Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

A Walk To Remember

27 Agustus 2011   23:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13356876051436143845

Dua pohon jepun itu masih berdiri tegak di pekarangan rumah. Tingginya sudah semakin bertambah dibandingkan setahun yang lalu. Bunganya yang berwarna putih pun nampak sangat lebat. Paling tidak ada dua puluh bunga di setiap tangkai pohon. Tahun lalu, hanya ada beberapa kuntum bunga saja di tiap pohonnya.

Setahun yang lalu…

“Nah, sudah selesai,” ujar Risma sambil menepuk – nepuk tanah di sekitar pohon jepun yang baru ditanam. “Semoga pohonnya tidak roboh,” tambahnya lagi.

“Aku pikir ini sudah cukup kuat, Risma. Kita sudah menggali tanah cukup dalam untuk meletakkan akar pohonnya.”

“Ya, aku pikir pun begitu.” Risma melepas sarung tangannya lalu duduk di teras rumah.

“Kita beruntung bisa membeli dua pohon jepun ini dengan harga murah. Dua ratus ribu untuk dua pohon. Kau tahu harga pasaran sebenarnya?! Bisa sampai lima ratus ribu untuk satu pohonnya.”

“Membeli, kau bilang?! Sebenarnya Pak Nyoman sudah mau memberikannya secara gratis kalau saja kau tidak menyelipkan uang ke tangan istrinya. Kaulah yang beruntung bisa bertetangga dengan orang yang memiliki pohon jepun berlimpah di halaman rumahnya.”

“Aku kan hanya berniat membantu keluarga itu. Mereka tidak seberuntung kita dalam hal ekonomi keluarga.”

“Ya, aku tahu itu.”

“Dave, kapan kau akan kembali ke Sydney?”

“Minggu depan,” jawab Dave sambil duduk mengambil tempat di sebelah Risma.

“Dan berapa lama kau akan berada di sana?”

“Hmm, mungkin sekitar enam sampai tujuh minggu. Aku akan berusaha secepatnya menyelesaikan tesisku, kemudian ujian, lalu mengurus visa kerjaku. Setelah semuanya selesai, kita bisa mengerjakan rencana kita selanjutnya.”

“David Lee Brown. Jangan sampai kau membuatkku menunggu lebih lama dari tenggat waktu yang baru saja kau janjikan.”

Dave tertawa mendengar ucapan Risma.

“Tidak, Risma. Aku berjanji tidak akan berlama – lama di sana. Begitu urusanku selesai, aku akan secepatnya kembali ke sini.”

“Baiklah. Aku pegang kata – katamu, Dave. Selanjutnya, kita akan pergi kemana hari ini? Kita sudah mengunjungi Bedugul, Kintamani, dan Elephant Park.”

“Bagaimana kalau ke pantai saja? Kita belum pernah ke pantai lagi sejak kedatanganku yang terakhir lima bulan yang lalu,” jawab Dave.

“Baiklah. Pantai mana?”

“Kau saja yang pilih. Yang penting kita bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam.”

“Hmm…, pantai mana ya?! Kuta, sudah pernah. Tanah Lot…, aku kurang begitu suka tempat itu. Ah, aku tahu. Besok kita akan pergi ke daerah di selatan pulau ini. Apa kau tidak keberatan menyetir agak jauh?”

“Seberapa jauh?”

“Kalau jalanan tidak macet, kita bisa sampai ke tempat itu kurang dari dua jam.”

“Tidak masalah. Ke mana kita besok?”

“I can’t tell you yet. Nanti akan ku tunjukkan jalannya,” jawab Risma dengan senyum yang mengoda Dave.

“Ah, Risma. Awas ya kalau sampai kau mempermainkan aku.”

“Tidak mungkin, Dave. Bagaimana bisa aku tega mempermainkan seseorang yang aku cintai?”

Dave tersenyum lega.

Keesokan harinya, pukul dua siang, Dave sudah siap di halaman rumah. Dia baru saja mengeluarkan mobil Pak Dewa, ayah Risma, dari dalam garasi. Mobil ini akan dipakai oleh Dave dan Risma untuk pergi ke pantai. Tidak lama kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil yang berjalan.

Jalanan tidak terlalu ramai. Selain belum masuk jam pulang kantor, hari ini pun bukan akhir minggu yang biasanya penuh dengan wisatawan yang bepergian. Di jalan bypass Ngurah Rai pun tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang.

“Oya, Dave. Aku lupa. Kita belum punya camilan dan minuman ringan untuk di pantai nanti. Agak di depan sana ada mini market. Bisa kita berhenti sebentar untuk berbelanja? Ya, walaupun sebenarnya di pantai juga ada toko yang menjual makanan dan minuman. Tapi harganya bisa tiga kali lipat dibandingkan di toko biasa.”

“Maksudmu toko yang itu?” tanya Dave sambil menunjuk papan nama sebuah toko yang masih berada agak jauh di depan.

“Ya, betul.”

“Kau mau aku berputar ke arah sebaliknya?”

“Tidak perlu. Tempat U-Turn agak jauh dari sini. Kau parkir saja di sini, biar aku saja yang turun dan berbelanja. Aku tidak akan lama kok.”

“Baiklah,” ujar Dave sambil memarkir mobilnya di tepi jalan. “Hati – hati menyeberangnya.”

“Oke, honey,” jawab Risma sambl tersenyum.

Risma turun dari mobil dan menyeberang jalan untuk sampai ke mini market.

Sekitar lima belas menit kemudian, Dave sudah melihat Risma keluar dari toko itu dengan membawa bungkusan besar plastik berisi makanan dan minuman ringan. Lalu ia mulai menyalakan lagi mesin mobilnya.

Risma menengok ke arah kanan untuk memastikan tidak ada kendaraan yang melintas sebelum ia sampai ke median jalan. Risma sudah setengah jalan untuk sampai ke median. Namun, entah dari mana, tiba – tiba ada motor dengan kecepatan tinggi melintas di jalan itu. Dan rupanya Risma tidak memperhatikan sebelumnya.

Braaakkkk!!!!

Dave sangat kaget mendengar bunyi itu. Ia mencari sumber bunyi dan yang ia lihat sungguh tidak bisa ia percaya.

***

“Dave!!” seseorang memanggilnya. Ia menengok ke belakang ke arah sumber suara itu.

“Ah, Pak Dewa.”

“Sedang apa kau berdiri saja di situ? Ayo masuk,” ajak Pak Dewa.

“Saya baru saja tiba,” balas Dave.

Mereka berdua duduk di kursi yang berada di beranda rumah.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Pak Dewa.

“Baik – baik saja, Pak. Bulan depan saya akan mulai bekerja di Konsulat Jenderal Australia yang ada di Denpasar.”

“Baguslah kalau begitu. Kau jadi bisa berkunjung kemari sesukamu.”

“Ng…, Pak. Bisakah saya melihat Risma?”

“Ayo, kita ke dalam,” kata Pak Dewa.

Mereka memasuki ruang tamu. Di sebuah dinding di sudut ruangan, terpajang foto Risma yang berukuran agak besar. Di bawah foto itu, ada sebuah meja kecil. Di atas meja terdapat sebuah guci berukuran kecil dengan corak bunga jepun terlukis di sisi luarnya, dan juga terdapat sebuah nampan kecil berisi berbagai macam bunga sebagai sesaji.

Dave dan Pak Dewa sampai di hadapan meja kecil itu. Dan Dave benar – benar tidak dapat membendung air matanya.

“Menangislah, Dave. Kalau itu bisa sedikit meringankan perasaanmu,” ujar Pak Dewa.

“Kalau saja waktu itu Anda tidak mengijinkan saya pulang ke Sydney, tentu saya bisa menemani Risma sampai nafas terakhirnya.”

“Menyesal itu tak ada gunanya, Dave. Seandainya aku tahu akan begini jadinya, sejak awal aku akan melarang kalian pergi ke pantai.” Pak Dewa berhenti sejenak dan menarik napas panjang. “Waktu itu, aku mengijinkanmu pergi karena kondisi Risma pun sudah stabil, walaupun belum sadar. Dokter pun mengatakan perkembangannya positif. Paling tidak, kami sekeluarga bisa bernapas lega sejenak. Dan aku pun tahu, kau sedang berusaha menyelesaikan tesismu. Jadi, buat apa aku melarang kau pergi?!”

“Kalau saja saya menerima telepon Anda ketika masih di airport Ngurah Rai, tentu saya tidak akan dengan santainya naik ke pesawat.”

“Sudahlah, Dave. Aku yakin Risma pun tak akan senang jika kau terus saja merasa bersalah. Ini semua kehendak Tuhan. Tidak ada satu orang pun yang berhak menyangkalnya. Relakanlah kepergian Risma.”

“Aku akan berusaha, Pak,” ujar Dave.

“Oya, satu hal yang belum aku katakan kepadamu. Sebelum Risma meninggal, dia sempat sadar beberapa menit.”

“Sadar? Benarkah?”

“Ya. Dia betul – betul sadar. Dokter bilang, memang bisa saja terjadi hal seperti itu, walaupun tidak banyak kasusnya.”

“Apakah…, apakah Risma mengatakan sesuatu?” tanya Dave semakin penasaran.

“Dia menginginkan kau menabur abunya di pantai. Dia sendiri yang memilih tempatnya.”

“Benarkah? Pantai mana?”

“Pantai itu adalah tempat yang akan kalian kunjungi sebelum kecelakaan itu terjadi.”

“Tapi…, waktu itu kami belum sampai ke sana. Saya tidak tahu jalannya.”

“Besok aku sendiri yang akan mengantarmu ke sana. Malam ini, kau menginap saja di sini.”

Dave mengangguk tanda setuju.

Sore berikutnya, Dave dan Pak Dewa sudah berada di daerah Pecatu, sebuah tempat wisata di selatan Bali. Dari tempat parkir mobil, Dave diajak menuruni jalan setapak selebar dua meter yang terbuat dari batuan kapur. Dave baru menyadari, bahwa lokasi ini adalah lereng bukit kapur.

Jalan setapak itu tidak terlalu jauh, mungkin hanya sekitar tiga ratus meter. Selanjutnya mereka sampai di jajaran kios – kios yang menjual berbagai macam barang. Mulai dari baju, sandal, topi pantai, sampai handicraft. Lepas dari jajaran kios, barulah Dave bisa melihat hamparan pasir putih dan deburan ombak.

Matahari masih sedikit si atas horizon dan masih menyisakan sedikit panasnya untuk Dave rasakan.

“Inilah pantai Dreamland. Sebuah pantai buatan, tapi bisa menyuguhkan pemandangan yang sama indahnya dengan pantai alami.”

“Pantai buatan?” tanya Dave heran.

“Ya, tentu saja. Coba kau amati di belakang kita tadi. Yang kita turuni tadi adalah tebing kapur. Mungkin orang – orang dari pengembang proyek perumahan melihat tempat ini berpotensi menjadi daerah wisata, sehingga mereka mengikis sedikit tebing dan menambahkan pasir pantai di sini. Kau lihat sendiri, hampir tidak ada bedanya dengan pantai alami.”

“Tapi, saya masih penasaran. Bagaimana Anda tahu kalau Risma akan mengajak saya kemari waktu itu? Sedangkan Risma sendiri tidak mengatakannya pada saya. Apakah ia memberi tahu Anda sebelumnya?”

Pak Dewa tertawa mendengar pertanyaan Dave. “Tentu saja, Dave. Apa, sih, yang tidak diberitahukan seorang anak gadis kepada ayahnya sendiri?! Tolong jangan heran,” kata Pak Dewa sambil tersenyum.

“Oh, oke. I get it.”

“Nah, sekarang lebih baik kau mulai menabur abunya. Momennya sudah sangat pas. Matahari sudah menyentuh horizon.”

“Baiklah,” balas Dave.

Dave membuka tas kain yang sedari tadi berada di dekapannya. Ia mengerluarkan guci berisi abu dari tubuh Risma. Ia lalu berjalan ke bibir pantai. Kakinya menyentuh sedikit air laut.

Dave membuka tutup guci dan berkata, “Kita sudah sampai di sini, sayang. Pantai yang sangat indah. Pilihanmu memang tepat.”

Perlahan Dave memiringkan posisi guci sampai keluar sedikit demi sedikit isi dari guci itu.

“Dewa Ayu Rismaniar Putri…, semoga kau dapat beristirahat dengan tenang di sisi Tuhan. Aku selalu mencintaimu, meskipun kita sudah berada di dunia yang berbeda.”

Denpasar, 28 Agustus 2011

Gambar hasil jepretan kamera hape. Lokasi: pantai dreamland, pecatu - bali

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun