Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Al dan Maya - Chapter Three

25 Juli 2012   20:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:37 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

previous chapter

Maya menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur. Masih terbayang di benaknya, perkataan Al tentang cinta dan luapan perasaan pria itu terhadap dirinya. Ini tidak mudah baginya. Menerima cinta Al hanya akan membuat dirinya jatuh ke dalam kepalsuan cinta yang dimiliki Al kepadanya. Maya berpikir, cinta Al adalah cinta yang hanya didasari oleh keserupaan namanya dengan nama kekasihnya yang telah tiada.Namun Maya pun tak dapat membohongi dirinya sendiri. Ia sesungguhnya memiliki harapan lebih kepada Al. Ia ingin mencintai Al, tapi keinginannya itu terhalang oleh sosok Maya. Meskipun wanita itu telah tiada, namun Al nampaknya belum bisa melepas bayangan kekasihnya. Pria itu masih saja memikirkan Maya.

Maafkan aku, Maya. Mungkin aku terlalu cepat untuk mengungkapkan perasaanku yang sejujurnya kepadamu. Tapi aku sungguh tidak tahan dengan diriku sendiri. I just can’t stop thinking of you.”

Pesan singkat dari Al membuat Maya mau tak mau mengembangkan senyumnya. Ia tak membalasnya. Langsung saja ia setengah melempar ponsel – yang merupakan pemberian Al beberapa minggu yang lalu – ke atas meja kayu tua di sudut ruangan kamarnya. Kembali ia merebahkan diri ke kasur kapuk tua. Ia menatap langit-langit kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu, sambil sesekali menyimak rekaman lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang keluar dari pengeras suara mushola.

Maya adalah seorang gadis yang tidak mudah percaya kepada oranglain, terutama kepada lawan jenis. Kecuali sang ayah tentunya. Ia memiliki banyak teman wanita, namun tak ada satupun yang bisa dijadikan tempat untuk berkeluh kesah, atau sekadar bercerita tentang hal-hal menarik seputar wanita. Justru dirinyalah yang selama ini menjadi tempat teman-temannya mencurahkan isi hati mereka. Maya berpikir, jika mereka saja bercerita dan memintanya mencarikan jalan keluar dari suatu masalah, bagaimana bisa teman-temannya itu memberi jalan keluar untuk masalah yang sedang ia hadapai sekarang. Namun hikmahnya adalah, ia bisa mengenal banyak karakter orang dari mereka yang telah dikenalnya. Satu-satunya tempat mencurahkan isi hatinya selain sang ayah adalah buku harian yang tersimpan rapi di laci mejanya.

Maya bangkit tadi kasur dan segera mengambil buku tersebut dari laci meja. Ia duduk dan membuka halaman terakhir yang berisi tulisan. Ia melihat tanggal terakhir ia menuliskan sesuatu di buku itu, dan sedikit terkejut. Ternyata sudah satu bulan lebih ia tidak pernah menulis. Ia mengambil pena dari laci, lalu mulai menulis.

Maafkan aku, Al. Bukannya aku tidak bisa menerima cintamu. Dan bukan pula aku tidak percaya pada ketulusan yang ada di kedalaman jiwamu. Hanya saja, aku takut di kemudian hari aku hanya menjadi pelampiasan rasa rindumu kepada kekasihmu. Karena, sekali lagi aku katakan, aku bukan Maya, kekasihmu yang telah berpulang itu. Aku paham, kau masih belum bisa melupakan dirinya. Tapi tidak bisakah kau hanya melihat aku dan bukannya melihat kekasihmu itu? Kau bilang, wanita itu adalah cinta abadimu. Jika itu benar, seharusnya kita tidak perlu bertemu saja.

Aku tidak ingin menjadi bayangan kekasihmu yang terdahulu. Jika memang kau mencintaiku maka cintailah aku sebagai aku, bukan sebagai oranglain. Aku tahu pasti sangat sulit melupakan seseorang yang telah lama kau cintai, bahkan kau sendiri telah menyebutnya sebagai cinta abadimu. Tapi jika memang kau mencintaiku, kau harus bisa melupakannya. Jangan karena aku yang selama ini selalu ada di dekatmu lalu kau anggap aku bisa dengan mudahnya kau miliki. Hidupku pahit, Al. Aku bahkan tak tahu siapa ayah dan ibu kandungku. Aku hanya tahu ayahku yang menemukanku dalam kardus. Pak Dahlan, yang kini menjadi Ayahku, benar-benar menyayangiku dengan setulus hati tanpa berharap apapun. Pria tua itu hanya berharap aku bisa bertahan hidup. Meskipun ragaku seolah enggan melakukan itu, tapi otakku memerintahkan untuk tetap bertahan. Dan itu tidak mudah, Al. Belum lagi soal status keberadaanku di dunia ini. Di saat aku ingin tahu siapa orangtua kandungku, maka saat itulah aku merasa aku hanyalah anak haram. Aku tidak lagi diinginkanoleh ayah dan ibuku sehingga mereka membuangku ke TPU.

Tidak bosan aku mengatakan bahwa ini sangat sulit, Al. Bukan saja tentang hatiku yang tak mudah jatuhcinta, tapi juga karena aku masih meragukan ketulusanmu.

Maya berhenti menulis. Ia bangkit dari kursinya dan berniat menutup jendela kamar lalu mengambil air minum ke dapur. Namun saat ingin menutup jendela kamarnya, ia melihat vios hitam masih berada di pinggir jalan, terparkir dengan nelangsa. Maya kembali ke mejanya lalu menyambar ponselnya. Ia menekan tombol ponsel beberapa kali dan menempelkan gadget itu ke telinga kanannya. Maya sedang menelepon Al.

“Halo,” sapa suara darri seberang sambungan.

“Halo, Al. Kau dimana sekarang? Sudah sampai rumah?” tanya Maya.

Lama tak terdengar jawaban dari Al. Maya memperhatikan ponselnya sejenak, memastikan sambungan telepon masih aktif, lalu mendekatkan lagi benda itu ke telinganya.

“Al….”

Iya, Maya. Aku sudah di rumah. Baru saja aku ingin meneleponmu untuk mengatakan hal itu. Tapi rupanya aku kalah cepat.” Lalu terdengar suara tawa Al yang Maya pikir agak sedikit dipaksakan.

“Oh ya?! Syukurkah kalau begitu.”

“Memangnya ada apa, May? Nada suaramu terdengar khawatir.”

Ah, tidak. Tolong jangan gede rasa dulu ya.” Maya tertawa. “Aku lihat ada Vios hitam terparkir tak jauh dari rumah. Aku pikir itu kau, Al. Benar kau sudah di rumah?” Maya menegaskan lagi pertanyaannya kepada Al.

Iya. Aku sudah di rumah. Kau tidak perlu khawatir, Maya.”

Baiklah. Aku tutup dulu ya. Ini sudah hampir magrib.”

Maya menekan tombol merah pada ponselnya dan meletakkan kembali benda itu di atas meja. Ia beranjak menuju jendela, tapi tidak langsung menutupnya. Sekali lagi ia memperhatikan Vios hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Matanya memicing. Ia merasa seperti melihat seseorang di balik kemudi mobil itu. Tapi karena ini menjelang senja, dan cahaya matahari sedikit tertutup awan, maka Maya tidak bisa memastikan apa yang ia lihat saat itu. Namun ia meyakinkan hatinya sendiri. Al sudah di rumah, dan ia yakin, pria itu jujur padanya.

Lalu Maya melepas batang besi yang menyangga jendela berkaca itu dan menguncinya dengan seksama. Ia merapikan kelambu yang menutupi jendela itu dan memastikan tidak ada celah yang terlihat dari luar.

Sementara itu, Al masih saja memegang ponselnya. Sambungan sudah terputus sejak tadi, dan Al seolah tak percaya apa yang baru saja ia katakan kepada Maya. Ia tersadar dari lamunannya dan memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.

Al memegang kemudi, tapi mesin mobilnya masih belum menyala. Ia bingung. Sebenarnya ia ingin sekali berlari ke rumah itu, mengetuk jendela kamar Maya, dan mengajaknya keluar rumah tanpa harus pamit kepada ayahnya – kembali lagi seperti remaja yang sedang kasmaran. Tapi ia bukan remaja, dan itu rasanya tidak mungkin terjadi.

Adzan magrib lantang bergema dari mushola yang tak jauh dari kompleks pemakaman tersebut. Al memutuskan untuk pulang saja. Toh tidak ada gunanya memaksakan kehendak saat ini juga. Maya pasti akan menganggap dirinya pria bodoh jika berbuat seperti itu. Lagipula, ada baiknya juga ia ikut menenangkan diri. Mayapun ada benarnya, gadis itu bukanlah Maya.

***

Malam harinya, selepas sholat isya, Maya kembali membuka buku hariannya. Biasanya, selepas isya ia akan menemani ayahnya menonton acara berita di televisi, atau merapikan baju-baju yang sesiang tadi dijemur. Tapi kali ini, ada dorongan yang lebih besar dalam dirinya untuk kembali membuka buku hariannya. Dan ia sadar, itu karena Al.

Seharusnya aku menghapal nomor mobilmu, Al. Agar aku tahu saat kau berbohong. Mengapa aku sangat yakin kau berbohong tadi? Ah, sudahlah. Itu hakmu. Aku tidak punya hak untuk mengatur apa yang terucap dari bibirmu karena aku bukan seseorang yang pantas untuk berbuat itu. Meskipun aku sangat berharap bisa melakukannya.

Ya, Tuhan. Mengapa aku jadi seperti ini? Al, kau harus bertanggung jawab terhadap rasa gelisah yang sekarang menyerangku dengan membabi buta. Yeah, it’s all because of you.

Maya menutup buku hariannya, lalu berbaring di kasur kapuk tua berlapis sprei biru muda. Matanya belum mau terpejam. Lagipula, ini masih terlalu sore untuk terlelap. Lalu otaknya pun mengembara, memutar memori yang terjadi sore tadi di taman kota. Al begitu memuja kekasihnya yang telah tiada, pikir Maya. Iapun jadi penasaran paras wanita yang telah mencuri hati Al. Pastilah seorang wanita berparas dan berhati cantik, gumam Maya dalam hatinya.

Dalam kamarnya di apartemen mewah yang terletak di tengah Kota Kembang, Al terduduk di sofa sambil menatap nanar foto Maya di tangan kanannya. Perlahan, rasa kehilangan yang sempat memudar karena kehadiran Maya yang baru dikenalnya, kini mulai menjalar kembali ke hatinya. Dan itu membuatnya harus merasakan sakit lagi. Sebuah rasa sakit yang aneh, pikirnya, karena ia tidak melihat luka di tubuhnya. Ya, yang terluka adalah hatinya.

“Pipiku terlihat lebih berisi, ya, di foto itu.”

Tiba-tiba sebentuk suara hadir di pendengaran Al. Namun Al tak lagi terkejut seperti sebelumnya. Ia sudah paham siapa yang hadir di sampingnya kini.

“Ya,” sahut Al, “kau terlalu banyak mengunyah potato chips dan minum berliter-liter soda dalam satu minggu.”

Sosok yang duduk di samping Al tertawa malu. “Kau bilang aku boleh memakan apapun saat kau mendapat promosi sebagai manager di tempat kerjamu. Dua hal itu – potato chips dan soda – adalah surga duniaku.”

Al menengok ke sebelahnya. Ia mendapati sosok kekasihnya tengah duduk dan memandang dirinya. Wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna kuning muda – gaun pemberian Al ketika pesta pertunangan – dan tubuhnya berpendar, seolah ada cahaya berlebihan yang menimpa sosok bernama Maya Larasati.

“Apa kabarmu, Maya? Apa kau bahagia dengan kehidupan barumu di sana?”

“Tidak,” jawab Maya. “Aku belum bisa bahagia, Al.”

“Mengapa?”

“Karena aku belum melihatmu bahagia.”

Al beralih lagi menatap foto di tangannya. “Itu sulit, Maya. Karena hal yang membuatku bahagia telah menghilang dari hidupku.”

“Tapi kau mendapatkan yang baru, Al. Mengapa kau tidak menerimanya dengan ikhlas?”

Al memalingkan wajahnya kembali ke sosok Maya. Ia melihat wanita itu tersenyum. “Apa maksudmu, Maya?”

Maya tersenyum, lalu menjawab, “Kau pasti tahu maksudku.” Lalu sosok berpendar itupun menghilang.

--- bersambung ---

next chapter

Sumber gambar angel on forest, klik image.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun