Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Julie Andrews's Note (Episode 8)

6 Februari 2012   18:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

kisah sebelumnya episode 7

Julie tersadar dari lamunannya ketika ponselnya berbunyi.

“Halo, Bill. Ada apa?”

“Kau di mana, Jules?”

“Aku ada di Longshore Café, tak jauh dari kantor. Ada apa?”

“Kau tunggu saja. Aku akan menemuimu di sana,” jawab William yang langsung mematikan sambungan telepon.

Julie terheran – heran. Kejutan apa lagi yang sedang menantinya hari ini? Seperti belum cukup pertemuan dengan Tiffany membuatnya sakit kepala.

Sekitar sepuluh menit kemudian William tiba di kafe dan langsung menuju meja tempat Julie duduk.

“Kau mungkin tidak akan percaya apa yang baru saja aku dapat,” ujar William.

“Oh, Tuhan. Kejutan apa lagi ini?” Julie menangkupkan kedua tangan untuk menutupi wajahnya.

“Ada apa, Julie?”

“Tidak. Kau duluan saja. Apa yang kau dapat?”

William mengambil ponsel dari saku jasnya. Ia menekan tombol ponsel beberapa kali, lalu menyerahkan ponsel itu kepada Julie. Rupanya William hendak menunjukkan sebuah rekaman video kepada Julie.

Untuk beberapa saat, Julie tidak mengerti. Apa maksud William memperlihatkan rekaman itu kepadanya. Rekaman itu hanya menayangkan suasana sebuah klub malam. Hiruk pikuk musiknya membuat telinga Julie sakit.

Namun secara tiba – tiba air muka Julie berubah. Tak lagi menampakkan wajah bingung, tapi raut wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya. Dan dari bibirnya hanya terucap satu kata.

“Steve?”

William sepertinya sudah menebak reaksi Julie. Perlahan ia mengambil ponselnya dari tangan Julie.

“Dari mana kau dapatkan rekaman itu?” tanya Julie.

“Kau tahu wanita tua yang menjaga kantin di kantor kita?”

“Brooke Smith,” jawab Julie lemah.

“Yap. Aku mendapatkan rekaman itu dari Nyonya Smith. Anaknya yang merekamnya. Kebetulan anaknya sedang berada di klub tadi malam untuk menghadiri sebuah pesta ulang tahun.”

“Tadi malam?!” tanya Julie.

“Ya. Tadi malam.”

“Berarti benar dugaanku.”

“Dengarkan aku, Jules. Aku bukannya ingin menambah runyam hubunganmu dengan Steve. Pun bukan maksudku agar kalian berpisah. Tapi ini fakta, Jules. Pria itu sudah tidak mencintaimu lagi.”

“Entahlah, Bill. Aku sedang tidak bisa berpikir sekarang. Belum ada setengah jam yang lalu, Tiffany meninggalkan kafe ini dengan sebuah teka – teki yang ia berikan kepadaku.”

“Tiffany? Kau bertemu dengan Tiffany? Apa yang kalian bicarakan?”

“Yah, seperti biasa. Sebuah pembelaan. Bahwa ia tidak terlibat apa – apa dalam kasus penembakan ini. Tapi di akhir pertemuan ia malah mengatakan sesuatu yang membuatku tambah pusing. Ia bilang, jika ia katakan siapa pelaku penembakan ayahnya, aku mungkin tidak akan percaya.”

“Dia… apa?”

“Aku tidak akan mengulang perkataanku, Bill. Kau terjemahkan sendiri. Aku akan pergi sebentar.”

Julie meninggalkan mobilnya di depan Longshore Café. Dan ia sendiri memilih berjalan kaki. Ia belum punya tujuan pagi itu. Ia hanya membiarkan kaki jenjangnya melangkah menembus keriuhan kota san Francisco. Tanpa ia sadari, lagi – lagi William membututi langkahnya.

Langkah Julie terhenti di depan gerbang taman kota. Sejenak ia tampak ragu, apakah akan meneruskan langkahnya memasuki taman itu. Dan akhirnya, ia memang melanjutkan perjalanan ke dalam taman kota.

Di tepi sebuah danau kecil, Julie berdiri dan memandang jauh ke depan. Ia menarik napas panjang berkali – kali, seolah hendak membuang jauh beban yang kini bertengger di pundaknya. Lalu ia melepas sepatu high heel hitam yang sedari tadi pakai. Ia bertelanjang kaki menuju tepian danau dan duduk di sana.

“Seharusnya kau kemari dengan mengajak seseorang, Jules.”

Julie terkejut. Ternyata William sudah berada di sampingnya lagi.

“Bill. Tidak bisakah kau berhenti membututiku? Oh, God!!! Aku bisa gila karena ulahmu!!!”

“Tenanglah, Jules. Aku tidak akan mengganggumu. Anggaplah aku tidak berada di sini.”

“Yeah…. It sounds weird.”

“Hahahaha…. Aku tahu kau akan mengatakan kalimat itu. Kalimat yang sudah lima belas tahun tak pernah mampir ke gendang telingaku.”

“Bill….”

“Ya….”

“Aku minta maaf. Aku telah meninggalkanmu malam itu. Aku tidak punya pilihan lain saat itu. Kau yang membuatku harus meninggalkanmu.”

“Sudahlah, Jules. Itu salahku juga. Aku tidak pernah bisa menghargai apa yang sudah kau berikan padaku. Seharusnya aku yang minta maaf kali ini.”

“Baiklah. Anggaplah kita sudah impas sekarang. Kita tidak perlu mengungkit masa lalu.”

“Ya, aku setuju. Dan… bagaimana dengan Steve?”

“Jujur saja, Bill. Aku masih tidak percaya dengan apa yang tadi aku lihat. Aku masih menyangkal bahwa Steve sebenarnya ingin menjauh dariku. Dan aku masih menganggap Steve masih mencintaiku saat ini. Entahlah, Bill. Bahkan aku pun menganggap semua itu tidak masuk akal. Aku seperti bermimpi ketika melihatnya bersama Kate Nolan.”

It wasn’t dream, Jules.”

“Apa maksudmu?”

“Ya, aku pun melihatnya. Jadi kau tidak sedang bermimpi. Aku juga pernah melihat Steve bersama Kate Nolan.”

“Oh, God….”

Julie menunduk dan air mata mulai membasahi pipinya.

“Jules….”

“Tinggalkan aku sendiri, Bill. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Kau katakan saja pada Steve di kantor, bahwa aku ada urusan lain. Siang nanti, aku akan menghubungimu lagi.”

“Jules…. Benar kau tidak apa – apa?”

“Iya, aku baik – baik saja. Sekarang tolong biarkan aku sendiri, Bill.”

***

Pagi yang cerah di awal bulan Juli. Musim panas sudah mulai sejak beberapa hari yang lalu. Taman kota dipenuhi orang – orang yang bersantai menikmati suasana musim panas. Di antara kerumunan manusia penduduk San Francisco, ada dua orang yang sedang duduk di bangku taman sambil bercakap – cakap. Satu orang pria dan satu lagi wanita.

Keduanya nampak seperti kebanyakan orang, pakaian mereka tidak terlalu mencolok, bahkan si wanitanya sama sekali tidak memakai riasan. Namun siapa sangka, ternyata keduanya sedang berbincang tentang satu hal yang teramat penting. Dan itu menyangkut nasib satu orang lainnya.

“Aku salut dengan hasil kerjamu,” ujar si wanita.

“Ah, aku hanya membantumu. Selebihnya, kaulah yang bertindak,” sahut si pria.

“Yeah. Tapi tanpamu, aku tidak bisa menjangkau pria tua bangka itu,” sahut si wanita lagi.

“Rencana kita memang berjalan sesuai harapan. Aku benar – benar tidak menyangka gadis itu begitu bodoh bisa terperangkap jebakan kita.”

“Aku tidak heran akan hal itu. Aku sudah pernah terlibat sebuah pekerjaan dengannya. Dan dengan beberapa kali bertemu, aku sudah bisa menebak kalau dia memang gadis yang bodoh.”

“Kadang aku merasa kasihan dengan gadis itu.”

“Coba saja pertahankan rasa kasihanmu padanya, maka aku jamin kau tidak akan pernah menikmati hasilnya.”

“Oke… oke…. Lantas apa rencanamu selanjutnya?”

“Selepas ini, aku akan bertindak sendiri. Tugasmu sudah cukup sampai di sini. Aku akan menghubungimu lagi jika aku membutuhkanmu. Sekarang pergilah, sebelum orang lain mulai curiga dengan keberadaan kita.”

“Baiklah, aku pergi. Kau, jaga dirimu baik – baik.”

(to be continued)

episode 9

gambar nyomot dari google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun