kisah sebelumnya di Jepun Rangkat 2 - Chapter Two
Sudah berhari-hari sejak Citra berkunjung ke kios ketoprak Chevil. Tapi Chevil belum juga menagih bon ketoprak pada Sekar. Selembar kertas putih itulah penyebabnya. Ia benar-benar bingung. Apakah ia harus mengembalikan kertas itu kepada si empunya, ataukah ia biarkan saja dan membuangnya ke tempat sampah?!
Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian itu, Chevil akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke kios kripik Sekar. Ia sengaja memilih waktu sore hari, ketika kios Sekar hendak tutup. Ia tahu, Sekar pasti sangat sibuk ketika siang hari. Ia tidak ingin mengganggunya.
Pukul empat, satu jam sebelum kios sekar tutup, Chevil sudah berada di depan kios kripik satu-satunya di Pasar Rangkat. Ia melihat Sekar masih sibuk melayani beberapa pembeli. Ia menunggu sampai orang-orang itu pergi dari kios.
Sekilas Sekar melihat sosok Chevil ketika sibuk dengan para pembeli di kiosnya. Ia ingin mempersilahkan pria itu duduk di sofanya, tapi urung ia lakukan. Nyaris pukul lima sore ketika kios sudah sepi, ia baru bisa menemui Chevil.
“Maaf, Bang Chevil, sudah membuatmu menunggu lama.”
“Ah…. Tidak apa-apa, Jeng Sekar. Aku mengerti kesibukanmu,” sahut Chevil yang makin merona di hadapan Sekar.
“Oya. Ada perlu apa kemari? Apa Bang Chevil hendak membeli kripik?!” tanya Sekar.
“Tidak. Aku hanya ingin singgah dan mengobrol denganmu, Jeng Sekar.” Chevil masih merona di hadapan Sekar. Ia merasa ada yang aenh dengan dirinya hari ini.
“Ehm…. Ini sudah hampir jam lima. Sudah waktunya kios tutup. Apa kau mau menunggu sejenak sementara aku menutup kios? Nanti kita bisa mengobrol di rumahku. Atau kau yang pilih tempatnya,” ujar Sekar.
“Baiklah. Aku tunggu di sini sementara kau berkemas. Nanti kita mampir ke Taman Rangkat saja. Bagaimana?”
“Oke.”
Sekar segera merapikan kiosnya dan menutupnya. Lalu ia dan Chevil berjalan menuju Taman Rangkat.
“Bisnis kripikmu lancar ya, Jeng?”
“Ya, Alhamdulillah, Bang. Sekarang aku bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membuka cabang di luar Rangkat.”
“Wah, baguslah. Semoga kau sukses membangun kerajaan kripikmu.”
Keduanya tergelak. Tak terasa, mereka sudah sampai di Taman Rangkat. Mereka lalu duduk di bangku panjang yang memberikan pemandangan danau dan rerimbunan jepun.
“Adikmu,” Chevil membuka percakapan lagi,” tempo hari mampir ke kiosku di pasar malam. Ia makan seporsi ketoprak dan segelas es teh. Lalu ia bilang….”
“Iya, aku tahu itu,” potong Sekar. “Ia sudah mengatakannya padaku.” Sekar merogoh dompetnya dan mengeluarkan selembar dua puluh ribuan. “Ini,” katanya sambil menyodorkan uang itu kepada Chevil, “kuharap itu cukup.”
“Ini lebih dari cukup, Jeng. Hanya sepuluh ribu kok. Apa kau punya uang pas? Kebetulan aku tidak punya kembalian.”
“Aku pun tidak punya. Uang pecahan kecil aku tinggal di kios. Tak apa, kau pegang saja dulu. Nanti, siapa tahu aku mampir ke kiosmu, akan kutagih. Dan kau, harus membayarnya dengan seporsi ketoprak padaku.”
Lagi, keduanya tergelak bersamaan.
“Ia pasti menceritakan soal diriku yang kalah lomba lari, kan?!”
“Iya, betul,” jawab Chevl keheranan.
“Itu memang alasan klasik yang sering ia pakai jika harus berhutang ketika membeli sesuatu. Baru dua hari lalu ia gunakan trik itu kepada bunda Yety. Tak tanggung-tanggung, ia berhutang pulsa lima puluh ribu rupiah. Kadang aku kesal dengan ulahnya. Kebiasaan buruknya ketika kecil, tak juga hilang dari dirinya. Umurnya memang sudah dewasa. Ia hanya terpaut dua tahun dariku. Tapi terkadang aku masih sulit membedakan dirinya dengan remaja usia sekolah.” Sekar berhenti sejenak dan menghela napas panjang. “Walaupun begitu,” sambungnya lagi, “aku tetap menyayanginya. Dia adikku satu-satunya. Dan aku… tak sanggup membayangkan bagaimana jika aku harus kehilangan dirinya.”
“Aku paham itu, Jeng. Aku pun pernah membayangkan seandainya aku memiliki saudara kandung. Tentu akan meyenangkan sekali.”
Sekar tersenyum. “Itu betul.”
Chevil menundukkan kepala. Jujur, ia tidak tahan melihat senyum Sekar. “Boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?”
“Apa itu?”
“Kau… masih menjalin hubungan dengan Hans?” Chevil bertanya dengan hati-hati. Ia takut menyinggung perasaan wanita di sampingnya saat ini.
Sekar terdiam. Ia belum mau menjawab. Pandangannya jauh ke arah danau, sambil sesekali menghela napas panjang.
“Aku tidak tahu hubungan seperti apa yang aku jalani dengan pria itu. Aku bahkan tak tahu bagaimana harus menyebutnya. Terkadang ia datang padaku, meminta setangkup cinta dariku, dan berjanji menjaga jepun pemberianku. Tapi di lain waktu, ia seolah tak melihatku ketika ia terlalu sibuk dikelilingi kuntum bunga yang lain. Katakan saja… aku tidak sedang bersama siapapun saat ini.” Sekar kembali memandang ke arah Chevil. “Mengapa kau tanyakan itu?”
“Aku… menemukan ini,” ujar Chevil sambil mengeluarkan lipatan selembar kertas putih dari saku kemejanya. “Aku yakin… ini milikmu,” katanya sambil menyodorkan kertas itu pada Sekar.
Sekar menerima lipatan kertas itu dengan raut bingung. Perlahan ia membuka lipatannya dan membaca isinya.
“Dari mana….”
“Sepertinya,” potong Chevil, “Citra yang tidak sengaja meninggalkan kertas itu di kiosku minggu lalu.”
Sekar terdiam, sepertinya sedang berpikir. Sedetik kemudian, ia kembali tersenyum. “Tak apa. This is nothing. Hanya coretan iseng,” ujarnya sambil memasukkan kertas itu ke dalam tas tangannya.
Senja beranjak menghampiri bumi Rangkat. Menggoreskan warna jingga yang terlampau indah untuk dinikmati. Senja di Rangkat memang selalu indah, dan Sekar senang menikmati momen ini di tepian danau Rangkat. Tapi tidak untuk senja hari ini. Benaknya penuh bermacam-macam pikiran.
“Sekar….”
“Ya….”
“Apakah benar… kau akan pergi dari Rangkat?”
--- bersambung ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H