Dua puluh tiga tahun yang lalu…
Pukul empat sore, Berta sudah berada di pinggiran kebun teh milik orangtuanya, tak jauh dari rumah. Sembari berdiri di antara rerimbunan pohon teh, ia menyuapi putranya yang baru menginjak usia lima tahun. Sesekali ia menunjuk kawanan burung di langit untuk menghibur anaknya, lalu kembali menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke mulut putranya.
“Teteh!” Seseorang – baru saja keluar dari sedan abu-abu – memanggil Berta.
Berta menengok ke arah sumber suara, lalu tersenyum. “Hei, sini, Ros,” sahutnya.
Gadis itu – yang bernama Rosi – segera mendekat ke tempat Berta berdiri. Langkahnya ringan, walau wajahnya sedikit menunjukkan sesuatu yang lain. Seperti ia sedang menyembunyikan kabar buruk. Namun, Rosi menyamarkan raut itu dengan nyaris sempurna. Ia terlihat seriang badut di taman ria, atau mungkin seriang seorang guru taman kanak-kanak. Baginya, tidak boleh ada yang melihatnya dalam keadaan sedih.
“Udah lama nunggu, ya, Teh?!” tanya Rosi.
“Ah, enggak, kok,” jawab Berta, yang kemudian kembali menyuapi putranya. Suapan terakhir.
“Al. Lihat, nih, tante punya apa?” ujar Rosi sambil merogoh ke dalam tas selempangnya.
“Permen?” tanya Al dengan wajah riangnya.
“Ehm, bukan,” sahut Rosi sambil menggeleng. Lalu ia mengeluarkan sekantong besar biskuit marie dan menyerahkannya kepada Al. “Permen bisa bikin gigi hitam dan rusak, Al. Nggak mau, kan, gigi Al ompong gara-gara kebanyakan makan permen?!” Al menggeleng. “Nah, makanya Tante kasih Al biskuit aja. Ini buat sarapan Al sebelum berangkat sekolah,” lanjut Rosi.
“Mama?!” Al seolah meminta persetujuan Berta perihal biskuit itu. Berta mengangguk, lalu tersenyum. Kemudian Al berlari pulang sambil membawa bungkusan berisi biskuit pemberian Rosi.
“Apa kabarmu, Ros?”
“Ehm…. Baik, Teh,” jawab Rosi sambil menunduk.
“Apa kabarmu, Ros?” Berta mengulang pertanyaan. Kali ini dengan nada tidak biasa, campuran antara nada tidak percaya dan mengancam. Tapi Rosi malah makin menunduk dan diam.
Pertemuan kali ini Berta anggap tidak biasa. Ini baru tengah minggu. Bukan waktu-waktu di mana Rosi biasa berkunjung ke Lembang. Biasanya, Rosi datang kemari di akhir minggu. Sabtu pagi datang, menginap semalam, lalu kembali ke Bandung pada hari Minggu sore. Itu rutinitas sebulan dua kali. Tapi sekarang, ini baru selang tiga hari setelah acara ‘menginap’ tersebut.
“Ros bingung gimana harus mulai cerita, Teh.” Akhirnya Rosi buka suara.
“Mulailah dari yang paling awal,” tukas Berta.
“Mungkin emang Ros aja yang bodoh, Teh.”
“Bodoh? Maksudnya?” Berta menelisik wajah Rosi yang kini memandang lepas ke hamparan rimbun pohon teh.
“Ros melakukan sesuatu yang bodoh.”
Berta semakin heran dengan kalimat-kalimat Rosi. Menurutnya, gadis di sampingnya ini terlalu bertele-tele dalam menyampaikan sesuatu. “Cerita saja, Ros. Jangan main tebak-tebakan gitu,” ujar Berta makin tak sabaran.
“Ros minta maaf, baru kali ini bisa cerita sama Teteh. Sebab Ros takut….”
“Takut kenapa?” potong Berta.
“Ros hamil, Teh. Sudah lewat sepuluh minggu.” Kesannya, ucapan itu memang ringan, tapi ada beban berat terkandung di dalamnya. Dan, Rosi lega sekarang beban itu sedikit berkurang.
Lain halnya dengan Berta. Bagai dilecut cemeti pawang singa, Berta benar-benar kaget. “Hamil?!” pekiknya tertahan sambil mencari kebenaran di mata Rosi.
Rosi mengangguk.
“Sepuluh minggu?!”
Rosi mengangguk lagi. Ia lalu memandang Berta dengan tatapan memohon. “Tolong jangan bilang Mama dan Papa, ya, Teh,” pintanya.
“Sama siapa?” Berta seolah tak mempedulikan permintaan Rosi.
“Maksudnya?”
“Lelaki yang menghamilimu? Apa itu Bayu?”
Rosi mengangguk.
“Bayu harus bertanggung jawab,” ujar Berta dengan geram.
“Tidak, Teh. Itu tidak perlu,” sahut Rosi.
Lagi-lagi ucapan Rosi membuat dahi Berta berkerut karena heran. “Kenapa enggak? Jelas Bayu harus bertanggung jawab. Dia nggak boleh lari begitu saja.”
“Bukan gitu maksud Ros, Teh.”
“Terus maksudmu gimana? Apa Bayu juga udah tahu soal kehamilanmu?”
“Belum, Teh.” Rosi menunduk lagi. Air matanya siap membuncah dari liangnya.
“Ah, Ros….” Berta masygul. “Sebenarnya ada apa? Kamu tiba-tiba telepon Teteh tadi siang, minta ke sini. Padahal ini bukan hari Sabtu, dan kamu juga baru aja dari sini – nginep di sini – tiga hari yang lalu. Sekarang tiba-tiba kamu datang dengan cerita; kamu hamil. Jadi, ada apa sebenarnya? Teteh belum ngerti, Ros.”
Rosi menangis. Ia bahkan tak sanggup memandang wajah perempuan di sampingnya yang telah ia anggap sebagai kakak kandungnya. Dalam hatinya ia sadar, ia bersalah. Ia telah berbuat sesuatu yang menuntut pertanggungjawaban yang tinggi pada akhirnya. Dan, itulah yang terjadi sekarang. Ia harus siap dengan masa depan, sesuatu yang belum pernah ia pikirkan dan ia bayangkan akan terjadi pada dirinya secepat ini.
“Ada alasan kuat kenapa Ros nggak ngasi tahu Bayu, Teh.”
“Apa itu?” Berta buru-buru menyambar kalimat Rosi.
“Bayu adalah lelaki yang bertanggung jawab.”
“Terus nunggu apa lagi? Kenapa kamu nggak langsung bilang ke Bayu?” sambar Berta lagi.
“Teteh nggak mungkin lupa, kan, waktu Mama dan Papa nitipin Ros ke Om Wawan dan Tante Yanti?! Papa pernah bilang disela-sela obrolan, bahwa Papa sudah merancang masa depan Ros. Ros harus selesai kuliah tepat waktu, lalu Ros harus kerja di restoran Papa selama beberapa tahun. Mungkin empat atau lima tahun. Baru setelah itu Ros dinikahkan dengan calon pilihan Papa dan Mama. Dan, selama Ros kuliah, Papa nggak mengijinkan Ros dekat dengan lelaki manapun. Teteh nggak mungkin lupa soal itu, kan?!”
Berta diam. Ia sedang membongkar kardus memorinya perihal peristiwa dua tahun lalu, kala Rosi baru saja menginjak Bandung untuk kuliah. Ya, memang benar semua yang dikatakan Rosi. Dan, Berta masih jelas mengingat peristiwa itu.
“Jadi, Ros nggak mungkin menikah sekarang, kan, Teh?!” Air mata Rosi makin membanjiri paras ayunya.
Berta masih saja bergeming. Namun otaknya tidak diam. Di benaknya, berlarian tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
“Ros bukannya nggak percaya sama Bayu, Teh. Bayu lelaki yang baik. Dia pernah bilang, dia tidak akan lari dari apa yang semestinya ia lakukan jika hal ini terjadi. Bahkan, beberapa kali, Bayu mengajak Ros untuk menikah. Tak masalah, kata Bayu, jika Mama dan Papa tidak menerima dia sebagai menantu. Walaupun Bayu masih ngerjain skripsi, tapi dia yakin sanggup menghidupi Ros dengan bayarannya sebagai mentor di tempat bimbingan belajar. Semuanya terlihat sempurna di mata kami berdua, Teh. Cuma, Ros dan Bayu terhalang rencana Papa.”
Langit mulai memerah di bagian barat. Kedua wanita beda usia ini masih berdiri di tempat yang sama. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Apa kamu nyesel, Ros?”
Rosi tersenyum, getir. “Kalo itu, mah, nggak usah ditanya, Teh. Teteh pasti tahu jawaban Ros.”
Giliran Berta yang melempar senyum dengan amat terpaksa. Inginnya menghibur Rosi, anak semata wayang dari sahabat orangtuanya, calon penerus usaha kuliner yang lumayan terkenal di Jakarta: Saung Desa. Tapi apa daya, Berta tak dapat berbuat apa-apa.
“Apa rencanamu terhadap janin itu? Apa mau kamu teruskan memeliharanya?”
Rosi menunduk. Tangannya memegang perut bagian bawah. “Masih belum tahu, Teh.” Rosi menengok ke arah Berta. “Menurut Teteh, Ros harus gimana?”
“Sudahlah. Jangan dulu dipikirkan. Mungkin kita harus ngobrol sama orangtua Teteh.”
“Tapi, Teh…. Apa nanti Om Wawan dan Tante Yanti nggak akan bilang ke Papa sama Mama?”
Berta tersenyum. “Kita bisa bicarakan itu nanti. Yang penting, sekarang kamu pulang dulu. Biar nggak kemalaman sampe Bandung. Kan, kamu udah nggak boleh sering-sering keluar malem sekarang. Apalagi kamu nyetir mobil sendiri, Ros.”
Rosi mengangguk. “Ros pulang dulu, Teh. Salam buat Om Wawan dan Tante Yanti.” Lalu, Rosi melangkah menjauhi Berta. Kaki-kaki jenjang menuntunnya menuju tempat parkir mobil di tepian kebun teh. Langit kemerahan mengiringi perjalanan pulangnya menuju Kota Kembang; Bandung.
--- bersambung ---
Sumber gambar angel on forest, klik image.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H