Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Twenty Seven

21 Februari 2013   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:55 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

previous chapter

Belakangan ini, keriput makin jelas tergambar di wajah Dahlan. Ia banyak memikirkan Maya. Sebagai ayah – walaupun hanya ayah angkat – Dahlan tidak ingin putrinya menderita, apalagi hanya karena masalah klise: cinta. Ia ingin melihat putrinya bahagia. Dan, ia tahu, sebenarnya Maya bahagia dengan Al. Hanya saja, masih ada satu halangan lagi: Berta.

“Pak, boleh saya lihat-lihat kamar Maya?”

“Untuk apa, Nak Al?” Dahlan bingung.

Al hanya tersenyum, merona, dan tersipu. “Ngga ada, Pak. Saya cuma pengen nulis pesan buat Maya.”

“Kenapa nggak titip bapak saja?” Dahlan berusaha menggoda Al.

Lagi, Al tersipu. “Nggak, Pak. Ini agak panjang. Nanti biar Maya bisa baca sendiri.”

“Oh….” Dahlan mengangguk, lalu menyilakan Al masuk ke kamar Maya, meski dalam hati Dahlan masih bingung dengan maksud Al.

Di kamar Maya, Al merebahkan diri di kasur kapuk tua yang berlapis sprei hijau muda. Ada motif kumbang koksi berukuran kecil yang sengaja Maya pilih karena gadis itu memang menyukai bentuk mungilnya. Wangi, gumam Al dalam hati. Ia memejamkan mata. Sebenarnya ia tidak tega membohongi Dahlan. Lelaki itu sudah terlalu banyak mendapat gempuran hidup. Tapi, ia memang ingin masuk ke kamar ini. Ia mulai lupa harum tubuh Maya. Dan, ia ingin mengukir harum itu lagi di otaknya.

Bagi Al, Maya itu seperti sesendok gula yang dimasukkan ke dalam secangkir kopi hitam kental. Ia memberi rasa manis agar getir yang terlalu dominan dan sedikit mendinginkan gelegak didih air yang melarutkan bubuk hitam. Hidup Al teramat biasa sebelum bertemu Kalina Mayasari. Bahkan, ketika ia masih bertunangan dengan Maya Larasati, hidupnya terasa amat biasa.

Al bangkit dari kasur dan mendekat ke meja. Ia duduk dan mulai memperhatikan benda-benda di atasnya. Ada belasan buku tertata rapi di depan Al. Buku-buku itu sebagian besar adalah diktat pelajaran SMA. Ada dua, tiga buku novel remaja, juga beberapa buku tulis tipis. Al melihat di ujung barisan buku-buku tersebut. Ada satu buku yang menarik perhatiannya. Buku itu tebal, sampulnya keras, dan berwarna biru laut. Tanpa pikir panjang, Al menarik buku itu dari barisannya.

Sampul buku itu bertuliskan lima huruf dalam bahasa Inggris, yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘buku harian’. Penasaran menghinggapi benak Al, sekaligus ada yang berteriak mengingatkan sesuatu di otaknya. Tapi, tangannya lebih memilih untuk membuka sampul buku itu. Di halaman pertama, ada foto seorang gadis memakai seragam putih abu-abu. Al langsung mengenali gadis itu sebagai Maya. Wajah Maya tak berubah sampai saat Al bertemu dengannya. Lalu, jam-jam berikutnya, Al makin dalam menyelami kehidupan Maya lewat buku harian bersampul biru laut.

Penghabisan kalimat terakhir, Al menemui halaman kosong. Tapi, pikiran Al masih berlarian mengejar sosok Maya yang terukir pada buku harian itu. Kadang ia tersenyum, kadang dahinya berkerut. Lalu, ia mengambil pena dari saku kemejanya dan mulai menulis pada halaman kosong.

***

Wangi adonan rijst vlaai mulai memenuhi ruangan apartemen Rosi. Sebentar lagi penganan khas Belanda itu matang dan siap disantap. Si peracik penganan manis itu kini duduk berdua di sofa ruang tengah. Mata-mata mereka tertuju pada layar tiga puluh dua inchi yang terpasang di dinding. Sebuah adegan film – potongan-potongan akhir dari film Pearl Harbour yang dibintangi Ben Affleck dan Josh Harnett – membuat keduanya sedikit mengumbar air mata.

“Oke,” seru Rosi. “Time’s up. Kayaknya kue kita udah mateng.” Ia menuju dapur sambil menyeka lelehan air mata di wajahnya.

Maya menghapus bulir-bulir yang masih tersisa di sudut matanya, lalu berjalan mengikuti Rosi ke dapur.

Pintu oven terbuka, makin menguarlah wangi rijst vlaai. Rosi sengaja menambahkan campuran bubuk vanili ke adonan. Ia menyukai aromanya. Pelan-pelan Rosi mengeluarkan rijst vlaai dari loyang, memotongnya beberapa bagian, dan meletakkan potongan tersebut ke sebuah piring porselen bermotif daun. Ia menyodorkan satu piring ke pada Maya yang berdiri di seberang meja dapur.

Maya ragu-ragu menyuapkan penganan itu ke mulutnya, walaupun ketika membuatnya, Rosi mengatakan penganan itu akan berasa manis di lidah. Tapi, Maya merasa lidahnya belum sanggup menerima penganan asing, apalagi itu penganan dari luar Indonesia.

“Coba aja, Sayang,” kata Rosi. “Nggak perlu takut gitu. Kamu pasti bakal ketagihan.”

Maya tersenyum, tapi masih ragu. Lalu, ia mulai memotong tepian rijst vlaai yang kering dan renyah, memasukkan ke mulut, dan mulai mengunyah pelan-pelan.

“Enak, kan?!” goda Rosi.

Maya meringis. “Iya, Ma. Enak. Gurih.”

“Nah, sekarang coba kamu makan yang bagian tengahnya.”

Sendok Maya menyentuh bagian tengah dengan mantap. Ia masukkan bagian lembek berwarna putih susu itu ke mulutnya.

“Ehm…. Manis, Ma.”

“Tuh, kan.”

“Ada gurih juga, Ma. Tapi, lebih kerasa manis susunya.”

Mereka berdua kembali ke sofa sambil membawa piring masing-masing. Rosi mengganti piringan kompak film dengan piringan kompak berisi lagu-lagu bertempo ringan. Lalu, kembali menikmati rijst vlaai bersama Maya.

“Mama persis Al,” ujar Maya membuka kembali percakapan.

“Hmm…, gimana?”

“Pernah suatu hari, pas malem minggu, Al ngajak makan di restoran. Menunya aneh-aneh. Maya nggak bisa cara bacanya dan nggak ngerti sama sekali bentuknya. Akhirnya Al yang milih makanannya, sama minuman juga. Setengah jam nunggu, dateng juga pesenannya. Eh, nggak taunya, Ma, yang muncul malah lebih aneh dari yang Maya bayangin sebelumnya.”

Rosi tertawa. “Ternyata Al pesen apa?”

“Maya lupa apa nama aslinya. Tapi, Al bilang itu sup krim jamur, dimakan pake potongan roti tawar. Sumpah, Ma. Maya baru kali itu liat sup krim jamur dan agak – bukan agak lagi, tapi ragu-ragu banget mau makannya. Cuma, Al terus-terusan ngebujuk Maya buat nyicipin supnya.”

“Terus, akhirnya kamu makan sup itu?”

“Rasanya emang enak, Ma. Gurih. Cuma nggak tau kenapa ya, tiap liat makanan asing, otak Maya udah nolak duluan. Apalagi pas disendok gitu, supnya kentel kayak lendir, bau kaldunya menyengat, terus warnanya kuning pucat. Pokoknya jauh dari kata menarik.”

Rosi tersenyum. Ia paham apa yang dialami Maya bukan sekadar perasaan asing terhadap makanan yang baru dilihatnya, tapi karena seumur hidup, Maya lebih memilih untuk tidak menyentuh apa yang tidak mungkin disentuh. Baru setelah mengenal Al, dunia Maya jungkir balik. Maya pernah diajak ke puncak tertinggi dunia – paling tidak itu yang pernah diungkap Maya kepada Rosi. Lalu, setelahnya, kembali merasakan getir hidup sebagai anak penjaga makam. Tapi, Rosi yakin, Maya bukan tipe yang gemar mengeluh. Ia bisa melihat itu di binar mata Maya.

“Mulai sekarang, kamu akan belajar banyak sama Mama. Nggak masalah kalo Mama harus menunda kepulangan ke Sydney.”

“Tapi, Ma, gimana sama Om Ronald?”

“Mama yakin, Om Ronald bisa diyakinkan dengan alasan lain.”

“Maksudnya, Ma?”

“Ah, bukan. Bukan apa-apa.”

Dahi Maya berkerut. “Jadi, Om Ronald belum tau soal Maya? Terus, Mama mau ngasi alasan apa ke Om Ronald?”

“Memang belum, Sayang. Tapi, nanti juga bakal Mama kasi tau. Dan, kedepannya, kamu juga bisa panggil Om Ronald dengan sebutan ‘Papa’.”

Meski tidak yakin dengan ucapan Rosi, Maya diam saja. Ia memilih untuk tidak gegabah menanggapi sesuatu. Ia pun sedikit paham jika Rosi tidak membiarkan Ronald tahu perihal dirinya. Semua demi reputasi. Ya, Maya mulai paham dunia baru yang sedang dihadapinya sekarang.

“Ma….”

“Iya, Sayang.”

“Kenapa Mama pikir Maya harus nikah sama Al?” tanya Maya tiba-tiba. Lalu, ia meletakkan piring yang sudah kosong di meja.

“Karena… ya, kalian memang harus menikah,” jawab Rosi.

“Ma. Mama tau itu bukan jawaban yang Maya minta.”

“Memangnya menikah butuh alasan, ya?” Mendadak, Rosi ingat, pertanyaan ini pernah ia ajukan kepada Berta. Dan, Berta pun tidak bisa dengan gamblang menjawabnya.

“Bukannya menikah memang butuh alasan, Ma?!” Maya malah membalikkan pertanyaan. “Sama halnya dengan keputusan tidak menikah, pasti ada alasannya.”

Rosi menghela napas panjang. Ia menaruh piring yang masih setengah terisi rijst vlaai.

“Kalian harus menikah karena kalian memang nggak punya alasan untuk nggak nikah,” tegas Rosi. “Kalian dipertemukan Tuhan pasti bukan tanpa alasan. Kalian berjodoh, mungkin singkatnya begitu. Cuma, jalan yang kalian tempuh untuk menuju pernikahan nggak semulus orang lain. Kamu dan Al harus berhadapan dengan Tante Berta. Dan, Mama ngerti, kamu butuh bantuan agar Tante Berta mau menerimamu sebagai menantunya.”

“Bantuan apa lagi, Ma? Maya ngerasa Tante Berta bukan orang yang gampang dibujuk.”

“Iya, Mama tau. Tapi, kan, bukan berarti harus berhenti membujuk. Tante Berta itu sebenarnya mau nerima kamu. Kamu anak Mama, nggak ada bedanya sama Rhein. Cuma, ya, itu…, dia terlalu mementingkan status dan reputasi, sampai buta soal hati.”

Maya mencerna kata-kata Rosi. Pelan-pelan ia mulai mengerti.

“Mama mau bantu Maya meyakinkan Tante Berta?”

Rosi tersenyum. “Tanpa kamu minta, Mama sudah mulai membujuk Tante Berta, kok, Sayang.”

Di tempat yang hanya beberapa blok dari apartemen Rosi, Al sedang duduk di balik meja kerjanya. Sejumlah dokumen berhasil menyita perhatiannya sampai ia lupa waktu makan siang. Bahkan Riska, sekretaris Al, tidak berani mengganggunya. Riska baru berani masuk ke ruangan Al jika memang ada hal penting. Dan, makan siang bukan termasuk hal penting. Itu yang Al tekankan pada sekretarisnya.

Sudah jam dua siang. Al masih saja menekuni pekerjaannya. Ia sampai tidak menyadari, ponsel yang ia geletakkan begitu saja di dekat keyboard, ternyata sedang bergetar. Ada panggilan masuk tiga kali dari nomor yang sama. Dan, Al tidak melihatnya.

Sepuluh menit berlalu, pintu ruangan Al dibuka dari luar oleh Riska.

“Ada apa, Riska?” Al bahkan tak perlu mengangkat kepala untuk melihat siapa yang masuk.

“Ibu telepon, Pak,” jawab Riska yang masih berdiri di ambang pintu.

Al mengangkat kepalanya. “Ibu?!”

“Iya, Pak. Kata ibu, bapak diminta lihat hapenya. Penting.”

“Itu aja?”

“Iya, Pak. Tapi, itu penting, kata ibu. Jadi, bapak harus lihat sekarang juga,” sahut Riska yang tanpa menunggu reaksi Al, langsung kembali ke meja kerjanya. Pintu pun tertutup.

Al tidak kaget dengan yang baru saja dikatakan Riska. Memang setiap sibuk dengan pekerjaan, Al selalu menyetel ponselnya tanpa suara, hanya getar. Dan, ketika Berta menelepon, sudah pasti Al tidak tahu panggilan itu. Jadi, supaya Al tahu kalau Berta menelepon, Berta menelepon langsung ke ponsel Riska.

Al menyambar ponselnya dan melihat memang ada panggilan sebanyak tiga kali. Tapi, itu bukan dari ibunya.

“Anak ini…,” gumam Al. “Ngapain dia nelpon?”

Tanpa berpikir terlalu lama, Al menghubungi si penelepon.

“Jemput gue di stasiun sekarang! Nggak pake lama!”

Tiba-tiba dari seberang sambungan langsung terdengar suara seorang gadis. Nadanya sangat tidak ramah dan cenderung memerintah. Dan, lagi-lagi, Al tidak kaget.

“Ngapain ke Bandung?” tanya Al tanpa peduli perintah lawan bicaranya. “Mau ngabisin duit di FO?”

“Bukan urusan elu. Pokoknya, jemput gue sekarang,” tegas si gadis, “dan anterin ke tempat Mama.”

“Kan, bisa naik taksi,” sahut Al.

“Ogah.”

“Kenapa? Nggak bawa duit?”

“Nggak apa-apa kalo nggak mau jemput. Gue tinggal bikin laporan ke nyokap lu.”

Al mulai gentar. Jika masalah sepele ini disangkutkan dengan sang ibu, segalanya akan menjadi runyam dan seolah tanpa akhir.

“Oke. Tunggu gue di sana. Jangan ngomong sama orang asing. Setengah jam lagi gue sampe situ. Nurut sama gue! Kalo enggak, gue yang bikin laporan ke nyokap lu.”

“Elu pikir gue anak kecil, lu omongin gitu?!”

“Emang elu masih kecil,” sahut Al yang lalu mematikan sambungan telepon.

Maya duduk di lantai, di depan rak televisi. Tangannya asyik membuka album berisi piringan kompak film dan lagu milik si empunya apartemen. Sementara itu, Rosi sedang sibuk menyiapkan sesuatu untuk makan malam. Keduanya terkejut ketika bel pintu berbunyi. Pasalnya, Maya dan Rosi sama-sama tidak sedang menunggu kedatangan seseorang. Kecuali Rosi yang – mungkin – sedang menunggu pegawai binatu mengantarkan pakaian yang sudah dicuci. Tapi, itu pun tidak hari ini karena Rosi baru kemarin memasukkan baju kotor ke binatu. Biasanya selang tiga hari baru mereka mengantarkan baju bersih.

Maya hendak berdiri untuk membuka pintu, tapi dicegah Rosi.

“Biar Mama aja. Mungkin itu orang laundry yang mau nganter baju.”

Rosi membuka pintu. Lalu, “Rhein?!” gumamnya.

“Hai, Ma.” Rhein melempar senyum bandelnya.

Maya penasaran dan langsung mendekat ke pintu. Ia berdiri di belakang Rosi dan melihat dua sosok di ambang pintu. Lelaki dan perempuan. Familiar dan tidak familiar. Al dan Rhein.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun