Warung tenda terakhir diujung ruas jalan ini sudah kusambangi. Dan ini sudah lebih dari jam dua belas malam. Aku harus segera menemui Bang Roy di depan mini market Laris. Dan setelah urusanku dengan Bang Roy selesai, aku bisa pulang ke kos.
“Berapa banyak yang kau dapat, Sep?” tanya Bang Roy yang sedang menghitung uang hasil setoran rekan-rekanku yang lain.
“Lumayan lah, Bang. Mungkin karena ini malam minggu, Teuku Umar ramai dengan muda mudi yang berkencan di warung tenda.”
“Hmm…. Baguslah. Kemarikan uangnya,” perintah Bang Roy.
“Ini, Bang,” sahutku sambil menyerahkan setumpuk lembaran uang dan beberapa keping recehan. Tak lupa, kuserahkan pula gitar kepada Bang Roy. Gitar itu miliknya dan Bang Roy sudah berbaik hati tidak menagih uang sewa karena aku memakai gitar untuk mengamen.
Dengan cekatan, Bang Roy menghitung uang pemberianku.
“ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan uang dua puluh ribu kepadaku. “Dan besok sore,” sambungnya lagi, “datanglah lebih awal. Kau pasti sudah tahu kalau besok sore daerah Teuku Umar akan lebih ramai dari biasanya.”
“Baiklah, Bang. Aku pamit dulu,” sahutku.
“Ya.”
Hmm…. Ditanganku ada selembar uang dua puluh ribuan, satu-satunya lembar uang yang bisa kudapat untuk malam ini. Pastinya uang ini akan kupakai untuk menyambung hidupku. Sebungkus nasi jinggo seharga tiga ribu rupiah, kurasa cukup untuk membungkam teriakan cacing-cacing di perutku.
Seandainya aku punya rupiah yang nilainya lebih dari ini…. Ah, tidak. Aku tidak boleh berkata seperti itu. Nilai ini pun sudah lebih dari cukup untukku. Dengan dua puluh ribu di tanganku malam ini, aku tidak akan mati kelaparan. Toh aku tidak seperti manusia-manusia di Senayan, yang memaknai dua puluh ribu senilai dengan sekotak kudapan. Dan dengar-dengar pula, mereka masih mengoceh kepada para kuli tinta, bahwa rasa kudapan itu tidak terlalu enak. Sesungguhnya, jika mereka tahu bagaimana rupa santapanku setiap hari, mereka tentu akan berpikir dua kali untuk mengucap kata bosan terhadap sekotak kudapan itu.
Tentu kalian semua ingin tahu, akan aku apakan selembar dua puluh ribuan ini. Well…, setelah mengganjal perutku dengan sebungkus nasi jinggo, aku harus menyisihkan paling tidak delapan ribu rupiah setiap hari untuk membayar sewa kamar kos. See…, setiap hari. Berarti jika aku tidak mengamen satu hari saja, maka aku harus mengusahakan jumlah yang dua kali lipat di hari berikutnya. Aku ingin berandai-andai lagi soal manusia-manusia di Senayan itu, tapi aku terlampau malas. Mereka tidak akan mendengarkan apa yang baru saja kukatakan pada kalian. Itu pasti!!!
Masih ada sisa sembilan ribu. Dan apa yang akan kulakukan dengan rupiah sejumlah itu? Beruntung, aku bukan termasuk penikmat zat nikotin. Jadi aku bisa menggunakan sepertiga dari jumlah itu untuk membeli sebungkus nasi kuning untuk sarapan esok pagi. Dan dengan begitu, aku masih punya sedikit sisa uang untuk kusimpan.
Aku… adalah salah satu… dari ratusan juta manusia yang hidup di negara ini… yang masih bisa memaknai selembar dua puluh ribu rupiah. Aku bangga dengan hal itu. Dan seandainya manusia-manusia di Senayan itu…. Ah, tidak!!! Aku tidak mau berandai-andai lagi soal mereka yang nyatanya tak pernah sedetikpun melirik ke arah manusia sejenisku!!! Semakin lama aku mengembarakan pikiranku kepada mereka, semakin dingin pula nasi jinggo yang kini berada di tanganku. Baiknya aku makan dulu. Semoga lain kali, aku bisa membagi kisahku yang lain kepada kalian.
***
gambar nyomot dari pakde google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H