kisah sebelumnya part 4
Aku tidak pernah merasa lebih istimewa daripada wanita lain. Aku hanya wanita biasa yang ingin tetap dicintai dan dihargai. Salahkah jika aku sedikit lebih keras berjuang untuk mendapatkan dua hal itu, dicintai dan dihargai?! Aku rasa tidak.
“Nita….”
“Ada apa, Pram?”
“Kita harus bicara lagi kali ini.”
“Bicaralah. Aku akan mendengarkan.”
“Aku harap kau berkata jujur padaku, Nita. Katakanlah apa yang memang harus kuketahui. Aku akan siap mendengarkan, apapun itu.”
“Aku tidak mengerti maksdumu, Pram.”
“Sudahlah, Nita. Ceritakan saja.”
Banyak hal yang sebenarnya aku sembunyikan dari Pram. Bukan karena ingin menyakitinya. Hanya saja, aku ingin membuka kembali lembaran baru hidupku. Aku ingin memulainya dengan Pram. Dan sebisa mungkin, aku ingin menyimpan kenangan – kenangan itu untuk diriku sendiri. Tapi nyatanya, aku tidak bisa. Semuanya harus muncul lagi ke permukaan, setelah segala sesuatunya kupikir sudah tenang.
“Pram…. Apakah kau masih ingat saat kita bertemu untuk pertama kali?”
“Ya. Aku ingat. Kita bertemu di danau kecil di tepian kota. Kau sedang duduk sendiri di sana sambil memandang jauh ke arah danau.”
“Apa kau ingat apa yang kukatakan padamu kala itu?”
“Kau baru saja berpisah dengan kekasihmu.”
“Well…. Sebenarnya aku tidak benar – benar berpisahnya dengan.”
“Apa?! Apa maksudmu, Nita?”
“Ya. Aku belum berpisah dengannya. Dia selalu ada di dekatku, di sini, di dalam tubuhku.”
“Aku makin tidak mengerti, Nita. Katakan saja apa adanya. Tidak perlu berbelit – belit seperti itu.”
Oh, God. Just give strength to do this. I beg you, please…. Semoga ini tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya. Aku tidak mau menyakiti sesiapapun.
“Lima tahun yang lalu, aku hampir saja mati. Aku tidak tahan dengan sakit yang kuderita. Dia, kekasihku, juga tak sanggup melihatku terus merintih menahan sakit. Dua ginjalku rusak parah, dan harus segara diangkat. Tapi di keluargaku, tidak ada satupun ginjal yang cocok. Akhirnya, ada satu keputusan terakhir yang diambil kekasihku. Ia mengikuti tes untuk mengetahui apakah ginjalnya cocok untukku. Harapan itu masih ada, walaupun tipis.”
“Jadi sekarang kau memiliki ginjalnya?”
“Ya….”
“Lalu mengapa kau malah berpisah dengannya?”
“Setelah operasi itu, aku serasa hidup kembali, walaupun hanya dengan satu ginjal. Aku menjadi Nita yang baru dan siap untuk terbang lebih tinggi meraih segala cita dan cinta. Tapi ternyata, semua tidak semanis yang kurasa. Aku tidak tahu mengapa dia pergi begitu saja dariku. Dia hanya meninggalkan secarik kertas yang berisi kalimat perpisahan. Kau bisa bayangkan, Pram, bagaimana perihnya ditinggalkan orang yang kita cintai. Aku ingin melupakan dia, tapi aku tidak bisa. Sebagian dari dirinya melekat di tubuhku. Dan aku tidak mungkin melupakan Janu begitu saja.”
Ah, kejujuran itu ternyata pahit. Tapi entah mengapa, kali ini aku merasa lega telah mengucap namanya. Dia yang pernah menjadi aroma wangi di taman hatiku. Dia yang telah memberiku kehidupan baru. Dan dia pula yang mengajakku untuk merasakan perihnya tersayat sembilu.
Aku masih mencintai Janu. Tapi aku pun harus melanjutkan hidupku. Aku tidak mungkin terus menyepikan hatiku dari cinta. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku hanya wanita biasa yang ingin tetap dicintai dan dihargai. Dan aku harus bangkit dari keterpurukanku untuk mendapatkannya.
“Sejak kapan kau dan Janu mulai dekat lagi?”
“Aku melihat Janu pada pernikahan adikmu. Itu pertama kalinya aku melihat wajahnya lagi setelah perpisahan itu. Aku tidak menyangka, pria yang menikahi adikmu adalah Janu milikku.”
“Lantas… apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Aku sudah merasa menyakiti hati banyak orang saat ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa memperbaiki segalanya.”
“Apakah kau akan pergi?”
“Mungkin. Tapi tidak untuk saat ini.”
“Tapi aku tidak ingin kau pergi, Nita.”
“Maafkan aku, Pram. Mungkin ini yang terbaik bagi semuanya.”
Sakit itu kembali terasa. Seolah ingin menyapaku kembali dengan cara yang sama. Ya…, sama – sama meninggalkan bekas yang sulit terhapus. Inginku tak merasakan sakit itu lagi. Tapi rupanya Tuhan sudah menggariskan ini dalam kehidupanku, bahwa aku harus merasakan sakit berkali – kali sebelum aku dapat merasakan manisnya.
Dan untukmu, Pram. Aku minta maaf. Maaf…. Karena aku harus memilih. Aku memilih untuk tidak menyakitimu lebih jauh lagi.
T A M A T
sumber gambar dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H