[caption id="attachment_99867" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi: di depan musuhan, di belakang bermesraan"][/caption] Dulu, delapan tahun yang lalu, saya baru saja menamatkan pendidikan S1 pada sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh. Karena semasa kuliah saya aktif di organisasi pers mahasiswa, maka setelah tamat saya tidak terlalu sulit mencari kerja. Tapi cari kerja lho, bukan cari uang. Artinya, saya mendapatkan pekerjaan sebagai wartawan (magang) pada sebuah tabloid yang baru terbit di Banda Aceh. Namun karena tabloit tersbut baru terbit, maka gaji wartawan sangat minim. Bahkan belum tentu dalam satu bulan kami dibayar. Sebab bayaran untuk wartawan sangat tergantung dengan pendapatan perusahaan bulan itu. Saya ingat, bulan pertama bekerja di sana saya hanya dibayar Rp. 200.000,- Padahal saya harus bayar ongkos robur (bus kota) untuk pergi bekerja. Belum lagi uang minum saat liputan. Mana mungkin dengan uang Rp. 200 ribu? Namun karena ini saya anggap belajar, saya jalani saja. Saya dekat dengan salah satu redaktur tabloit itu. Kemana-mana ia sering mengajak saya untuk meliput berbagai berita. Saat itulah saya tahu mengenai dengan "wartawan amplop." Ia mengajak saya menjumpai bagian tertentu di kantor yang ia liput. Di sana ia akan diberikan sebuah map yang kemudian diisi. Saya tidak tahu apa yang diisi dalam map tersebut. Sesaat kemudian ia keluar dengan wajah tersenyum, dan mengatakan: pat tapajoeh sie kameng? (dimana kita makan kari kambing?). Ini berarti ia baru saja dapat uang. Dan dengan vespa putih bututnya kami melaju ke warung nasi kambing kesukakan kami. Suatu hari saya diserang kanker stadium tinggi, alias kantong kering yang sama sekali tidak ada uang. Waktu itu jam menunjukkan pukul 12 siang. Matahari Banda Aceh yang sangat panas membuat saya malas keluar. Apalagi uang tidak ada. Mau kemana-mana juga sulit. Sang senior menegurku. "Yok kita ngopi," katanya. Saya katakan kalau saya sedang tidak punya uang sepersenpun. "Ah... gampang itu. Serahkan pada abangmu..." katanya. Saya akhirnya menurut saja, pasti dia punya uang. Dalam perjalanan menuju warung kopi kami melewati sebuah kantor partai politik yang saat itu mau bertarung dalam pemilu. Ia membelokkan vespa putihnya ke halaman kantor itu. "Ayo, kita ambil uang dulu. Pakai tanda pengenal." katanya. Saya yang masih bingung ikut saja apa yang ia katakan. Apalagi saya masih magang. Mungkin ini adalah bagian dari training yang mau diajarkan. "Kita mau wawancarai ketua partai." katanya. Saya tidak tahu apa pentingnya mewawancarai ketua partai tersebut. Sebab jelas dalam rapat redaksi kami terakhir tidak ada agenda wawancara dengan ketua partai, apalagi partai yang baru begini, yang sama sekali tidak terkenal. Tapi saya ikut saja. Di dalam ruangan sebuah kamar, kami dipersilahkan duduk oleh seorang perempuan cantik yang ada di ruang depan. Ia menanyakan maksud kami. Setelah kami sampaikan bahwa kami wartawan, ia segera masuk ke dalam dan sesaat kemudian mempersilahkan kami masuk. Ternyata kami menjumpai pimpinan partai politik ini. Setelah memperkenalkan diri, kami memulai wawancara. Beberapa pertanyaan diajukan oleh senior saya. Antara lain tentang latar belakang berdirinya partai, visi dan misi, target yang ingin dicapai, program-program yang akan dilakukan kalau menang dalam pemilihan umum, dan beberapa pertanyaan hambar dan basa-basi lainnya. 20 menit kemudian, kami selesai. Kami minta permisi untuk pulang. Saat kami akan keluar, gadis yang tadi menrima kami menyodorkan sebuah amplop dan diambil oleh senior saya. Ia mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum yang paling manis untuk si gadis. Lalu dengan wajah berseri kami meninggalkan kantor itu menuju warung kopi. "Begitu caranya mencari uang," senior saya mulai mendidik saya, sebagai wartawan magang. "Mereka sangat ingin dipublikasi sebagai orang yang baik dan punya tanggung jawab yang besar untuk membangun Aceh. Cara apapun akan mereka tempuh agar mereka dikenal. Padahal kamu tahu siapa beliau kan?" saya menggeleng kepala. "Dia yang mengambil uang.... bla... bla...bla..." Senior saya membeberkan beberapa kasus yang melibatkan pimpinan partai ini. "Jadi ia menerima kita agar kita mau mempublikasi partainya di koran beserta fotonya. Tujuanya agar ia dikenal sebagai orang baik oleh masyarakat. Makanya kita diberi uang. Kalau ada yang begitu lagi nanti, ambil saja!" senior saya sangat semangat. Saya diam saja seolah setuju dan mengerti.* Begitulah hidup. Terkadang kita membenci korupsi, menolak manipulasi, meneriakkan kejujuran, sambil kita menikmati sedikit dari hasil yang pernah dibukukan oleh koruptor. * Saya tidak sempat mempraktekkan ilmu dari senior saya karena dua bulan berikutnya saya melanjutkan pendidikan dan meninggalkan dunia jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H