Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Seven

12 Agustus 2012   17:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:53 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Mengucap janji itu mudah, pikir Al. Tapi janji soal apa? Sedangkan gadis yang duduk di sampingnya malah bersikap misterius. Shinta masih memegangi bungkusan itu di pangkuannya. Sorot matanya memperlihatkan dua hal sekaligus. Yakin, namun sedikit ragu. Shinta yakin bahwa tindakannya kali ini benar, tapi ia ragu Al mau menerima alasan yang ia berikan.

“Shinta,” ucap Al. “Lebih baik kau katakan terus terang. Jujur saja, aku tidak suka bermain-main jika menyangkut pribadi Maya. Tunanganku sudah meninggal dan sebaiknya kau tidak perlu mengusik ketenangannya di alam sana.”

“Al….” Shinta menghela napas. “Aku tidak mungkin melakukan ini semua jika tanpa alasan. Bagiku, apa yang aku lakukan adalah benar. Tapi akupun yakin, kau pasti menganggap ini semua hanya sebuah permainan.”

Shinta menunduk, membuka sedikit bungkusan itu untuk melihat isinya. Mungkin pula, gadis berambut panjang berombak itu hanya sedang memastikan isi bungkusan itu dalam keadaan sama seperti terakhir ia melihatnya. Lalu Shinta mendongak lagi, melihat wajah Al yang masih menghujamkan pandangan penuh selidik kepadanya. Tiba-tiba Shinta mencengkeram lebih keras bungkusan yang ia pegang, seolah tak mau benda itu berpindah tangan.

“Jika kau belum ikhlas mengembalikan benda milik Maya, aku pikir aku tidak perlu lagi menunjukkan jalan keluar dari ruangan ini padamu,” suara Al meninggi.

“Tidak!” Cengkeraman itupun melemah. “Aku ikhlas mengembalikan benda ini.”

Shinta memberikan bungkusan itu pada Al. Lalu dengan tergesa-gesa, Al membuka bungkusan itu dan mendapati gaun kuning muda milik Maya di tangannya. Gaun itu dipakai Maya saat pesta pertunangan setahun lalu.

“Bagaimana gaun ini bisa ada padamu?” Lebih mirip sebuah tuduhan daripada sebuah pertanyaan. Tapi Al tidak peduli. Ia hanya ingin mencecar gadis yang duduk di sampingnya itu dengan banyak sekali pertanyaan.

Shinta mengalihkan pandangan ke arah tembok ruang kerja Al. Bukan karena apa-apa, ia hanya ingin menghindar dari sorot mata Al yang menurutnya sangat membius. Tatapan mata itu masih sama seperti tiga tahun yang lalu, ujar Shinta dalam hatinya. Dan ia masih saja tidak bisa membentengi dirinya dari hal itu.

“Kau mungkin ingat, Al. Setahun yang lalu, tepat seminggu setelah pesta pertunangan kalian. Aku mengunjungi sahabatku.” Shinta berhenti sebentar, mengusap satu bulir yang keluar dari sudut mata kirinya. “Aku memang menyempatkan diri untuk menginap di apartemen Maya selama beberapa hari. Dan suatu malam, Maya menunjukkan gaun itu padaku. Lalu aku berpikir dalam hati, seharusnya aku bisa memakai gaun itu jika saja dulu aku tidak meninggalkanmu. Aku menyesal, itu memang benar. Tapi itu sudah tidak ada gunanya lagi, kan?! Kita tidak mungkin lagi mengulangi kejadian yang sama seperti tiga tahun yang lalu.”

“Shinta….” Suara Al terlalu pelan.

“Mungkin aku memang bodoh, Al. Dan egois. Aku akui itu. Akupun selalu menyangkal bahwa kejadian yang lalu di antara kita adalah kesalahanku. Jadi, aku ingin sekali memiliki gaun itu, bagaimanapun caranya.”

“Dan kau mencurinya?!”

“Tidak seperti itu tepatnya. Bisa dikatakan, aku hanya mencuri nota binatu dari tas Maya. Itu saja. Lalu ketika aku memutuskan untuk kembali ke Tasik, aku mampir untuk mengambil gaun itu. Orang-orang di binatu itu tidak pernah memperhatikan siapa saja wajah-wajah yang bertandang ke tempat mereka. Mereka hanya mencocokkan antara nota dan baju-baju itu.”

“Tapi untuk apa kau mencurinya, Shinta? Aku tidak mengerti. Aku pikir, aku yang bersalah sampai kau harus pergi. Tapi….” Kalimat Al menggantung. “Begini saja.” Lalu Al menyodorkan kembali bungkusan itu kepada Shinta. “Kau boleh ambil gaun itu. Aku ikhlas memberikannya padamu. Tapi kau sendiri harus berjanji satu hal padaku.”

Shinta diam saja. Tidak menanggapi perkataan Al.

“Kau tidak perlu lagi kembali lagi kemari, dengan alasan apapun,” ucap Al lagi.

Shinta menangis.

“Aku tidak mengerti. Tidak pernah mengerti, mengapa dulu aku memutuskan untuk pergi darimu, Al.”

“Ya. Dan aku lebih menyesalkan sikap kekanak-kanakanmu. Kau sudah dewasa, Shinta. Tidak bisakah kau bersikap sesuai usiamu?” Dahi Al berkerut lagi.

“Kupikir… aku bisa menemukan yang lebih baik darimu, Al.”

Al menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Wajahnya menghadap ke langit-langit ruangan. Matanya terpejam, tapi bukan tertidur. Ia hanya sedang berpikir. Ah, tidak. Lebih tepatnya mengingat masa lalu. Masa tiga tahun yang lalu, ketika ada nama Shinta di sudut ruang hati yang kini didiami sosok almarhum kekasihnya.

“Begini saja,” Al menegakkan lagi duduknya. “Tawaranku masih berlaku. Kau boleh membawa lagi gaun itu. Toh tidak ada gunanya jika kau berikan padaku lagi. Maya sudah tidak ada. Dan tidak mungkin pula aku menyimpan gaun itu, Shinta. Seseorang.... Ehm…. Seorang gadis, yang kini bersamaku, aku ingin sekali menjaga perasaannya.”

Shinta mengerutkan dahinya dan bertanya-tanya dalam hati : seorang gadis? siapa dia?

“Maksudmu?” Shinta bertanya untuk menutupi rasa penasarannya.

I met a girl,” jawab Al singkat.

And who is she?”

“Lebih baik kau tidak tahu sama sekali, Shinta. Daripada kau menjadi semakin penasaran dengan gadis ini,” ujar al serius.

Shinta mendengus pelan, lalu berkata, “Baiklah. Toh aku kemari bukan untuk menguliti kehidupan barumu. Aku kemari hanya ingin mengembalikan gaun milik Maya. Kuharap kau benar-benar mau menerimanya karena aku sudah berkorban untuk bisa sampai kemari dengan gaun itu,” tegas Shinta.

“Tidak, Shinta. Lebih baik kau ambil saja gaun itu.”

Al teringat kepada cincin tunangannya yang kini tersimpan rapi di laci lemari pakaian. Ia takut kejadian yang sama akan menimpa dirinya jika tetap menerima kembali gaun milik Maya.

“Aku tidak punya alasan lain untuk menyimpan gaun itu, Al. Memangnya apa yang salah jika gaun itu berada di lemari pakaianmu? Atau kau bisa saja memberikan gaun itu kepada orang lain. Pacar barumu, misalnya. Bisa saja, kan?!”

“Apa kau takut?!” sambung Shinta lagi. “Kau takut tidak bisa melupakan Maya sementara kau baru saja menjajal kehidupan barumu dengan gadis yang entah siapa namanya itu. Benar begitu, Al?!” Shinta tersenggal-senggal. Emosi yang baru saja ia luapkan membuat pelipisnya sedikit berkeringat. “Aku rasa, Maya tidak ingin kau melupakan dirinya. Mungkin lebih tepatnya, ia hanya ingin kau tidak terjebak lebih jauh lagi ke dalam masa lalumu.”

Al tercengang mendapati cecaran kata-kata pedas dari Shinta. Tidak seperti Shinta yang biasanya, pikir Al. Shinta yang dulu ia kenal adalah seorang gadis yang lembut, baik tutur kata dan tinglah lakunya. Sehingga ia tidak menyesal pernah mengenal dan menjalin hubungan dengan Shinta. Tapi hari ini ia melihat sisi lain dari Shinta. Sebuah sisi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Apakah gadis ini benar-benar menginginkan dirinya? Al tidak berani mencari tahu jawaban dari pertanyaan itu melalui wajah Shinta. Mata gadis itu bisa membuat pertahanannya luluh lantak. Jadi Al hanya bisa memandang ke bawah, menekuni corak ubin yang ia injak.

“Aku tahu ini menyakitkan, Al. Tapi….” Shinta berhenti. Ia menarik nafas dalam-dalam. Seolah sedang bersiap-siap hendak mengatakan seuatu dengan berat.

Sementara Al masih diam dan menunduk. Lelaki dengan tanda lahir biru di punggung tangan kirinya ini masih menunggu Shinta melanjutkan kalimatnya. Tapi kata-kata itu tak kunjung ia dengar. Al mengangkat kepalanya. Ia melihat Shinta yang sedang menatapnya. Berkali-kali gadis itu menghapus bulir-bulir bening yang keluar dari sudut matanya.

“Tolong jangan menangis, Shinta. Kau tahu aku tidak tahan melihat seorang wanita menangis.”

“Izinkan aku mendampingimu, Al. Aku ingin membayar kesalahanku di masa lalu dengan mengabdi kepadamu.”

Al terkejut. Shinta berkata nyaris tanpa beban. Tak disangkanya Shinta akan berkata sejujurnya tentang perasaan yang dimilikinya terhadap Al.

“Apa kau serius, Shinta?”

“Aku serius Al. Aku pernah melakukan satu kali kepadamu. Walaupun hanya bertahan lima bulan. Tapi itu…. Itu bulan-bulan terindah dalam hidupku. Aku menyesal telah mengacaukan segalanya di masa lalu.”

Kini giliran Al yang bermain-main dengan helaan napas panjang dan dalam. Ia merasa otaknya membeku, tak dapat berpikir soal apapun. Ingin sekali ia bersikap tidak peduli kepada Shinta. Mungkin ia bisa memanggil Riska untuk membantunya mengeluarkan gadis ini dari ruang kerjanya. Atau bisa juga ia menyudahi percakapan ini dengan berpura-pura akan pergi meeting di luar kantor dengan partner bisnis. Intinya, ia tidak ingin melihat wajah Shinta lagi.

Tapi pada kenyataannya, Al tidak bisa melakukan itu semua. Ia bukan tipe lelaki pengecut seperti itu. Sebisa mungkin, ia menghadapi setiap masalah dengan sikap dewasa dan bijak. Dan ia tahu, Shinta sedang menunggu tanggapannya sekarang.

“Al….”

Al masih diam. Ia malah kembali menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa. Matanya lurus menatap tembok ruangan. Ia memikirkan janjinya kepada almarhumah Maya. Lalu ia sampai pada satu keputusan.

“Aku tidak bisa, Shinta.” Al hanya berharap ia tidak perlu menyesal dengan keputusan yang ia buat. “Aku sudah berjanji untuk menjaga perasaan gadis itu.” Al menegakkan duduknya lalu menatap Shinta. “Maafkan aku, Shinta.”

Shinta menangis. Kali ini tidak ada lembaran tisu yang menghapus air matanya. Ia membiarkan riasannya luntur terkena air mata. Ia tidak peduli. Toh Al sudah tidak menginginkan dirinya lagi.

“Jika saja kau datang lebih cepat, Shinta….”

“Kau menyesal, Al?”

“Mungkin. Tapi….”

“Kau mencintai gadis itu?” potong Shinta.

“Gadis itu…. Dia… seorang perempuan yang kuhormati.”

“Lalu aku?” Shinta masih saja menyangkal bahwa Al telah memiliki kekasih.

“Kau, Shinta. Kau adalah seorang teman yang layak kuhormati,” tegas Al. Suaranya pelan, tapi tanpa keraguan sedikitpun.

“Al….”

“Ya….”

“Bolehkan aku memelukmu? I promise this is the last,” pinta Shinta.

Al heran dengan permintaan Shinta. Ia rasa itu permintaan yang tidak seharusnya diajukan di saat seperti ini. Tapi Al berusaha menjadi teman yang baik. Apa salahnya memeluk seorang sahabat, pikir Al. Lalu ia merengkuh gadis berambut panjang berombak ke dalam pelukannya. Tidak ada yang terjadi. Al memang sudah melepas rasa yang dulu ia miliki terhadap Shinta. Yang ada saat ini adalah perasaan sebagai seorang sahabat.

Lain halnya dengan Shinta. Ia masih merasa getar-getar yang pernah ia rasakan tiga tahun yang lalu, saat ia dan Al masih mengecap manisnya cinta. Namun Shintapun sadar, apalah gunanya mempertahankan rasa ini jika pada akhirnya ia harus bertepuk sebelah tangan.

“Terima kasih, Al.” Shinta melepasan diri dan beranjak dari duduknya. “Maaf jika aku mengganggumu hari ini. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. Aku akan pergi. Dan aku berdoa untuk kebahagiaanmu, Al.”

Shinta merapikan sikapnya, mengatur kembali raut wajahnya, lalu kembali memasang senyum di bibir ranumnya. Ia melangkah dengan mantap menuju pintu meninggalkan Al yang masih duduk di sofa. Sembari menatap punggung Shinta yang mulai menjauh, Al mengucap maaf kepada Shinta di dalam hati kecilnya.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun