kisah sebelumnya di Jepun Rangkat 2 - Chapter Five
Kadang hidup memang tidak pernah sesuai dengan yang kita impikan, walau kita merasa selalu dalam track dan tidak pernah sedikitpun mencoba mengubah arah. Atau mungkin kita merasa sudah sejak awal mengatur autopilot dalam perjalanan ini, tapi tetap saja, hasil akhirnya berbeda dengan perkiraan sebelumnya. Begitu pula dengan apa yang dialami Sekar hari ini. Ia tak pernah mengira rencana kepergiannya yang sudah matang dipersiapkan, ternyata telah digagalkan oleh dua orang pria.
Pukul sembilan lewat beberapa menit, ia sudah kembali berada di rumah. Ia melihat tatapan heran adiknya yang sedang memasak mie instan.
“What?!” tanya Sekar seolah tak terjadi apa-apa.
“What are you doing here? You suppose to be somewhere outside.”
“Guess what! I’m staying. Berbahagialah dengan itu. Dan… terima kasih karena kau telah memberi tahu mas Hans soal kepergianku,” sahut Sekar dengan ketusnya.
“Hah?! Mas Hans?! Maksudnya?!” Citra benar-benar tidak mengerti. Ia segera mematikan kompor gas dan bergegas menghampiri kakaknya. “Apa maksudnya, Mbak? Memangnya mas Hans kenapa?”
“Dia berusaha mencegahku di stasiun. Tunggu dulu…,” Sekar berpikir sejenak. “Jadi dia benar-benar tidak tahu soal itu,” gumamnya kemudian.
“Soal apa, Mbak? Tolong jelaskan! Aku belum paham,” ujar Citra.
“Ehm…, sudahlah. Itu tidak penting. Aku masih di sini dan tidak akan kemana-mana. Bukankah itu yang kau inginkan, Adikku?!”
“Iy… iya…,” Citra tergagap. “Okey. Now you are freaking me out. Ada apa sebenarnya sampai kau membatalkan kepergianmu?”
“Hmm… dasar hiperbolis. Sudahlah. Akan kuceritakan nanti. Sekarang kau lanjutkan saja ritual sarapan mie instanmu. Aku harus ke rumah Mommy untuk mengantar pesanan kripik.”
Sekar meletakkan koper di sudut kamar tidurnya, lalu bergegas mengganti pakaiannya. Kemudian ia beranjak mengambil beberapa bungkusan kripik singkong dan memasukkannya ke dalam plastik besar.
“Oya, Citra. Jika mas Hans atau bang Chevil bertanya sesuatu padamu tentang diriku, tolong jangan kau jawab. I’ll explain later.”
Sekilas Sekar melihat raut wajah Citra jadi bertambah bingung. Ia pamit kepada adiknya untuk segera ke rumah Mommy.
Sementara itu, Citra masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Banyak hal yang harus ia cerna pagi itu, selain mie instan yang sedang berjuang untuk menjadi matang di dalam panci kecil di atas kompor. Ini seharusnya menjadi hari minggu yang menyenangkan, bukan hari minggu yang membingungkan, rutuknya dalam hati.
Sekar tiba di rumah Mommy setengah jam kemudian. Ia langsung menemui Mommy yang kebetulan sedang berkebun di halaman depan. Sambil tetap menyemprot anggrek-angrek yang tertempel di dinding pagar, Mommy memandang kedatangan Sekar dengan raut heran yang terlalu kentara di mata Sekar.
“Ini belum pukul tiga sore, Sekar. Bahkan belum tepat jam sepuluh pagi,” ujar Mommy.
Rupanya Mommy tidak tahu apa yang baru saja terjadi di stasiun. Baguslah kalau begitu, aku tidak perlu menjelaskan, pikir Sekar.
“Ehm…, saya tidak bisa mengantar pada saat itu, Mom. Jadi saya antar sekarang saja. Toh ini lebih baik daripada saya terlambat mengantarkan pesanan Mom,” sahut Sekar sambil meyodorkan plastik besar berisi lima bungkus kripik singkong.
“Oh, begitu rupanya,” Mommy manggut-manggut sembari menerima bungkusan kripik. “Tapi… apa kau tidak berjualan hari ini?” tanya Mommy.
“Tidak, Mom. Saya… memang sengaja meluangkan satu hari ini untuk menemani Citra di rumah.”
“Oya?! Ada apa dengan Citra? Apa dia sakit?”
Sekar tersenyum mendengar pertanyaan Mommy. Tapi ia tetap menjaga sikap agar Mommy tidak tersinggung.
“Tidak. Adikku baik-baik saja, Mom. Ini karena… kami berdua sudah terlalu sibuk sepanjang minggu, sehingga kami jarang memiliki waktu untuk sekedar berbincang. Maka, kami sengaja meluangkan waktu untuk bersama hari ini.”
“Baiklah kalau begitu. Bon hari ini kau gabungkan saja dengan yang kemarin. Esok pagi aku akan mampir ke kiosmu untuk membayar semuanya,” ujar Mom.
“Iya, Mom,” sahut Sekar. “ Saya… pamit dulu. Citra sudah menunggu saya di rumah.”
Mommy mengangguk dan Sekar pun meninggalkan Mommy yang kemudian kembali sibuk dengan anggrek-anggreknya.
Hari ini adalah hari minggu. Namun suasana di kantor desa tidak seperti hari minggu yang seharusnya. Hans, sang Kades Rangkat, nampak gusar. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja kerja. Ia bangkit dari duduk, berjalan memutari sofa, dan kembali duduk di balik meja kerja. Ia pandangi jambangan kecil berisi rangkaian gladiol, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Tolong singkirkan vas bunga ini. Benda itu membuat kepalaku tambah pusing,” ujar Hans.
Dengan sigap, Acik mengambil jambangan berisi galdiol itu dan membawanya keluar dari ruangan kantor. Sekejap kemudian, ia sudah kembali berdiri di samping Asih.
Hans kembali bangkit dari duduk dan berjalan hilir mudik di antara meja kerja dan sofa. Raut wajahnya sungguh tidak sedap untuk dipandang. Kades Rangkat sedang terserang penyakit bingung stadium akut.
“Mas Hans…. Apa tidak lebih baik kita bertanya kepada Mommy? Mommy sangat dekat dengan Sekar. Aku yakin, Mommy pasti bisa memberi petunjuk pada kita,” usul Asih, sang sekretaris desa.
Hans berhenti sejenak dan memandang Asih, lalu dengan tegas berkata, “Tidak!” lalu ia kembali berjalan hilir mudik di ruangan kerjanya. “Aku tidak ingin terlihat memalukan di hadapan Mommy. Dengan bertanya seperti itu, akan membuat Mommy berpikir aku tidak pernah serius menjalani hubungan dengan Sekar.”
“Tapi itu kan lebih baik, daripada mas Hans mengambil keputusan sendiri, dan ternyata jawaban itu tidak benar,” sahut Asih.
“Atau kita tanya Jaka saja, Mas?” kali ini Acik, sang sekretaris prbadi, yang mengusulkan. “Dia mantan kekasih Sekar. Pasti dia tahu jawabannya,” sambungnya lagi.
“Memangnya kau lupa di mana Jaka sekarang?! Apa kau sanggup membawa pemuda itu kembali ke Rangkat dalam waktu kurang dari dua jam?!” Hans balik mencecar Acik.
“Oh iya, dia sudah kembali ke Bandung untuk melanjutkan kuliah,” gumam Acik. “Tapi kan bisa tanya lewat telepon, Mas.”
Hans hanya menggeleng tanda tak setuju dengan usulan Acik.
“Asih….”
“Ya, Mas.”
“Bukankah kau dekat dengan Sekar. Apa kau tak tahu apa jus favorit Sekar?”
“Ehm… anu…,” Asih tergagap. “Sekar tidak pernah mengatakannya padaku.”
“Arrgh…,” Hans geram.
“Tapi,” sambung Asih lagi, “Sekar pernah bilang, ia paling suka makan durian. Ia sanggup menghabiskan dua gelondong durian tanpa merasa pusing. Aku pernah melihatnya lahap sekali menikmati buah itu ketika Kang Inin sedang mengadakan pesta durian di kebunnya.”
“Durian?!” tanya Hans tak percaya.
“Iya, Mas,” jawab Asih.
“Memangnya durian bisa dijadikan jus?!” Hans tetap tidak percaya.
“Apa salahnya kita coba?!” sahut Asih.
“Baiklah,” ujar Hans. “Acik….”
“Ya, Mas.”
“Kau tahu apa yang harus dilakukan,” ujar pria itu lagi.
“Siap,” sahut Acik.
Sementara itu, di rumah si penjual ketoprak, bunyi blender berdengung memekakkan gendang telinga. Nampaknya Chevil sedang meramu jus untuk Sekar. Ia mematikan mesin penghancur daging buah itu lalu mengambil gelas jus dari rak piring. Ia tuangkan cairan kental berwarna hijau dari cawan blender dengan hati-hati, menambahkan susu kental manis coklat dan potongan buah stroberi sebagai garnish, lalu memandang puas atas hasil kerjanya. Ia memasukkan segelas jus itu ke dalam lemari pendingin.
Chevil melirik jam dinding. Baru pukul dua belas siang, katanya dalam hati. Ia bergegas mandi dan berganti pakaian. Dipilihnya celana jeans warna denim dan kaos berkerah warna putih. Ia ingin segalanya terlihat sempurna. Ia ingin membuat kesan yang baik di mata Sekar. Tak diragukan lagi, ia ingin mengambil hati Sang Jepun Rangkat.
--- bersambung --- Chapter Seven
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H