Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Twelve

19 Oktober 2012   04:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:39 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Suasana di ruang tamu itu mendadak senyap. Tiga orang dengan tiga pikiran. Semuanya belum ada yang berani bersuara. Setelah mencium punggung tangan ibunda Al, Maya jadi kikuk. Ia hampir tidak berani memandang wanita paruh baya itu. Maya takut, juga sedikit menyesal, mengapa ia begitu percaya diri mencium punggung tangan wanita itu.

Sementara Al, ia lebih terlihat lebih tenang. Walaupun pikirannya tak setenang kelihatannya. Ia sudah menduga situasi seperti ini akan terjadi juga. Dulu, sehari setelah kepergian Maya, ibundanya memarahi Al. Benar-benar murka wanita itu. Segala sumpah serapah dikeluarkan. Bahkan yang seharusnya tidak pantas diucapkanpun ikut ditumpahkan. Jika seseorang yang tidak mengenal Nyonya Berta, ibunda Al, melihat adegan itu, pasti akan mengira wanita itu sakit jiwa. Isakan-isakan memilukan mengiringi kemarahan Nyonya Berta. Intinya, Nyonya Berta sangat menyayangkan kematian Maya.

Dan sekarang, Nyonya Berta seperti dipaksa untuk membuka lagi kardus memori yang sudah ia segel rapi di otak belakangnya, hanya gara-gara nama itu. Maya.

“Mama mau ke belakang dulu,” akhirnya Nyonya Berta memecah kesenyapan. “Ada yang harus dikerjakan di dapur. Mama akan bicara denganmu nanti malam, Al.” Lalu Nyonya Berta meninggalkan Al dan Maya di ruang tamu.

“Al….” Maya menyentuh lengan Al. “Aku…. Mungkin sebaiknya aku tidak di sini.”

“Apa maksudmu?”

“Ibumu sepertinya tidak menyukaiku.”

“Ehm…. Jangan berkata seperti itu. Kalian hanya belum saling kenal.”

“Tapi… aku takut, Al.”

Takut?! Itu pula yang dirasakan Al saat ini. Tapi ia percaya, bahkan hampir yakin, semuanya akan berakhir seperti yang ia impikan.

Al tersenyum. Ia meraih jemari Maya dan mengusap-ngusap dengan lembut. “Jangan perlihatkan takutmu. Percaya saja. Aku juga menginginkan yang sama denganmu.”

Malam harinya, Maya sudah lebih dulu tidur di kamar tamu. Ia lelah setelah seharian diajak bersepeda keliling kampung dengan Al. Rencananya, mereka akan berada di Lembang sampai hari Selasa sore. Al sudah mengurus cuti. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kecuali satu. Al khawatir ibundanya tidak mau menerima Maya sebagai calon menantunya.

Pukul sembilan lewat sedikit, Al mengetuk pintu kamar ibundanya. Ia tahu, ibundanya belum tidur dan masih menonton televisi di dalam. Pintu terbuka, wajah Nyonya Berta menyeruak dari balik daun pintu.

“Masih nonton tivi, Ma?” tanya Al basa-basi.

“Iya,” sahut Nyonya Berta. “Ada apa?” Nyonya Berta kembali duduk di sofa kulit berwarna hitam, tempat duduk favoritnya jika menonton televisi.

“Bukankah Mama ingin bicara denganku?!” Al duduk di tepi ranjang.

“Bicara apa?” Mata Nyonya Berta tetap tertuju pada layar televisi. Tangannya pura-pura sibuk memencet tombol remote.

Al tahu, ibundanya sedang menguji. “Ayolah, Ma.”

Nyonya Berta masih pura-pura sibuk dengan remote di tangannya. “Mama tidak suka gadis itu.”

Pendek, tegas, dan langsung ke inti masalah. Tapi justru itu membuat masalah baru bagi Al. Ia pun sudah menduga kalimat itu akan meluncur dari mulut ibundanya.

“Apa maksud Mama?”

“Di mana kau menemukan gadis itu?” Nyonya Berta malah mengajukan pertanyaan lain dengan santainya. Mata masih menatap layar kotak, dua meter di hadapannya.

“Ma….” Al seperti mendadak kehilangan kemampuan berbicara. “Mama tidak bisa memperlakukan Maya seolah dia gadis rendahan. Maya gadis baik-baik, Ma.”

“Apa dia dari keluarga baik-baik juga?”

Pertanyaan itu langsung memotong ucapan Al. Dan kali ini, Al benar-benar menjadi bisu.

“Mama tahu, Al. Mama paham betul watakmu.” Nyonya Berta benar-benar melihat Al sekarang. “Kau memacari gadis itu hanya karena namanya sama dengan tunanganmu yang sudah mati itu, kan?! Nama boleh sama, Al. Tapi apa isi otak keduanya sama?”

Al menghela napas panjang. Ia tahu, emosi negatif tidak bisa dilawan dengan hal yang sama. Baiknya ia menjadi oposit yang mendinginkan.

“Jujur saja, Ma. Kalina Mayasari tidak sama dengan Maya Larasati. Gadis ini hanya lulusan SMA dan ayahnya hanya seorang penjaga makam.” Al jeda sejenak. Ia mengamati ekspresi ibundanya yang merasa tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Aku tahu, itu bukan profesi yang menghasilkan banyak uang. Intinya, Ma.” Jeda lagi. Al menimbang sejenak apa yang ingin ia katakan. “Intinya…, aku yang menginginkan Maya. Dan bukan sebaliknya.”

“Maksudmu? Kau mau menikahi gadis itu walaupun gadis itu tidak mencintaimu? Tolong, Al. Bicaralah dengan bahasa yang Mama pahami!”

“Kami saling mencintai, Ma. Tidak ada yang timpang dengan perasaan kami berdua.” Al berdiri. Ia merasa obrolan malam ini dengan ibundanya harus dicukupkan sampai di sini. “Bersikap baiklah kepada Maya, Ma. Nanti Mama akan tahu sendiri, betapa dugaan buruk Mama terhadap Maya sangat tidak beralasan. Aku tahu Mama sangat kehilangan Maya. Sekarang, anggaplah Maya hidup lagi dan menjelma menjadi gadis yang sekarang tidur di kamar tamu.”

Al keluar kamar dan membiarkan Nyonya Berta memikirkan perkataannya.

***

Kerumunan awan abu-abu berarak perlahan, mendekati langit Lembang. Awan-awan itu nantinya hanya lewat tanpa menurunkan tetes-tetes air yang dibawanya. Entah kemana, mereka menurut apa kata angin saja. Sama seperti Al dan Maya, mereka pun tak tahu kemana hubungan mereka seharusnya dibawa. Di satu sisi, mereka ingin menghalalkan hubungan ini. Di sisi lain, ada yang tidak menyukai rencana itu. Dilema.

“Aku tidak pernah meminta untuk sampai pada titik ini,” kata Maya. Jemarinya sibuk memainkan kuntum kembang sepatu yang tadi tadi sempat dipetiknya.

“Siapapun tidak akan menyangka, Maya,” sahut Al.

Baru beberapa menit yang lalu, Al menceritakan percakapannya semalam dengan ibundanya. Maya kaget, tapi sudah menduga soal itu. Sungguhpun, jika bisa, ia ingin dirinya tidak pernah mengenal Al. Hubungan ini memang indah, pikir Maya, tapi menyakitkan manakala ada orang lain yang tidak menginginkannya.

“Mungkin sebaiknya kita akhiri sampai di sini saja, Al.” Jemarinya mulai mencacah kelopak kembang sepatu. Agak gemetar. Mungkin sebentar lagi air matanya akan tumpah.

“Kau mau menyerah begitu saja?!” cecar Al.

“Memangnya kita bisa apa?” Suara Maya mulai bergetar. “Aku tidak mau jika tidak ada ijin dari ibumu.”

“Aku akan memintanya lagi,” ujar Al. Suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin yang tiba-tiba datang.

Maya duduk di salah satu tonjolan akar pohon. Matanya memandang lepas ke depan, ke hamparan lembah. Air matanya tidak jadi tumpah. Perlahan, ia belajar untuk menjadi tegar. Ia sadar sepenuhnya, ia bukan berasal dari keluarga ‘normal’. Siapa ayah ibunya, ia tidak tahu. Yang ia tahu, Dahlan adalah ayahnya saat ini. Tanpa sosok ibu.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Al kini berdiri menghalangin pandangan Maya ke arah lembah.

Maya tidak menjawab. Ia bahkan tidak mau melihat Al. Jemarinya kembali sibuk mencacah kelopak kembang sepatu yang masih tersisa. Ya, tidak banyak yang tersisa. Jadi Maya memilih menunduk saja setelah kelopak-kelopak itu hancur berantakan.

“Bicaralah, Maya,” pinta Al.

“Aku lelah, Al,” sahut Maya lirih.

“Kalau begitu kita pulang. Supaya kau bisa istirahat di kamar.”

Maya tiba-tiba mendongak, melihat Al yang masih berdiri di hadapannya. “Bukan itu maksudku, Al.” Maya menggeleng. “Ya, Tuhan. Kau belum juga mengerti.”

“Mengerti soal apa?” Al makin bingung.

Maya berdiri. Kini pandangannya hampir sejajar dengan Al. Ia mengamati kedua mata Al, berusaha membaca pikiran pria itu. Lalu menggeleng-geleng lagi. Ia gagal, tak mampu menerka jalan pikiran Al.

“Kita harus sudahi semuanya, Al. sampai kapanpun ibumu tidak akan pernah setuju hubungan kita. Kecuali aku tiba-tiba mendapat segunung uang dan emas, atau mungkin tiba-tiba ada orang kaya raya yang mengakui aku sebagai anak kandungnya. JIka tidak ada, maka silakan kau saja yang bermimpi. Karena aku lelah.” Jeda sejenak. “Sangat lelah, Al.”

Maya sudah mulai melangkah, hendak kembali ke rumah Al. Terlintas di pikirannya untuk pulang saja dengan angkutan umum ke Bandung. Tapi entahlah, gumam Maya dalam hati.

“Kau pikir bisa begitu mudahnya mengakhiri hubungan ini, Maya?!” Al setengah berteriak, takut Maya tidak mendengarnya karena jarak mereka makin jauh. Dan berhasil. Maya menghentikan langkahnya dan kembali melihat Al. “Setelah semua usahaku untuk hubungan ini, kau begitu saja ingin melepas semuanya?! Kau egois, Maya!”

“Egois?!” Maya kembali mendekat. “Kau bilang aku egois?! Kau pikir hanya kau saja yang bersusah payah membangun hubungan ini?! Jika aku tidak mau berusaha, sudah kutinggalkan kau sejak kejadian di butik itu. Itulah mengapa aku lelah, Al. Di awal, aku direpotkan dengan pesonamu yang rupanya menarik gadis-gadis lain. Oke, yang aku lihat cuma satu. Tapi apa yang terjadi ketika aku tidak di dekatmu?” Maya berhenti mengatur napasnya yang mulai tersenggal. “Aku ingin sekali percaya padamu, Al. Tapi tidak bisa. Ditambah lagi ternyata ibumu tidak menyukai aku!”

Maya benar, pikir Al, ia tidak melihat Shinta.

“Sekarang… jika kau bersedia, tolong antarkan aku pada ayahku. Jika tidak bisa…,” Maya mulai terisak, walau samar, “tunjukkan padaku jalan pulang.”

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun