Baru lima menit. Para gadis akan membutuhkan waktu lebih lama dari itu untuk memilih pakaian. Apalagi untuk acara kencan. Mungkin akan sedikit lebih lama. Al menenangkan dirinya. Tak dimungkiri, ia gelisah, sekaligus sedang menduga-duga, bagaimana rupa Maya setelah berdandan.
“Assalammualaikum.”
Suara berat dan tenang muncul dari pintu rumah. Pak Dahlan datang. Baju taqwa, sarung, dan peci yang dikenakan pria tua itu membuat Al tidak perlu bertanya lagi dari mana Pak Dahlan tadi.
“Wa’alaikumsalam,” sahut Al. Ia bangkit lalu menyalami ayah Maya.
“Sudah dari tadi, Nak Al?” tanya Pak Dahlan.
“Iya, Pak.”
“Maya mana?”
“Sedang berganti pakaian,” jawab Al. “Sekalian saya juga minta ijin, Pak. Malam ini saya ingin mengajak Maya keluar.”
Pak Dahlan tidak menjawab. Ia melepas pecinya dan menaruh di atas meja tamu. Lalu ia tempatkan diri di sebuah kursi yang berhadapan langsung dengan Al. Kursi yang tadi dipakai Maya. Antara Al dan Pak Dahlan hanya ada sebuah meja tamu, yang salah satu kakinya diganjal dengan sekeping pecahan genteng.
Al sendiri masih bingung, sekaligus cemas. Ia takut Pak Dahlan tidak mengijinkan dirinya mengajak Maya keluar malam ini.
“Mau kemana kalian berdua?” Akhirnya pria tua yang kepalanya setengah ditumbuhi uban mulai bicara.
“Ehm…. Saya ingin mengajak Maya makan malam di luar, Pak.”
“Memangnya di sini tidak bisa makan malam?!”
Mati kutu. Al bingung hendak menjawab apa. Ia merasa seperti makhluk bodoh di hadapan Pak Dahlan. Pertanyaan tadi bukan seperti kalimat yang mempertahankan harga diri – yang biasanya dilakukan kaum papa jika merasa tersinggung – tapi lebih seperti orangtua yang menangkap basah anaknya sedang mencuri mangga di halaman rumah tetangga, padahal di halaman rumahnya sendiri juga ada pohon mangga yang ranum buahnya.
Al membenahi sikap duduknya. Itu kamuflase. Sebenarnya ia sedang menyusun sebuah alasan tepat atas pertanyaan Pak Dahlan. Tak sadar, pori-pori pelipisnya mulai mengeluarkan cairan.
“Sebenarnya, makan malam hanya sebagian dari tujuan saya mengajak Maya keluar malam ini. Selebihnya, saya hanya ingin mengajak Maya menikmati suasana malam. Apalagi sekarang malam minggu. Saya harap bapak mengerti.”
Pak Dahlan tertawa kecil. Tapi lama-lama menjadi sebuah tawa yang lantang dan renyah. Seolah pria tua itu tengah menyaksikan tayangan komedi. Dan itu jelas membuat Al heran setengah mati. Ia bertanya-tanya, apa gerangan maksud orang tua ini. Lalu Pak Dahlanpun berhenti tertawa. Pria tua itu melihat Al. Bukan dengan tatapan tajam atau menghakimi. Tapi dengan tatapan seorang pria tua kepada anak lelakinya.
“Bapak mengerti, Nak Al. Bukankah bapak juga dulu pernah muda?!”
Sebuah kalimat retorika yang tidak perlu penegasan lagi. Jadi Al hanya tersenyum malu. Mungkin ia sudah menyadari kebodohannya. Sementara itu, Pak Dahlan melanjutkan tawanya. Al makin merasa dia adalah makhluk paling bodoh di dunia ini.
Tawa Pak Dahlan terhenti ketika Maya membuka pintu kamarnya. Engsel pintu itu berdecit, seakan ingin menyadarkan dua pria yang tengah duduk di kursi tamu, bahwa akan ada makhluk indah berhati rapuh yang akan keluar dari persembunyiannya. Dan memang, Maya berhasil membuat kedua pria itu – Al dan Pak Dahlan – termangu seperti tengah menyaksikan seorang bidadari yang baru saja turun dari khayangan.
“A… ada yang sa… salah, ya, dengan bajuku?” Maya tergagap melontarkan pertanyaan.
Dan kedua pria itupun terkesiap. Lalu berlomba memberikan pandangannya. Maya bingung mengikuti kalimat-kalimat Al dan ayahnya, karena memang keduanya bicara secara bersamaan. Namun di tengah kebingungannya, Maya tersenyum dalam hati. Ternyata penampilannya sanggup membuat paling tidak dua orang pria terkesima.
Nyatanya, tidak ada yang spesial dari penampilan Maya. Ia hanya mengenakan celana jeans warna hitam, t-shirt dengan aksen garis di beberapa bagian, dan sepotong cardigan biru tua dengan dua kantong di sisi kiri dan kanan. Tiga potong pakaian yang ia kenakan bukanlah benda mahal yang ia beli dari mall. Bahkan, toko tempat ia membeli tiga potong pakaian itu adalah toko pakaian bekas. Hanya saja, Maya rela berjam-jam menjelajah di dalam toko itu demi mendapatkan sesuatu yang ia anggap mahal. Dan ia berhasil.
Maya mendekati ayahnya. Ia langsung meraih tangan kanan ayahnya dan mencium punggung tangan pria tua itu.
“Aku pergi dulu, Ayah.”
“Ah, ya. Jangan pulang terlalu malam,” sahut Pak Dahlan, lalu beralih bicara kepada Al, “Dan, Nak Al…. Bawa kembali putriku dalam keadaan yang baik, ya. Kau mengerti maksud bapak, kan?!”
“Iya, Pak. Saya mengerti.”
Tak lama, kedua muda-mudi itu sudah meluncur dengan Vios hitam milik Al, menembus belantara kemacetan akhir minggu menuju ke pusat kota Bandung.
“Kita akan makan di sana,” kata Al setelah selesai memarkir mobilnya. Ia menunjuk sebuah kafe yang terletak di kompleks pertokoan mewah. “Masakan di sana enak. Kau pasti akan suka. Tapi sebelumnya, aku ingin mengajakmu ke situ.” Al menunjuk sebuah butik yang bersebelahan dengan kafe.
Maya sedikit terkejut. Lalu terlintas di pikirannya bahwa sesuatu yang ia kenakan untuk membalut tubuhnya, tidak dianggap pantas oleh Al.
“Memangnya ada yang salah dengan bajuku?”
“Tidak.” Al tersenyum. “Aku hanya ingin kau punya beberapa potong lagi yang seperti itu.” lalu Al bersiap keluar dari mobil.
“Tunggu dulu.” Maya menahan tangan Al. Tapi segera ia lepaskan. “Menurutmu, apa aku harus memakai cardigan ini? Aku pikir warnanya tidak cocok dengan t-shirt yang aku pakai.”
Ah, para gadis selalu meributkan hal-hal yang tidak seharusnya. Bukankah yang terpenting adalah rasa nyaman. Tapi Al tidak berani mengucapkannya secara lantang di hadapan Maya.
“Jika menurutmu itu tidak cocok, lepaskan saja. Tapi kalau kau merasa nyaman dengan itu, ya, pakai saja.”
Maya diam. Pandangannya lurus ke depan. Bibirnya nampak seolah mengulum sesuatu. Al tahu, gadis itu sedang berpikir.
“Ah, aku lepas saja.” Lalu Maya meletakkan begitu saja cardigan itu di jok belakang dan segera keluar dari mobil.
Begitu memasuki ruangan butik, Maya benar-benar takjub. Ia belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Jauh sekali. Berbanding terbalik dengan yang ia lihat di toko pakaian bekas yang pernah ia datangi. Jika di toko pakaian bekas, dalam satu gantungan sepanjang satu meter terdapat puluhan potong baju, maka di butik ini hanya beberapa potong saja. Hawa sejuk jelas menambah elegan segala yang Maya lihat di butik ini. Walaupun rasa takjubnya melebihi dari yang pernah ia rasakan, tapi Maya menahannya agar tidak terlihat memalukan di mata orang lain.
“Silakan kau pilih apa saja yang kau suka.”
Suara Al membuyarkan ketakjuban Maya. Gadis itu mengangguk. Al meninggalkan Maya, lalu beralih menuju sisi lain ruangan tempat berbagai macam pakaian pria terpajang rapi. Tak lama, datang seorang pramuniaga wanita.
“Selamat malam. Selamat datang di butik ini. Jika ada yang ingin ditanyakan, bisa dengan saya Dita Saputri,” ujar sang pramuniaga yang berseragam kemeja batik.
Al yang sebelumnya tengah melihat-lihat pakaian pria salah satu bagian butik, seketika menegakkan kepalanya. Nama itu baginya sangat tidak asing. Ia lalu menghampiri sang pramuniaga yang sedang membantu Maya memilih pakaian.
“Kau Dita?!” tanya Al.
Yang ditanya berbalik melihat Al dengan heran. Gadis itu hanya mengangguk ragu.
“Dulu sekolah di SMA 5 Bandung?” tanya Al lagi.
Kali ini anggukan gadis bernama Dita itu sedikit lebih yakin. Al malah tersenyum.
“Aku Al. Kau masih ingat, kan?! Dulu kita pernah sekelas di tahun kedua.”
Dita diam sebentar. Keningnya sedikit berkerut. Ia sedang memeras memorinya, mencoba mencari-cari kenangan yang Al usik dari otaknya.
“Kau Alhatiry? Yang sering mengejek rambut pendekku?!”
Al mengangguk. Ia menyalami Dita, lalu menepuk bahu gadis itu dengan akrabnya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah sebuah reuni mini antara Al dan Dita. Dua orang ini seolah lupa, di dekat mereka ada Maya yang kini merasa tersisihkan. Ada gurat kecemburuan di wajah Maya. Namun Maya tak ingin rasa itu menjadi racun dalam dirinya. Ia memilih menghindar dari dua orang itu dan kembali menyibukkan diri berburu pakaian mahal di butik ini. Toh ia tidak perlu membayar untuk ini semua. Sekali-kali ia ingin bersikap tidak peduli dengan sekitarnya.
Maya pikir ia sudah berusaha mengulur waktu selama mungkin. Berkali-kali ia keluar masuk kamar pas untuk mencoba pakaian yang ia pilih. Tapi ia merasa masih kurang mengulur waktu. Al masih saja sibuk dengan gadis itu. Aku mulai bosan dengan ini, pekik Maya dalam hati. Jadi ia kumpulkan beberapa potong pakaian yang tadi ia pilih – semuanya dengan bandrol harga lebih dari dua ratus ribu – lalu ia sodorkan begitu saja kepada Al. Dan yang lebih menjengkelkan buat Maya, Al terus saja sibuk dengan gadisnya.
Ah, apa gunanya aku menunggu di sini? Pemandangan di luar nampaknya lebih mengasyikkan untuk dilihat. Maya bicara pada dirinya sendiri.
Maya keluar dari butik. Matahari sudah sedari tadi menghilang di balik horizon barat. Sekarang permadani biru tua menguasai langit Bandung. Hawa dinginpun tak mau ketinggalan menjajah raga siapapun, termasuk Maya. Ia masih berdiri di depan pintu butik. Sendirian. Al masih – entah apa yang pria itu lakukan – di dalam butik. Kedua tangan Maya saling mengait, bersilangan di depan dadanya, berharap dengan posisi seperti itu bisa sedikit membentenginya dari hawa dingin.
“Duduk di kursi saya saja, Mbak.”
Seorang juru parkir menawarkan sambil menunjuk kursi plastik di sampingnya. Maya tersenyum, lalu menggeleng pelan.
“Saya nggak lama kok, Pak. Terima kasih tawarannya,” balas Maya.
“Tapi, mbak,” ujar sang juru parkir lagi. “Kayaknya mbak musti nunggu agak lama.”
Pria paruh baya dengan rambut mulai memutih itu mengalihkan pandangan ke dalam ruangan butik, melalui kaca tembus pandang yang menghias bagian muka bangunan itu. Otomatis, Maya mengikuti pandangannya ke arah yang sama. Ia melihat Al, dan juga gadis pramuniaga itu, masih saja berbincang. Mereka tampak semakin akrabsetelah beberapa saat. Dan rasanya sulit memisah keakraban itu, pikir Maya. Jadi, tanpa bicara lagi, ia menerima tawaran kursi plastik yang sudah tak cerah lagi warnanya.
Sepuluh menit berlalu, berubah menjadi dua puluh menit, dan dengan bergegas menginjak tiga puluh menit. Al masih di dalam butik, dan Maya masih duduk sambil menahan dingin di teras butik. Berkali-kali ia mengumpat dalam hati. Tentang apa saja. Yang paling banyak adalah tentang kebodohannya tidak membawa serta cardigan biru tua yang sekarang tergeletak di jok belakang.
Sementara itu, Al masih saja membahas masa SMA dengan Dita. Gadis tomboi itu – yang sekarang sudah berubah menjadi wanita feminin – memang gadis yang menyenangkan. Tak akan bosan jika berbincang dengannya, pikir Al. Lalu tiba-tiba Al terlonjak ketika tanpa sengaja pandangannya terarah pada jam dinding di salah satu sisi ruangan itu.
“Ya, ampun. Ini sudah jam delapan lebih.”
Dita tidak bereaksi apa-apa. Gadis itu sepertinya lupa, Al tidak datang sendirian. “Memangnya kenapa, Al? Ini, kan, masih sore. Apalagi sekarang malam minggu.”
“Justru karena sekarang ini malam minggu, aku tidak seharusnya melupakan seseorang.”
Mata Al mencari-cari sosok Maya di dalam ruangan butik, sambil membereskan pembayaran beberapa potong pakaian yang tadi dipilih Maya. Ia tidak menemukan Maya di ruangan itu. Lalu ia memicingkan matanya menembus kegelapan di luar sana. Pun ia tidak melihat siluet tubuh Maya di sana. Setelah pembayaran selesai, tanpa pamit lagi kepada Dita, Al bergegas menuju pintu keluar. Sampai di luar, Al masih tidak bisa menemukan Maya!
Al menjatuhkan bungkusan berisi pakaian. Tangan kanannya merogoh saku celana, mengambil ponselnya. Ia mencari nama Maya pada benda canggih itu, lalu menekan tombol hijau. Sambil matanya tak lepas menyapu sekitar, telinga kanan Al sigap menangkap suara Maya. Tapi suara yang ditunggu tidak kunjung hadir. Al resah.
Setidaknya lima menit terakhir ia sibuk dengan ponselnya, sementara matanya tak henti mencari sosok Maya. Ia ingin sekali bertanya pada juru parkir, tapi rupanya pria berseragam itu sudah pulang. Al berbalik. Kini punggungnya membelakangi jalan raya dan matanya menatap nanar butik yang tadi ia kunjungi. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia mulai merasa bersalah.
“Kupikir kau memang tidak bisa menghilangkan karismamu terhadap semua gadis.”
Suara itu, ujar Al dalam hati. Lalu ia berbalik dan menemukan sosok Maya di hadapannya. Tangan kanan gadis itu memegang sebotol minuman dingin.
“Tapi paling tidak, aku sudah mengetahui itu sekarang. Hingga esok hari, jika aku terjebak dalam situasi seperti ini lagi, aku tidak akan kaget,” ujar suara itu lagi.
“Dari mana saja kau, Maya? Mengapa kau tidak menjawab teleponku?”
“Ponselku tertinggal di saku cardigan. Dan benda itu tergeletak di jok belakang,” jawab Maya. “Beruntung aku bukan gadis bodoh yang meninggalkan pula tasnya di dalam mobil. Sehingga aku bisa membeli sesuatu yang bisa mengusir kering di tenggorokanku.”
Kalimat Maya kini terdengar lebih ketus. Ia kesal. Dan berharap tidak menumpahkan kekesalannya dengan cara yang tidak elegan. Jujur, ia ingin sekali menampar Al saat ini juga. Ia ingin tamparan itu bisa menyadarkan betapa pria itu tidak boleh lagi bersikap sembarangan terhadap teman wanitanya.
“Aku benar-benar minta maaf, Maya. Bisakah kita bicara sambil jalan? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Tidak perlu. Lebih baik kau antar aku pulang.”
--- bersambung ---
Sumber gambar angel on forest, klik image.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H