Episode 6 – Miss You Like Crazy
kisah sebelumnya episode 5
Kirana terbangun di pagi hari. Matanya masih terasa berat karena ia hanya tertidur beberapa jam saja. Namun dipaksanya untuk bangun karena matahari sudah mulai tinggi.
Semalam, Kirana dan Aldo terus mengobrol sampai lewat tengah malam. Aldo pun tidak pulang ke apartemennya. Dia tidur di kamar tamu.
Kirana beranjak dari ranjang dan keluar kamar. Dia langsung menuju kamar tamu. Pintunya tidak di kunci. Dilihatnya Aldo sudah tidak ada di tempat tidur. Kirana mendengar suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di kamar tamu tersebut. Rupanya Aldo ada di sana. Kirana duduk menunggu Aldo keluar dari kamar mandi.
Pintu kamar mandi terbuka dan Aldo muncul dari dalam kamar mandi. Pakaiannya masih sama, hanya saja tidak memakai jaket.
“Gimana tidurmu, Al?”
“Mau jawaban jujur?!”
“Maksudmu?”
“Semalam tidurku jelas gak nyenyak,” jawab Aldo sambil duduk di samping Kirana. “Karena aku gak bisa memeluk kamu sambil tidur.”
Kirana tersipu. Wajahnya memerah karena malu. Senyumnya mengembang lepas seolah tanpa beban. “Sabar, Al. Semua ada waktunya. Kita gak boleh mendahului apa yang sudah jadi aturan. Walaupun aku bukan orang yang taat ibadah, tapi untuk hal yang satu itu aku gak berani.”
“Aku tahu itu, Ran. Dan aku bilang begitu bukan berarti aku ingin seperti itu. Aku hanya ingin menggambarkan bagaimana besarnya kerinduan ini. Kamu pun tahu, aku juga masih harus belajar banyak soal agama. Dan aku menghargai keputusan apapun yang kamu ambil. Katakanlah, aku juga tidak ingin membuka bungkus makanan sebelum aku membayarnya.”
“Dan kapan hal itu akan terjadi? Maksudku, kapan kamu membayar makanannya?”
Aldo tersenyum. “Apa ini semacam pertanyaan jebakan untukku?”
Kirana tertawa. “Gak, Al. Bukan begitu maksudku. Kamu tahu?! Aku juga sudah tidak sabar menantikan momen indah itu.”
“Nanti kamu juga akan tahu. Pastinya gak lama lagi.”
Kirana tersenyum.
“Oya, Al. Apa di sana kamu sempat mengerjakan hobimu?”
“Hobi yang mana?”
“Memangnya kamu punya banyak hobi? Hobimu kan cuma melukis.”
“Syukurlah kalau kamu masih ingat hobiku. Hmm..., ada beberapa lukisan yang aku buat. Tapi gak aku taruh di Jakarta.”
“Lukisan apa? Kenapa gak kamu taruh di apartemenmu?”
“Itu kejutan, Ran. Nanti kita atur waktu untuk pergi ke sana.”
“Aku bahkan cemburu dengan kanvas dan kuas lukismu.”
“Kenapa?”
“Pikirkan saja sendiri.”
“Oh, aku ngerti. Jadi kamu masih belum terima penjelasanku semalam?”
“Bukan itu. Kenapa kamu juga gak berhenti melukis untuk sementara? Kan kamu bilang ingin menyelesaikan studi lebih cepat. Kamu sanggup men-delete aku dari otakmu, tapi gak bisa untuk urusan melukis.”
“Kirana. Aku tidak pernah benar-benar menghapus kamu dari pikiranku. Aku hanya berusaha untuk fokus dengan studiku di sana. Dan nampaknya kamu harus melihat sendiri nanti, apa yang sudah aku lukis. Semuanya bukan hanya karena hobi. Ada sesuatu yang belum bisa aku jelaskan sekarang.”
“Kenapa gak bisa? Aku siap mendengarkan, apapun itu.”
“Begini saja. Bulan depan, sekitar pertengahan bulan, kita pergi ke tempat itu. Aku akan mengosongkan jadwalku.”
“Mmm..., gak perlu sampai sejauh itu, Al. Aku gak apa-apa kok. Tadi aku cuma sedikit emosi karena urusan lukisan itu.”
“Gak, Ran. Memang sepertinya kamu harus melihat lukisan ini segera.”
“Baiklah, terserah kamu. Ngomong-ngomong, kita mau ngapain sekarang?”
“Pastinya, kamu mandi dulu biar segar. Lalu, kamu telepon kantor. Pastikan kalau surat dari dokterku sampai ke kantormu.”
Kirana mengangguk setuju. “Eh, tapi kamu sendiri gimana? Gak ke kantor?”
“Pekerjaanku sekarang fleksibel. Bisa dikerjakan dari mana saja. Posisiku bukan manajer pemasaran lagi. Sekarang aku lebih banyak berhubungan sama klien-klien dari luar negeri. Menjaga hubungan bisnis antara perusahaan dan klien yang jadi pelanggan tetap, sambil terus mencari klien untuk menambah jumlah pelanggan.”
“Wah, naik pangkat. Selamat ya.”
“Makasih. Sekarang aku pulang dulu ke apartemen. Mau ambil laptop, sekalian ganti baju. Nanti aku ke sini lagi bawa mobil, supaya sore kita bisa keluar berdua.”
Aldo memperhatikan wajah kekasihnya. “Boleh aku cium kamu, Ran?”
Agak terkejut dengan pertanyaan Aldo, Kirana malah terdiam lama. “Mendingan aku mandi dulu ya,” jawab Kirana sambil bangkit dari duduknya. Namun, Aldo menahannya. Kirana kembali terduduk di samping Aldo. “Ada apa? Kan tadi kamu nyuruh aku mandi dulu.” Kirana berdiri lagi dan berjalan menuju pintu kamar.
Kirana menekan gagang pintu dan menariknya. Daun pintu terbuka sedikit, namun segara tertutup kembali. Kirana melihat tangan Aldo menahan pintu tersebut agar tidak terbuka. Lalu tangannya dilingkarkan pada tubuh Kirana.
“Al.”
“Ssstt. Diamlah sebentar. Aku ingin menikmati saat ini.”
Kirana melepaskan diri dari pelukan Aldo. Dia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan dengan Aldo.
Tangan Aldo meraih jemari Kirana dan mengecupnya. “Boleh aku cium kamu?”
Kirana tidak menjawab. Kirana bahkan mungkin tidak mendengar pertanyaan Aldo. Dia terlalu sibuk memandang wajah pria yang menjadi kekasihnya itu.
Begitu besar rasa kehilangan yang pernah Kirana rasakan sebelumnya. Rasa sakit di hatinya masih terasa, walaupun saat ini sedikit terhapus karena Aldo sudah ada di hadapannya lagi.
Kirana tersadar dari lamunannya ketika bibir Aldo menyentuh bibirnya. Aldo menciumnya. Ciuman hangat yang sudah lama sekali Kirana rindukan. Ciuman yang dapat mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan lagi. Ciuman yang mengatakan bahwa dirinya akan aman bersama Aldo. Ciuman yang membawakan kesejukan bagi batinnya.
“You know that I miss you like crazy, Ran. And that is not a joke.”
“And you know, Al?! I feel the same way. I miss you so much. It hurts me when you’re not around. And that is not a joke.”
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H