Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gossips

26 April 2012   05:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:05 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13354178401870500200

Sabtu sore yang cerah dengan selapis awan tipis menyelebungi langit biru di atas kota Denpasar. Di salah satu sudut kota, ramai para wanita sedang bercengkama dengan akrabnya. Mereka terbagi menjadi beberapa gerombolan. Beberapa dari mereka sambil menyuapi anak-anaknya yang berlarian tak tentu arah. Di salah satu kamar kontrakan, Friska baru saja selesai menyapu lantai. Ia meletakkan sapu di sudut teras. Ia masuk ke kamar untuk mengambil dompet dan ponsel, lalu keluar dan mengunci pintu kamarnya. Ia akan pergi ke sebuah toko kecil di ujung gang untuk membeli beberapa keperluan dapur. Sepanjang ia berjalan menuju ujung gang, beberapa warga menyapa dan menawarinya untuk singgah sebentar sekedar mengobrol. Tapi Friska menolaknya dengan halus dan mengatakan lain kali ia akan singgah. Ia sangat hapal, jika mereka menawarinya untuk singgah dan mengobrol, pastilah ada sesuatu yang telah terjadi. Entah itu dengan diri mereka sendiri ataupun orang lain. Dan kebanyakan, memang selalu tentang orang lain. Urusan membeli keperluan dapur sudah selesai. Friskapun melangkah pulang. Baru sepuluh meter melangkah dari teras toko, seorang ibu muda yang sedang hamil memanggilnya. "Mbak Friska. Sini, mampir sebentar. Sudah lama kita nggak ngobrol," ujar Ibu Wati. Friska berhenti melangkah dan tersenyum kepada wanita yang tadi meyapanya. Ia lalu berpikir sejenak. Sepertinya memang tidak apa-apa kalau ia singgah sebentar. Toh setiap orang juga butuh bersosialisasi. "Iya, Bu. Ada apa ya?" tanyanya berusaha bersikap ramah. "Ah, nggak ada apa-apa kok, Mbak Friska. Cuma kok saya jarang ngeliat sampeyan ya. Sibuk?!" "Ya, memang agak sibuk di kantor. Lagi banyak kerjaan, Bu. Jadi begitu sampai rumah, pengennya langsung istirahat." "Oh, gitu," sahut Ibu Wati. "Eh, tau enggak," sambungnya lagi sambil setengah berbisik, "Bu Putu semalem abis berantem sama suaminya. Saya sempet nguping mereka. Kan tembok rumah saya dempet sama rumahnya. Saya denger suaminya Bu Putu nuduh Bu Putu ngambil uang tiga ratus ribu dari dompetnya." Friska sedikit kaget, tapi raut wajahnya menandakan bahwa ia tidak percaya sepenuhnya. Dan ternyata air mukanya terbaca oleh Ibu Wati. "Iiihh..., Mbak Frsika nggak percaya ya," sambung Ibu Wati sambil tetap setengah berbisik. "Mereka udah sering berantem kayak gitu. Dan penyebabnya selalu sama, soal duit. Emang sih, saya juga curiga sama Bu Putu. Saya curiga dia punya selingkuhan brondong," kali ini suaranya lebih dikecilkan lagi volumenya, sehingga hanya terdengar oleh dua orang saja. "Makanya ia selalu mencuri uang Pak Putu buat dikasiin ke brondong itu." "Ah, Ibu Wati tau dari mana?" Akhirnya Friska angkat bicara. "Apa ibu melihat pemuda itu dengan mata ibu sendiri?" tanyanya untuk menyakinkan lagi. "Ya, enggak juga sih." Raut wajah Ibu Wati sedikit berubah, seperti orang yang sedang mencari-cari alasan untuk menutupi kekurangannya. "Tapi kayaknya sih emang bener. Soalnya saya sering liat ada laki-laki muda datang ke rumah Bu Putu - walaupun saya nggak bisa liat wajah pemuda itu dengan jelas. Dan itu terjadi setiap Pak Putu nggak ada di rumah." "Oh, begitu," sahut Friska. Ia tidak menyangkal perkataan Ibu Wati, namun tidak pula membenarkan. "Kalau begitu saya pamit dulu, Bu. Saya mau nyiapin sesuatu buat makan malam." Ibu Wati tersenyum dan mengangguk. Friska pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Selang empat rumah berikutnya, Friska berpapasan dengan tiga orang wanita muda yang sedang mengobrol di depan rumah salah seorang warga. Ia sengaja mengalihkan pandangan dan pura-pura sibuk dengan ponselnya agar mereka tidak menyuruhnya untuk singgah. Tapi ternyata cara itu tidak ampuh. Seseorang dari mereka tetap memanggilnya. "Friska! Sini bentar na'e. Sombong banget nggak pernah mau ngobrol sama kita," ujar Kadek Arin dengan logat Balinya yang kental. "Eh, iya," sahut Friska sambil menghampiri tiga orang tersebut. "Maaf. Abisnya sibuk banget di kantor. Jadi begitu sampe rumah, bawaannya pengen tidur mulu." "Yee, dasar sotoy. Sekali-sekali ngumpul bareng kita, biar tau ada kabar apa yang lagi hot," sahut Nengah yang sepertinya selalu sibuk merapikan rambutnya. Friska memperhatikan Nengah. Oh, rupanya gadis itu baru saja menyemir rambutnya menjadi truly blonde. Friska sedikit tertawa dalam hati. Sungguh perpaduan warna yang amburadul. Warna rambut itu seakan bertabrakan dengan warna kulit Nengah yang coklat legam. "Memangnya ada kabar apa sih?" tanya Friska pura-pura tertarik dengan obrolan tiga orang di hadapannya. "Kamu tau si Donna kan, Fris?" tanya Lina. "Cewek kafe yang tinggal di kosan paling ujung itu?!" tanya Friska. "Iya," sahut Lina. "Emangnya ada apa sama Donna?" tanya Friska lagi. "Semalem dia pulang bawa gandengan baru," jawab Lina. "Lha terus kenapa? Biarin aja. Toh dia emang cewek kafe yang hobinya gonta-ganti cowok," cecar Friska. "Iya, aku ngerti," ujar Nengah yang kembali sibuk merapikan rambutnya. "Tapi yang semalem itu bukan cowok biasa. Dia dosen pembimbingku dulu. Mending kalo umur dosenku masih empat puluhan, masih keliatan gagah. Tapi dosenku itu udah punya cucu lho." "Oya?!" Kali ini Friska memang benar-benar terkejut. "Iya," sahut Nengah. "Tadi pagi pas aku main ke tempat Mbok Iluh - yang kamar sebelahan sama kamar Donna - aku liat dosenku baru aja keluar dari kamar Donna. Kayaknya pas dia mau pulang. Dan aku liat, Donna dicium sama kakek tua itu. Hiiii...." "Dan kamu tau si Koming?!" Kadek Arin langsung mengalihkan topik percakapan. "Tau dong. Dia kan tinggal di sebelah kamarku," sahut Friska. "Emang kenapa si Koming?" "Kemarin aku liat dia lagi antri di dokter kandungan. Dia hamil," tukas Kadek Arin. "Wew.... Masa sih?! Bukannya cowoknya lagi di kapal pesiar. Kan udah hampir setahun juga tuh berlayarnya. Masa iya dia bisa hamil?!" ujar Friska. "Ih, masa kamu nggak merhatiin?! Dia kan sering bawa cowok lain ke kosannya," sahut Kadek Arin. "Oya?! Ya udah biarin aja, bukan urusanku juga kan?! Nah.... Kamu sendiri ngapain di dokter kandungan? Periksa kandunganmu juga?" tanya Friska dengan nada pura-pura lugu. "Aku... oh, eh... lagi... nggak ada apa-apa. Iseng aja." Kadek Arin tergagap. "Iseng?! Ya udah deh. Kalo nggak ada lagi, aku pulang dulu ya. Mau bikin mie rebus dulu. Laper, dari pulang kantor belum makan lagi," ujar Friska sambil melangkah meninggalkan tiga orang tersebut. Sampai di kamarnya, Friska meletakkan bungkusan berisi lima bungkus mie instan dan beberapa butir telur di atas kompor gas. Ia tidak menyalakan kompor untuk mulai memasak, tapi ia malah menyalakan laptopnya. Ia membuka folder dokumen pribadinya dan membuat satu dokumen Word yang baru. Ia menganti judul dokumen itu menjadi beberapa huruf yang kemudian terbaca sebagai GOSSIPS. Lalu ia pun tenggelam dalam rangkaian kata-kata yang ia ciptakan sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun