masuk begitu saja, lalu ia memejam lagi. Tangan Carla bergetar. Ia takut.

“Tidak apa-apa, Nyonya Hudson,” suara dokter itu terdengar lagi. “Kita coba sekali lagi pelan-pelan.”

Carla menurut lagi. Kali ini kelopak matanya bergerak lebih jauh dari sebelumnya. Lalu, benar-benar terbuka setelah beberapa saat mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang teduh. Hal yang pertama kali Carla lihat adalah seorang gadis yang berlutut di hadapannya. Gadis berambut pirang sebahu itu tersenyum pada Carla.

Mom.” Leticia menghambur ke pelukan ibunya.

“Leticia,” ucap Carla lirih. Air matanya meleleh.

“Aku senang Mom bisa melihat lagi,” kata Leticia yang masih dalam pelukan sang bunda.

Mom juga senang, Leti.”

Leticia melepaskan diri dari pelukan ibunya, lalu menyalami dokter dan perawat yang masih berdiri di dekat mereka.

“Terima kasih, dokter Whitmore, nurse Hamilton,” ujar Leticia.

Dokter Whitmore dan nurse Hamilton meninggalkan Carla dan Leticia di taman.

“Siapa pria itu, Leti?” bisik Carla pada putrinya.

Leticia tidak menjawab. Gadis itu hanya tersenyum sambil mendekat pada pria yang masih duduk di bangku panjang. Raut wajah pria berambut pirang itu nampak datar saja, tapi segaris senyum menyembul dari bibir tipisnya. Leticia pelan-pelan melepas kacamata hitam yang terpasang di wajah pria itu.

“Kau tidak mungkin tidak mengenal lelaki ini, Mom,” ujar Leticia.

“Ya, Tuhan,” pekik Carla. Pelan-pelan ia berdiri dari kursi rodanya dan berjalan ke bangku panjang. “Itukah kau, Darren?!”

Hallo, stranger,” sapa Darren.

Carla memeluk Darren dan menciumi wajahnya di sembarang tempat. Lalu, Carla melihat ada yang aneh dengan wajah Darren. Pria ini tidak melihatnya dengan benar.

“Kenapa matamu, Darren?”

Leticia tahu, sekarang bukan waktu yang tepat bagi dirinya mendengarkan pembicaraan orang dewasa. Jadi, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, ia menjauh dari bangku taman itu. Gadis itu tidak ingin mengganggu.

“Kau apakan matamu, Darren?” tanya Carla lagi.

“Ada padamu sekarang,” jawab Darren, lalu ia tersenyum.

“Ya, Tuhan,” gumam Carla sambil menyentuh kedua matanya. “Benarkah?!”

Darren mengangguk. “Aku sengaja meminta dokter Whitmore agar tidak megatakannya lebih dulu padamu. Karena aku ingin menyampaikan sendiri hal ini padamu, honey.”

“Aku pikir ini milik seseorang yang mendonorkan korneanya pada bank mata,” ujar Carla.

“Sekarang,” sahut Darren. “Kau yang akan menjadi mataku, Carla. Giliranmu yang bercerita padaku tentang masa depan kita, masa depan putri kita, dengan kedua mata itu.”

@sekarmayz

Sumber gambar, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun