“Pulang?!” Al nyaris berteriak ketika mendengar permintaan Maya. “Untuk apa? Kau tidak bisa pergi begitu saja, Maya. Meskipun bisa, aku tidak akan mengijinkan.”
“Memangnya aku perlu ijinmu? Aku wanita dewasa. Aku bebas berbuat sesukaku,” sahut Maya. “Dan siapa kau, berani melarangku untuk pergi?” Sedikit lagi, Maya lebih mirip Merapi yang siap memuntahkan lava pijar ke permukaan bumi.
Tiba-tiba Al menarik tangan Maya dan merengkuh tubuh gadis itu ke pelukannya. Ia ingin seperti ini saja, bisa memeluk gadisnya dengan erat, tanpa takut orang lain akan memisahkan mereka. Ia berdoa, mungkin dengan pelukan, amarah Maya akan teredam.
Bukannya ia tidak ingin berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan hubungan ini kepada ibundanya. Bahkan itu tujuan utama Al bertandang ke Lembang, ke rumahnya. Tapi apa mau dikata? Ibundanya memang bukan wanita yang mudah mengubah penilaiannya terhadap seseorang. Selalu saja begitu, semuanya hanya dilihat dari permukaan. Kadang Al sendiri jengkel dengan sikap ibundanya.
“Tolong jangan menyerah dulu,” bisik Al sangat dekat di telinga Maya. “Bertahanlah sedikit lagi. Bertahanlah… untukku.”
“Sudah kubilang, Al, aku lelah,” sahut Maya lirih.
“Aku tahu. Tapi bertahanlah sedikit lagi. Tuhan pasti tidak mengijinkan kita menyerah dengan begitu mudahnya.”
“Bagaimana caranya?”
“Aku yakin pasti ada jalan. Yang kita perlukan hanya sabar. Aku akan terus berusaha untuk meyakinkan Mama, bahwa kau tidak seperti yang ia pikirkan.” Al melepas pelukannya. Ia mengajak Maya untuk duduk kembali pada tonjolan akar. “Mama belum mengenalmu. Kupikir ada baiknya kau tinggal di sini lebih lama lagi. Jadi kau punya waktu lebih untuk membuat ikatan yang baik dengan Mama. Aku akan memberitahu ayahmu. Beliau pasti mengijinkan.”
“Hah?!” pekik Maya lebih mirip gumam yang nyaris tanpa suara. “Tinggal di sini?! Apa kau gila, Al?”
“Tidak. Aku tidak gila. Aku hanya berpikir rasioal. Batu yang keras saja akan hancur kalau setiap hari kena panas dan hujan bergantian, apalagi hati manusia yang lebih lunak dari batu. Aku yakin Mama pasti bisa menerimamu, Maya. Yang kau butuhkan hanya kesabaran.”
Al mendongak, melihat langit yang sudah menampakkan warna aslinya. Biru terang. Seharusnya ada sebuah jalan yang terang untukku dan Maya, pikir Al. Lalu ia melihat Maya lagi.
“Semuanya akan berjalan lancar kalau kita berdua sama-sama berusaha, Maya. Tidak bisa jika hanya aku yang jalan atau kau saja yang jalan.” Jeda sejenak. “Yakinlah.”
Maya menggelengkan kepala pelan sekali. Dalam hatinya benar-benar belum bisa memilih hendak condong kemana. Sebagian, ia ingin percaya begitu saja pada ucapan Al. Sebagian lagi, ia yakin, ini tidak akan berhasil. Nyonya Berta bukan manusia yang mudah ditaklukkan hatinya, batin Maya. Dan kegelisahan itu tertangkap mata oleh Al.
“Kau masih belum percaya?!” tanya Al.
Maya mengangguk.
“Bagian mana yang masih sulit untuk kau percaya?” tanya Al lagi.
Maya menatap Al. Agak ragu, tapi ia bersuara juga, “Semuanya….”
“Semua?! Maksudmu?”
“Ya, semuanya. Aku bahkan tidak percaya aku ada di sini, di bawah pohon ini, di suatu tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya, dan ada kau duduk di sampingku.” Maya menggeleng lagi. “Nampak asing, semuanya. Semuanya….”
Al menunduk. Ia bukan sedang menikmati suara gemerisik gesekan dedaunan. Tidak pula sedang menikmati alunan nada yang dibawa deru angin sejuk pegunungan. Apalagi untuk menekuni dedaunan kering yang gugur dan membentuk mozaik tiga warna yang indah – hijau, hijau kekuningan, dan coklat – di antara kaki-kakinya. Al sedang berpikir. Dan setelah beberapa jenak yang tak terlalu lama, ia kembali membuka percakapan. “Jika kau percaya pada takdir,” Al masih menunduk, “bahwa kejadian teraneh sekalipun di dunia ini bisa mempertemukan dua orang yang jauh jaraknya, maka seharusnya kau tidak berkata seperti itu.”
“Seberapa besar…,” Maya meraih tangan Al, “kau menginginkan diriku, Al?”
Al mengangkat kepala, melihat ke arah Maya. Ia hampir tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul saat ini. “Sebesar…,” Al bingung, “sebesar…, entah. Aku tidak tahu. Apa harus ada pembandingnya?”
Maya tidak menjawab. Matanyalah yang menjawab: ya.
“Karena memang itu terlalu besar, aku tidak bisa menemukan pembandingnya di dunia ini.”
Mata Maya berkaca-kaca. Perlahan, satu bulir bening berhasil mencuri kesempatan keluar dari liangnya. Lalu meluncur bebas di paras ayunya. Al menyapunya, juga bulir-bulir berikutnya yang menyusul keluar dari liangnya.
“Sudahlah, Maya.” Al mengecup puncak kepala Maya. “Aku bosan melihatmu menangis hari ini.” Ia rengkuh lagi gadis itu ke dalam pelukannya. “Jangan hambur-hamburkan airmatamu. Kau mungkin akan memerlukannya untuk kesempatan lain.”
“Misalnya?!”
“Ya, mungkin untuk momen selepas ijab qabul,” jawab Al.
Maya tersenyum. Ia makin menenggelamkan diri ke pelukan Al. Yang jelas, baik Maya maupun Al, tidak menyadari bahwa seseorang tengah melihat mereka dari kejauhan. Cukup jauh, tapi juga cukup jelas untuk menduga apa yang sedang dilakukan Maya dan Al. Setelah puas dengan apa yang ia lihat, Nyonya Berta melangkah pulang.
Aku masih belum paham, mengapa Al menyukai gadis macam itu. Gadis miskin seperti itu tidak cocok untuk anakku. Gadis itu tidak seperti Maya yang dulu. Aku lebih suka Maya Larasati, bukan Kalina something. Bahkan aku tidak bisa menghapal namanya. Maya Larasati memang bukan dari keluarga yang berlimpah harta, tapi dia punya otak yang sepertinya jauh lebih baik dibanding gadis yang ini. Maya Larasati adalah pengacara muda yang siap menjadi pengacara terkenal. Dengan begitu, uang akan lebih mudah mendekat padanya. Sementara gadis ini, aku tidak punya harapan apa-apa.
***
Selepas isya, Al dan Maya duduk di sofa ruang tengah. Mereka sedang melihat album foto lama milik keluarga Al. Mereka tertawa, kadang hanya senyum sekilas, kadang tergelak lepas. Sesekali mereka mengernyitkan dahi jika menemukan sesuatu yang aneh pada fotonya, terutama foto-foto pada saat masa kecil Al. Sementara Al dan Maya asyik dengan album-album lama, Nyonya Berta memilih menghindar. Wanita paruh baya itu sedang menonton tayangan televisi. Hanya matanya saja yang menonton, pikirannya masih penuh tertuju pada Al dan Maya.
“Ini foto siapa, Al?” tanya Maya ketika membuka album yang sedikit tua.
Pada halaman pertama terdapat tiga foto. Ketiganya memuat wajah yang sama, seorang gadis yang memakai toga kelulusan.
“Oh, itu foto Mama.”
“Oya?! Foto kapan ini? Kelihatannya ini sudah lumayan lama.”
Al mendekatkan album itu ke wajahnya. Dahinya agak berkerut, lalu berkata, “Ini waktu kelulusan SMA.” Berpikir lagi, lalu kembali berkata, “Ya, sepertinya memang betul. Kau lihat laki-laki yang berdiri di samping Mama, yang memakai kemeja biru muda dan celana panjang?! Itu almarhum Papa.”
“Oh, jadi orang tuamu sudah saling kenal sejak masih SMA?”
“Nggak juga. Waktu Mama lulus SMA, Papa sudah bekerja di perkebunan teh milik Kakekku. Orang tua Mama dan orang tua Papa adalah sahabat sekaligus rekan bisnis. Mungkin, mereka sudah merencanakan perjodohan Mama dan Papa sejak mereka masih kecil. Atau bahkan sebelum mereka lahir. Entah,” kata Al sambil mengangkat kedua bahunya.
Maya kembali membuka-buka sisa halaman pada album itu dan mendapati perjalanan hidup Nyonya Berta ketika lulus dari SMA dan mulai menapaki dunia kampus. Lalu, di satu halaman sebelum halaman terakhir, Maya tersentak ketika melihat satu foto yang terpajang di sana. Foto itu nampaknya menjadi foto terbesar di album itu, wujudnya hampir memenuhi satu halaman. Tidak ada yang aneh dengan dua orang yang tergambar pada foto itu. Itu foto Nyonya Berta dengan – mungkin – salah satu teman kuliahnya. Tapi, yang membuat Maya tersentak adalah saat melihat wajah teman Nyonya Berta. Seketika Maya langsung berteriak dalam hati: Wajahnya mirip denganku. Tidak! Bukan mirip. Tapi sama!
“Al….”
Maya melihat wajah Al yang sedang menunjukkan ekspresi aneh. Campuran antara bingung, penasaran, dan rasa tidak percaya yang berlebihan.
“Aku tidak tahu siapa perempuan ini,” kata Al setelah beberapa lama bergeming memperhatikan foto itu. “Tapi….”
Al tidak melanjutkan ucapannya. Ia malah membuka lapisan plastik bening yang melindungi foto itu. Pelan-pelan ia lepaskan lembar foto itu dari halaman album. Lalu berlari menuju kamar Ibundanya. Maya mengikuti dengan perasaan cemas. Di otaknya hanya ada satu pertanyaan: Siapa perempuan itu?
Pintu kamar Nyonya Berta sudah terbuka. Si pemilik kamar sedikit terlonjak ketika mendengar pintunya tiba-tiba terbuka dari luar. “Ada apa ini?”
Baik Al maupun Maya tidak ada yang bersuara. Lalu Al menunjukkan lembar foto yang dipegangnya kepada sang ibu. Dan tidak seperti ekspresi yang mereka harapkan, Nyonya Berta hampir tidak mengubah air mukanya.
“Ada apa dengan foto tua itu?” tanya Nyonya Berta.
“Kenapa Mama masih bertanya seperti itu?” Giliran Al buka suara. “Apa satu wajah di foto ini tidak mengingatkan Mama akan seseorang di rumah ini?”
Nyonya Berta bergeming. Pandangan matanya berpindah-pindah. Dari Al, foto, lalu sekilas melihat Maya, lalu melihat Al lagi. Dan akhirnya ia berkata, “Tidak!” dengan tegas.
--- bersambung ---
Sumber gambar angel on forest, klik image.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H