Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Sixteen

26 November 2012   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13423739781269166312

previous chapter

Kurang lebih tujuh bulan Rosi menjadi penghuni sementara rumah keluarga Tuan Wawan. Selama itu, Rosi berusaha mematuhi apa yang pria tua itu katakan. Setengah dari pikirannya menggaungkan perihal rasa segan terhadap keluarga Tuan Wawan. Setengahnya lagi, hanya gundukan rasa bersalah yang entah ditujukan kepada siapa, banyak yang ia sesalkan.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Rasa sakit mulai menghinggapi tubuh Rosi sejak malam menjelang dini hari. Ia hampir tidak tidur semalaman. Beberapa jam setelah rasa sakit itu datang, ia belum berani memberitahu siapapun. Pasalnya, seminggu yang lalu, ia merasakan hal sama, namun tidak separah hari ini. Lalu, dengan paniknya ia meminta bidan segera datang ke rumah. Setelah diperiksa, ternyata rasa sakit itu bukan rasa sakit menjelang persalinan. Bidan mengatakan, rasa sakit itu bisa karena kram perut. Wajar terjadi pada ibu hamil. Penyebabnya bisa karena stres menjelang persalinan.

Rosi benar-benar terjaga sampai fajar hendak muncul di horizon timur. Saat ia pikir sebagian penghuni rumah sudah bangun, ia baru keluar dari kamar dengan tertatih. Bu Sari, salah seorang asisten rumah tangga keluarga Berta, yang pertama kali mengetahui kondisi Rosi. Bu Sari langsung mengetuk pintu kamar Berta. Tak lama, kira-kira kurang dari satu jam, bidan yang biasa menangani Rosi sudah datang. Dan, yang terjadi selanjutnya, adalah perjuangan antara hidup dan mati seorang gadis yang masih ‘hijau’.

***

Pelan-pelan Berta membuka lapisan kain yang membalut tubuh ringkih yang mungil. Ada tanda lahir yang agak besar di paha kiri bayi itu. Warnanya biru pucat. Tanda ini akan mudah sekali diingat, batin Berta. Lalu, dengan lembut ia membasuh bayi perempuan itu dengan air hangat. Bayi itu sudah berumur dua minggu. Dan, hampir setiap hari, Berta memandikan bayi itu. Bukannya si ibu tidak bisa memandikan, tapi biarlah ikatan itu terjad ketika menyusui saja.

“Kamu sudah memikirkan sebuah nama untuknya, Ros?” tanya Berta sambil pelan-pelan menyabuni tubuh si bayi.

“Sudah, Teh.”

Berta melirik Rosi yang sedang duduk di tepi ranjang. “Siapa namanya?”

“Kalina Mayasari,” jawab Rosi dengan mantap.

“Kalina Mayasari?” gumam Berta. “Nama yang cantik. Tapi, apa artinya?”

“Nggak tau, Teh. Ros juga menganggap nama itu cantik.” Rosi menghela napas panjang. “Ros dan Bayu pernah ngobrol soal nama. Ya, di tengah obrolan ini itu yang nggak jelas ujungnya.” Rosi tersipu. “Bayu pernah menyebut nama Kalina. Dan, Ros…. Ros suka nama Maya. Sederhana, tapi indah. Bukan menyoal artinya yang ‘tak berwujud’, hanya kagum dengan jalinan aksara yang membentuknya.”

Berta tertawa. Agak keras. Hampir saja sang bayi terlepas dari tangannya. “Teteh baru kali ini denger kamu sok filosofis gitu.”

“Ah, Teteh. Ros, mah, nggak ngerti apa-apa soal filosofi sebuah nama.” Rosi tersipu malu, lagi.

Berta sudah selesai memandikan sang bayi. Sekarang ia membungkus makhluk mungil itu dengan handuk lembut untuk mengeringkan kulitnya. Lalu, ia balur tubuh bayi perempuan itu dengan minyak telon dan bedak. Beberapa menit kemudian, si bayi sudah rapi dan siap menyusu pada Ros.

“Sebenarnya Ros kasihan sama Maya, Teh. Dia cuma bisa dapet ASI sebentar.”

Berta membereskan ember bayi dan perlengkapan lainnya. “Tapi, itu lebih baik daripada nggak dapet sama sekali, Ros. Yang penting,” Berta kini duduk di sebelah Ros, “kalian berdua sudah punya ikatan batin.”

Rosi tersenyum, walaupun dalam hatinya terasa perih. Tak lama lagi ia harus rela melepas bayinya. Namun, sampai detik ini, ia tidak tahu kemana harus menyerahkan bayinya. Jika harus diserahkan ke panti asuhan, akan bertambah rumit urusannya. Pun, Ros sedikit meragukan kesejahteraan putrinya di tempat itu. Tapi, jika harus menyerahkan Maya kepada sebuah keluarga, siapa yang mau menerima? Itu juga pilihan yang sulit. Ia tak bisa juga menduga-duga apa yang mungkin terjadi di masa depan. Akankah Maya benar-benar dianggap sebagai anak kandung keluarga itu? Atau, Maya akan tetap dianggap sebagai anak angkat dan malah diperlakukan sebagai ‘orang lain’? Benar-benar banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

“Ros….”

Berta menyentuh bahu Rosi. Rupanya Rosi melamun sampai tidak menyadari kalau Maya sudah sedari tadi terlelap di pangkuannya.

“Tidurkan Maya di kasur, sementara kamu siap-siap,” ujar Berta dengan suara setengah berbisik, agar tak mengganggu tidur sang bayi.

“Iya, Teh,” Rosi menurut, lalu menidurkan Maya di atas ranjang. “Tapi, Teh…. Bagaimana kalau Om Wawan dan Tante Yanti nanya soal Maya?”

Tadinya Berta hendak keluar dari kamar Rosi. Namun, urung setelah mendengar pertanyaan Rosi. Itu hal yang belum benar-benar Berta pikirkan.

Pernah, satu hari setelah Maya lahir ke dunia, Nyonya Yanti menyarankan agar Rosi memakai jasa sebuah panti asuhan untuk mencarikan orangtua angkat bagi Maya. Tapi, Rosi menolak. Waktu itu Rosi beralasan belum ingin berpisah terlalu cepat dengan Maya. Padahal sesungguhnya, Rosi takut jika menuruti saran Nyonya Yanti, ia akan kesulitan ‘melihat’ Maya. Rosi ingin, di kemudian hari, ia tahu dimana harus menemukan Maya.

“Mungkin kita harus berbohong sedikit,” jawab Berta setelah berpikir sejenak.

“Bohong gimana, Teh? Ros nggak berani, ah.”

“Bilang aja, Maya kita titipkan ke sebuah panti asuhan di Bandung. Bukannya dulu Mama pernah nyaranin kayak gitu?!”

Rosi mash belum yakin dengan apa yang dikatakan Berta. Berta mendekat. Ia menepuk bahu Rosi sambil tersenyum.

“Percaya sama Teteh, Ros. Semuanya bakalan baik-baik aja.”

Kali ini Rosi tersenyum dan setuju dengan apa yang dikatakan Berta.

***

“Mama…. Pulang, yuk,” rengek Al. “Al udah capek muter-muter terus. Ntar Papa, Abah, sama Buti marah, lho, kalo Al pulangnya kesorean.”

Berta mengerti kondisi Al yang sudah sangat kelelahan. Sekarang sudah hampir pukul empat sore. Berarti sudah hampir enam jam ia, Al, juga Rosi dan bayinya, berada di jalan raya. Siang tadi memang mereka sempat mampir ke sebuah mall di pusat kota Bandung, hanya untuk menyenangkan Al. Karena sebelumnya, mereka berkali-kali keluar masuk beberapa perumahan mewah. Al menjadi bosan dan terus merengek minta dibelikan mainan. Lalu, selepas dua jam berada di mall, mereka melanjutkan berkeliling ke beberapa perumahan. Dan, Al kembali bosan.

“Sabar, ya, sayang,” Berta berusaha menenangkan putra sewata wayangnya. “Kita masih nyari rumah temennya Tante Rosi,” dalihnya.

“Emangnya… temennya Tante Rosi nggak ngasi tau dulu di mana alamatnya?” tanya Al dengan nada kesal khas anak umur lima tahun.

Sementara itu, Berta dan Rosi saling pandang. Keduanya benar-benar tidak menyangka, anak sekecil Al bisa berpikir secepat itu.

“Ehm…, gini, Al.” Giliran Rosi yang bicara. “Temen Tante Rosi lagi sakit. Jadi, nggak bisa ngasi tau alamatnya.”

“Kan, bisa lewat telepon ngasi taunya, Tante,” sahut Al lagi.

“Temennya Tante Rosi nggak punya telepon, Al,” tukas Berta.

“Tapi, Ma….”

“Al, liat deh! Ada kuda,” seru Berta sambil menunjuk sebuah delman yang sedang parkir di tepi jalan.

“Wah…,” gumam Al terkagum-kagum. “Ma, berhenti, Ma! Berhenti! Al mau pegang kudanya,” teriak Al sambil mengguncang-guncangkan bahu kiri Berta.

Berta terpaksa menuruti permintaan putranya. Ia memarkir sedan hitam tak jauh dari delman tersebut. Al langsung menghambur keluar begitu mobil berhenti. Sementara Berta membantu Rosi turun dari mobil, ternyata Al sudah mengelus-elus kepala kuda sambil mengobrol dengan sang kusir delman.

“Teteh….”

“Ya?!”

“Ternyata kita ada di depan kuburan, Teh,” ujar Rosi dengan suara pelan.

Berta langsung menengok ke arah tempat yang dilihat Rosi. Memang benar, kini mereka tengah berada di depan sebuah kompleks pemakaman. Keduanya tidak menyadari hal itu. Pasalnya, di areal yang tak seberapa luasnya, tidak terdapat satupun pohon kamboja yang identik dengan tanah pekuburan. Tepian areal itu, yang berbatasan dengan jalan raya, ditanami pohon kenangan yang belum terlalu tinggi batangnya. Namun, beberapa di antaranya sudah berbunga lebat sehingga aroma kenanga memenuhi udara yang mereka hirup.

Tak jauh dari tempat Berta dan Rosi berdiri, ada sebuah jalan masuk kecil menuju rumah yang terletak persis di salah satu tepi areal pekuburan. Di rumah itu, di terasnya, duduklah sepasang suami istri. Mereka nampak tengah bersantai sambil berbincang. Ada raut bahagia terpancar dari keduanya. Paling tidak, begitulah yang mata Rosi tangkap dari sepasang suami istri tersebut. Mendadak, Rosi tahu apa yang harus ia lakukan.

“Teteh….”

“Ya….”

“Ros udah tahu sekarang.”

“Tahu apa?” tanya Berta keheranan, sementara matanya bergantian melihat Al yang masih sibuk dengan kuda.

Ros tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun