Mohon tunggu...
Seir HaidahHasibuan
Seir HaidahHasibuan Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Terpana Serasa Tak Percaya

3 Januari 2024   23:03 Diperbarui: 3 Januari 2024   23:05 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Terpana Serasa Tak Percaya

Menggapai Harapan-115

@Cerber

"Oh, ya di sana angkot yang ke arah rumahku," bisik Ridwan di benaknya.
Dilangkahkannya kakinya mejuju angkot jurusan ke desanya.
"Ayo, berangkat-berangkat," teriak kenek mrmanggil penumpangnya.
Bayu di pagi itu terasa dingin menyentuh raga Ridwan. Fajar telah menyingsing.

Penumpang bergegas menuju angkot masing-masing sesuai jurusannya.
Saat Ridwan sampai di angkot, penumpang sudah banyak namun masih ada bangku kosong.
"Masih beruntung ada bangku kosong, kalau tidak  aku lama lagi menunggu," gumamnya sambil meletakkan bokongnya di bangku paling ujung.
Tidak lama mobil berjalan meninggalkan terminal.
Di dalam mobil terdengar ramai, ada ibu-ibu yang pulang belanja sambil ngelawak, sehingga penumpang pada tertawa. Tak ketinggalan dengan Ridwan dia tidak bisa menahan rasa gelinya.

"Sepertinya mas ini orang baru, rumahnya di mana? tanya ibu kepada ridwan.
Dengan sopan Ridwan membalasnya. Ibu paruh baya tersenyum. Dia teringat anak lelakinya yang pergi merantau.
Halte tempat Ridwan turun pun sampai.

"Pak, berhenti ya di halte depan," ucap Ridwan.
Dengan membngkuk Ridwan berjalan hendak turun dari angkot.
"Ini Pak ongkos saya," ucap Ridwan sembari menyodorkan tanganya.
Ridwan merasa lega saat turun dari mobil. "Huh, akhirnya sampai juga."


Dia pun melangkah menysuri jalan setapak. Bunyi air yang mengalir sangat indah dipadu dengan sawah yang luas terbentang.
"Desaku memang asri udara segar dan pepohonan tumbuh dengan kekar. Inilah yang membuatku selalu rindu ke desaku ini!"

Dari kejauhan rumah Ridwan sudah terlihat. Sesaat dia berhenti melangkah. Terpana serasa tidak percaya kalau yang dilihatnya bukan rumahnya.
"Apakah itu rumah kami? Saat aku datang dulu rumah  masih sederhana sekali. Aku kembali ke kota rumah baru mulai direnovasi. Ternyata sekarang sudah selesai dan terlihat bagus," monolognya di hati.


Dipercepat langkahnya, dia sudah tidak sabar sampai ke rumah.
Dulu ayah dan ibunya pagj-pagi sudah ke sawah. Kini hanya ayahnya yang bekerja, sementara ibunya di rumah sembari beternak ayam dan berkebun sayuran si samping4 rumah.
Tetiba ada yang memanggil ibunya.
"Ibu, ibu di mana? tanya Ridwan sembari melihat-lihat tumahnya.
"Seperti ada yang memanggil, siapa ya? tanya ibunya.
Bersambung....

Jakarta, 3 Desember 2024

Salam literasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun