[caption id="attachment_117283" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi (klik di foto untuk melihat sumbernya)"][/caption] Seorang guru besar dalam ilmu komunikasi dari sebuah Universitas bergengsi di Indonesia kerab tampil di sebuah TV swasta. Ia menjadi pengamat atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Bukan hanya masalah politik pemerintahan, namun juga masalah-masalah lain yang sifatnya lokal kedaerahan. Saya tidak tahu pasti, apakah ia diundang karena punya relasi khusus dengan TV atau karena "ilmu'nya. Kalau yang terakhir ini benar, sungguh hebat memang, ia begitu paham segala hal yang terjadi di negeri ini. Namun saya punya seorang teman, mahasiswa doktoral (S3) di mana sang Prof. Pengamat mengajar. Teman saya adalah mahasiswa bimbingannya. Sudah tiga tahun proses bimbingan disertasi dilakukan, ia belum juga selesai. Jangankan selesai, tanda-tanda akan selesai saja belum ada. Selidik punya selidik, ia dibimbing oleh seorang Prof. Pengamat yang kerap muncul di TV tersebut. "Beliau susah sekali dijumpai. Kita bisa buat janji, namun itu tidak pernah ditepati. Sebab tiba-tiba beliau mencancel atau bahkan membatalkan. Lumayan kalau dikasih tahu, sering pula tidak. Bahkan saya pernah pergi ke luar kota, empat jam naik bus untuk menjumpainya. Setiba di sana, beliau tidak ada. Ketika saya telpon beliau bilang sudah ke luar daerah." Cerita teman saya mengenai profesornya. Saya terbayang wajah si profesor, bagaimana ia dengan sangat "cerdas" mengkritik berbagai kebijakan pemerintah, mengkritik kinerja personal tertentu di pemerintahan dan atau memiliki hubungan dengan pemerintahan, menjatuhkan hukuman lebih awal kepada tersangka koruptor melalui media, mengiring opini publik kepada apa yang ia pikirkan. Ia sangat cerdas dan seolah bijak dan mengerti segalanya. Di TV ia menjadi orang yang sangat tahu, bahkan serba tahu segalanya. Persoalan politik, ekonomi, budaya, administrasi pemerintahan, hubungan luar negeri. Semua ia paham. Di TV ia nampak menjadi profesor yang "sempurna." Namun di balik itu, di kampus, ia adalah dosen yang menelantarkan mahasiswanya. Dosen yang kerap ingkar janji, yang menyia-nyiakan tanggung jawab dan beban akademik yang diberikan kepadanya. Ia adalah orang yang merasa "kuat" melakukan sesuatu, namun tidak bertanggung jawab menyelesaikannya. Ia lebih menikmati hidup sebagai pengamat dengan selalu tampil di TV dan komentar-komentarnya dikutip oleh koran dan majalah di seluruh Indoensia. Ia menikmati itu meskipun harus menelantarkan mahasiswanya. Inilah sang pelacur, yang menjual dirinya untuk kepuasan dan menelantarkan tanggung jawab akademiknya. Ia merasa sudah melakukan sesuatu untuk bangsa dengan menjadi pebicara di televisi. padahal apa yang ia bicarakan kebanyakan adalah omong kosong yang tidak berarti. Namun dengan sangat PD ia mengatakan apa yang ia pikirkan meskipun padahal semua orang tahu kalau dia tidak mengerti dengan persoalan. Tapi itu kepuasan. Kepuasan batin karena keterkenalan dan popularitas, dan, mungkin saja, keuasan material atass bayaran yang diberikan pihak televisi. Pelacur-pelacur sejenis ini terus bermunculan. Dari kampus, dari pemerintahan, dari politisi, dari kalangan militer, dokter, pengusaha dan lainnya. Mereka adalah orang yang mencari untung dengan jalan pintas dengan tidak memperhatikan etika dan norma yang ada. Mereka melakukan apapun demi keuntungan sendiri dan kelompoknya. Dan dari tangan-tangan inilah kita berharap kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Apa mungin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H