Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Drama

Cerita Nara Sang Pramuria #3

6 Juli 2012   18:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:14 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13415988991773985894

Episode sebelumnya.

Mungkin sudah saatnya aku meninggalkan pekerjaan ini dan menjalani kehidupan normal dengan Yoda. Aku sudah tidak lagi muda, walaupun belum pantas pula aku menyandang sebutan ‘tua’. Aku butuh seorang pendamping untuk menemaniku menuju hari tua. Tapi entah apa yang terjadi selama ini. Ada yang mengganjal di sini, di hatiku. Dan hal itu yang menghalangiku dengan Yoda. Dia… terlalu sempurna bagiku. Sering aku menyesal sudah bertemu dia dalam hidupku. Namun setelah kupikir lagi, rupanya itu penyesalan terindah yang pernah kurasakan. Rasanya terlalu manis untuk kuterjemahkan dalam rangkaian kata-kata. Hanya hatiku yang sanggup merasakannya.

Nara tersentak dari lamunannya karena mendengar bunyi ponsel. Ada pesan singkat masuk dan itu dari Yoda. ‘Aku akan menjemputmu jam 3 pagi di rumah’, begitulah bunyi pesannya.

Jarum jam hampir menunjuk pukul delapan malam. Ia harus bekerja. Nara bergegas mandi dan berpakaian. Kadang ia harus menghela napas panjang berkali-kali untuk mengusir sesak yang selalu menghantuinya. Ia mematutkan diri di depan cermin dan ia melihat pantulan dirinya di sana. Tersaji pemandangan seorang wanita penjaja kenikmatan pada para pejantan yang hanya tahu nafsu tanpa mempedulikan secuil rasa. Sungguh bukan jalan hidup yang layak dielu-elukan atau dibanggakan. Tapi itu lebih baik, pikir Nara. Toh dirinya tidak pernah mencuri atau membunuh untuk mendapatkan rupiah. Ini lebih baik, tegasnya lagi dalam hati.

Nara keluar dari kamar kontrakannya. Ia mengunci pintu kamar, lalu menyulut sebatang rokok. Ia menghisap rokok itu dua kali sebelum melangkahkan kakinya menuju tempat kerja. Suasana gang belumlah ramai. Tentu saja, ini masih terhitung sore hari untuk ukuran dunia malam. Beberapa wanita yang seprofesi dengan dirinya sedang mengantri di sebuah gerobak nasi goreng. Ya, mereka harus punya tenaga untuk pekerjaannya nanti. Nara terus berjalan. Tak jauh lagi, ia sampai ke tempat bilyar.

Bangunan tempat permainan bilyar itu adalah bangunan paling mencolok di gang ini. Tidak terlalu besar, hanya seukuran rumah tipe 60. Dikatakan mencolok karena bangunan itu memasang beberapa lampu neon berukuran besar di ruangan bilyar, selalu terdengar suara musik disko yang menghentak-hentak, dan juga, di sana menyediakan para wanita seperti Nara. Pemilik bangunan itu bernama Herman, dan lelaki bertato naga itulah pemegang bisnis prostitusi terbesar di wilayah Sanur.

Nara memasuki ruangan bilyar dan langsung menuju sudut ruangan tempat beberapa sofa kumal berjejer rapi. Di sofa itu sudah duduk dua wanita lainnya. Yang satu bernama Lidia, salah satu teman Nara. Dan satu lagi – duduknya terpisah di ujung sofa – sepertinya masih baru. Terlihat dari padanan pakaiannya yang kurang cocok dengan profesinya. Nara sendiri tidak akan memilih celana ¾ berbahan katun dengan potongan longgar jika dirinya ingin segera mendapatkan tamu, walaupun untuk atasannya memakai kemben hitam tanpa lapisan bra.

“Mana Bang Herman?” tanya Nara pada Lidia.

“Belum datang. Kata Komang, dia lagi nganter ‘barang’ ke hotel di Semawang. Pesenan bule,” jawab Lidia sambil merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi.

Nara menghenyakkan tubuh moleknya ke sofa kumal itu. Entah warnanya memang begitu, ataukah terlalu sering digunakan untuk aktivitas lain yang hampir selalu meninggalkan noda berwarna mencolok. Dan sofa itu jauh dari kata bersih. Nara melirik wanita lain yang duduk di ujung sofa. Nara mengira-ngira umur wanita itu belum sampai ke angka dua puluh. Ia mencolek lengan Lidia. “Siapa tuh? Perasaan kemarin nggak ada deh,” tanya Nara.

Lalu Lidia berbisik pada Nara, “Barang baru. Komang dapet dua hari lalu dari daerah Bangli. Denger-denger, emaknya tuh bocah sakit keras dan dia butuh uang banyak.”

Nara mengangguk pelan sambil memperhatikan wanita di ujung sofa itu. Wajah Nara memang tidak memperlihatkan bahwa dia merasa tersaingi dengan pemain baru dalam dunia ini. Justru ia merasa miris dan sudah tentu iba. Ia berusaha keras keluar dari kubangan lumpur ini, tapi ternyata makin banyak yang memilih pekerjaan ini sebagai jalan pintas mengais rupiah.

“Hei gadis,” ujar Nara pada wanita di ujung sofa itu. “Kuharap memang kau masih gadis untuk saat ini.”

Wanita itu melihat ke arah Nara dengan raut sedikit ketakutan. Kedua tangannya memainkan selembar tisu yang telah lusuh. Sorot matanya membicarakan sebentuk penyesalan. Nara yakin, ini bukan jalan yang diinginkan wanita itu.

“Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?” tanya Nara lagi.

“Sa… saya, Mbak?!” Wanita itu tergagap.

“Iya, kau. Apa aku terlihat seperti bicara pada tisu di tanganmu?!”

“Ma… maaf. Nama saya… Putu, Mbak,” jawab wanita itu dengan suara gemetaran.

“Kau anak pertama atau anak kelima?” tanya Nara.

“Pertama.”

Nara mengangguk tanda paham. Ia kembali diam dan tenggelam dalam pikirannya. Sementara Lidia memilih sibuk dengan ponselnya. Dari pintu masuk ruang bilyar, ada seorang pria muda datang dan langsung menghampiri Komang, asisten Herman. Nampak pria muda itu sedang berbincang dengan Komang. Dua kali Komang menunjuk ke arah jejeran sofa tempat Nara dan dua wanita lainnya duduk. Dan bisa dipastikan oleh Nara, pria itu seorang konsumen yang ingin menikmati tubuhnya.

Pria muda tadi melangkah mendekati sudut ruangan. Ia belum bicara, sepertinya masih sibuk memilih satu di antara tiga wanita di hadapannya.

“Kau yang berbaju merah, ikut aku,” ujar pria itu. Lalu melangkah lagi mendekati Komang untuk menyelesaikan pembayaran.

Nara bangkit dari duduknya. Tugas memanggil dan limpahan rupiah tengah menghampirinya. Sebelum melangkah, Nara sempat melihat ke arah Putu.

“Kalau kau tidak yakin dengan pilihan ini. Lebih baik kau keluar dari ruangan ini dan cari pekerjaan lain, Putu. Masih banyak pekerjaan lain yang membiarkan kehormatanmu tetap utuh. Kau masih muda dan masa depanmu masih bisa kau ukir dengan indah. Jangan sampai bukit penyesalan itu menjadi terlalu tinggi untuk kau hancurkan.” Lalu Nara berjalan mengikuti pria muda tadi.

***

Kisah lainnya, search denggan keyword "cerita nara" tanpa tanda petik.

Sumber gambar Red Rose, klik image.

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun