Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

9/11 (nine eleven)

10 September 2011   07:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:05 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bu. Apakah kau sudah mampir ke toko bunga milik Bibi Ann?” tanya Willy kepada ibunnya.

“Sudah, Willy.”

“Dan apakah ibu juga sudah memesan bunga itu kepada Bibi Ann? Aku takut, kita tidak bisa mendapatkan bunga itu untuk besok. Kau tahu kan, Bu, di Brooklyn ini hanya toko bunga milik Bibi Ann yang menjual bunga jenis itu. Tidak ada toko lainnya. Entah kalau di Manhattan, mungkin saja ada yang menjual. Tapi pasti harganya lebih mahal.”

Nyonya Sanders menarik napas panjang setelah mendengar perkataan dari Willy, anaknya. Ia melihat pemuda dua puluh lima tahun itu nampak sangat khawatir sekali soal bunga. Nyonya Sanders menghampiri anaknya dan mengajaknya duduk di sofa.

“Willy…. Kau tidak perlu khawatir. Ibu sudah mempersiapkan segalanya sejak minggu lalu, termasuk sudah memesan bunga itu kepada Bibi Ann jauh sebelum hari ini. Dan Bibi Ann pun sudah hapal kalau keluarga kita pasti akan memesan bunga itu untuk peringatan esok pagi di Manhattan. Jadi, ibu harap, kau tidak perlu khawatir lagi, Willy.”

“Maafkan aku, Bu. Mungkin aku memang terlalu khawatir.”

Nyonya Sanders tersenyum. Ia sesungguhnya merasa kasihan dengan Willy. Sudah sepuluh tahun sejak peristiwa itu, Nyonya Sanders tidak pernah melihat lagi sosok Willy yang ceria dan penuh senyum.

“Sudahlah, Willy. Kita bisa mengambil bunga itu besok pagi sebelum kita pergi ke Manhattan.”

“Ng… apakah… Fitri juga akan datang besok pagi?”

“Iya, dia pasti datang. Kemarin dia menelepon ibu untuk mengabarkan hal itu.”

“Baiklah, Bu. Aku pergi bekerja dulu. I love you, Mom.”

Willy memeluk ibunya, lalu beranjak pergi.

Pukul enam pagi, Willy dan Nyonya Sanders sudah keluar rumah. Mereka singgah dulu ke toko bunga milik Nyonya Ann, kira – kira dua blok dari tempat tinggal mereka.

Toko bunga itu belum buka, tapi Nyonya Ann sudah berada di dalamnya. Jadi Willy memencet bel agar Nyonya Ann bisa keluar.

“Ah, rupanya kalian sudah datang. Ayo masuklah dulu.”

Nyonya Sanders dan Willy memasuki toko bunga itu. Harum aroma berbagai macam bunga langsung tercium oleh mereka.

“Aku sengaja menyimpannya di lemari khusus dan aku beri dry ice di sekelilingnyaagar tidak layu sebelum waktunya. Aku tahu kalian akan memesan bunga ini. Jadi aku sudah memesannya dari dua minggu yang lalu,” kata Nyonya Ann dari ruangan sebelah. “Kualitasnya lebih bagus daripada yang aku pesan tahun lalu.”

Nyonya Ann keluar dari ruangan sebelah dengan membawa buket bunga di tangannya. Buket itu terbungkus kertas berwarna putih dengan lapisan plastik di luarnya, dan ada pita kecil sebagai pengikat dii ujung buket.

“Berapa harus aku bayar bunga ini, Bibi Ann?” tanya Willy.

“Untukmu, dua puluh lima dolar saja. Kalau bukan kau dan Nyonya Sanders yang membeli, pasti akan aku buat harganya menjadi dua kali lipat,” jawab Nyonya Ann.

“Ini, Nyonya Ann. Terimalah uang ini dari kami,” kata Nyonya Sanders sambil menyerahkan lima lempar uang sepuluh dolar ke tangan Nyonya Ann.

“Ah, ini terlalu banyak, Nyonya Sanders.”

“Tidak apa – apa. Aku menghargai usahamu mendapatkan bunga ini untuk kami. Aku tahu ini juga tidak mudah untukmu sendiri, Nyonya Ann. Jadi, terimalah itu.”

“Ah, baiklah. Terima kasih sekali,” balas Nyonya Ann. “Hmm…, Willy.”

“Ya, Bibi Ann.”

“Jangan lupa kau sampaikan salamku untuk Tom. Katakan padanya, aku sangat rindu dengannya.”

“Baiklah, Bibi. Akan aku sampaikan nanti.”

“Nyonya Ann. Kami berangkat dulu. Kami harus mengejar kereta sekarang.”

“Ya, pergilah. Hati – hati, ya.”

Nyonya Sanders dan Willy segera ke stasiun kereta bawah tanah untuk menuju Manhattan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit ketika mereka sampai di Manhattan.

Ternyata sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Hampir setiap orang membawa buket bunga dan selembar foto yang dibingkai. Nyonya Sanders dan Willy berjalan mendekati pagar pembatas. Willy mengeluarkan selembar foto dari saku jaketnya dan menyelipkan foto itu di antara kawat – kawat di pagar pembatas.

Tak lama kemudian, ada seorang wanita mendekati tempat Willy dan ibunya berdiri.

“Hai, Willy. Sudah lama sampai di sini? Maaf, akku sedikit terlambat. Lalu lintas dari New Jersey agak macet.”

“Oh, kau, Kak. Tidak apa – apa. Kami juga baru saja sampai,” jawab Willy kepada wanita itu.

“Ibu…, bagaimana kabarmu? Apa kau baik – baik saja?” tanya wanita itu lagi.

“Aku baik – baik saja, Fitri. Bagaimana dengan kau sendiri?”

“Ya, agak lelah dengan rutinitas kantor. Tapi aku baik – baik saja, Bu,” jawab Fitri. “Ah, kalian juga bawa bunga untuk Tom.”

“Iya. Kami tidak mungkin lupa hal itu,” jawab Willy.

“Ayo kita letakkan di depan pagar,” ujar Fitri.

“Fitri….”

“Ya?”

“Menurutmu mengapa kakakku, Tom, sangat menyukai bunga melati?”

“Entahlah, Willy. Aku pun tidak pernah tahu dengan pasti apa alasannya. Yang jelas, Tom sudah sangat menyukai bunga itu jauh sebelum bertemu denganku. Di negaraku sendiri, melati dilambangkan sebagai kesucian dan kemurnian, mungkin karena warnanya yang putih.”

“Kalau saja peristiwa itu tidak terjadi, mungkin kau sudah hidup bahagia dengan Tom,” ujar Willy lagi. “Kalian akan memiliki anak – anak yang lucu. Dan aku pasti akan menjadi paman bagi mereka.”

Tanpa tertahankan lagi, air mata Willy mendesak keluar dari liangnya. Padahal Willy sudah berjanji pada diri sendiri tidak akan menangis di sini. Namun, siapa yang kuat untuk tidak menangis di tempat ini? Tragedi itu begitu membuat banyak kehilangan, tak terkecuali bagi Willy. Ia kehilangan saudara satu – satunya.

Tom baru dua bulan bekerja sebagai koki di sebuah restoran di lantai 106 dan 107, yang terkenal dengan sebutan Windows on The World, ketika peristiwa 11 September terjadi. Saat menara utara, tepatnya lantai 92 dihantam pesawat, orang – orang yang berada di atas lantai 92 tidak ada yang bisa menyelamatkan diri dan akhirnya ikut tewas bersamaan dengan runtuhnya menara kembar itu.

“Sudahlah, Willy. Ini bukan kesalahanmu. Mungkin memang sudah ditakdirkan seperti ini. Bukan hanya kau yang merasa kehilangan. Aku dan ibumu juga sangat kehilangan Tom.”

“Andai saja Tom tidak menerima pekerjaan sebagai koki di restoran itu, tentu kita tidak perlu datang kemari setiap tahunnya,” kata Willy lagi.

“Willy…, sudahlah…,” kata Nyonya Sanders menenangkan anaknya.

Mendekati pukul delapan lebih tiga puluh menit, semakin banyak orang berkumpul di bekas puing – puing menara kembar WTC. Walikota New York pun hadir di sela – sela kerumunan. Ada sebuah panggung kecil dengan podium di atasnya. Biasanya walikota akan memberi pidato singkat pada peringatan ini.

“… sudah sejak sepuluh tahun sejak peristiwa itu, dan kita tidak akan mungkin melupakannya. Kita sudah kehilangan orang – orang yang kita cintai di sini. Dan ini bukan hanya kehilangan bagi bangsa Amerika. Ini juga merupakan kehilangan yang sangat besar bagi warga dunia. Karena korban kekejaman ini berasal dari berbagai belahan dunia. Semoga mereka dapat beristirahat dengan tenang. Dan kita harap, tidak akan ada lagi peristiwa yang seperti ini di bumi kita tercinta.”

Sepenggal pidato dari walikota tadi membuat air mata enggan untuk berhenti mengalir. Termasuk untuk Willy, Nyonya Sanders, dan Fitri. Semoga tidak ada lagi peristiwa serupa yang akan terjadi.

Sesaat kemudian, tepat pada pukul 08.46, terdengar suara sirine selama satu menit. Sebagai tanda bahwa saat ini sudah tepat sepuluh tahun sejak pesawat pertama menghujam menara utara World Trade Center.

PS : mengenang para korban tragedi 11 september 2001, semoga mereka dapat beristirahat dengan tenang di surga..

Gambar : zona-pengetahuan.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun