[caption id="attachment_143114" align="alignleft" width="300" caption="Asap Hitam yang membanggakan?"][/caption] Di jalan raya, Kita berhadapan dengan suara motor dan mobil yang memekakkan telinga. Beberapa motor dengan snegaja memasang knalpot yang mengeluarkan suara besar. Suara besar yang keluar dari knalpot menjadi sebuah kebanggaan dan prestise bagi pemiliknya. Dengan bangga pula ia mengenderainya dengan capat. Apa yang ia cari? popularitas? kepuasan? Inilah sebuah keanehan hidup, mendapatkan kepuasan dengan cara mengganngu kenyamanan. Suara kenalpot besar belum cukup, masih ada suara klakson besar. Mobil kecil memasang klakson yang lebih besar dari kenderaannya. Bahkan ada motor yang memakai klakson truck gandengan yang memekakkan telinga. Anehnya, pemiliknya tersenyum senang ketika melihat orang lain terkejut, apalagi sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Ia merasa bangga dengan kelakukannya yang sangat mengganggu kenyamanan. Masih ada yang lebih buruk. Sebuah kenderaan yang megeluarkan asap hitam pekat di belakangnya. Dengan senagat bangga ia memacu mobil/motornya dengan cepat dan menjadikan jalan di belakangnya gelap gulita. Ia merasa enjoy saja dengan keadaan tersebut dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di belakangnya. Terkadang ada yang ashma, ada yang jantungan, ada yang batuk dengan asap tersebut. Namun itulah keasyikan, merasa senang membuat orang susah. Pelayanan Publik [caption id="attachment_143117" align="alignleft" width="300" caption="Tidak mau antri"][/caption] Saat mebuat NPWP untuk saudara saya, sekelomok manusia berebutan mendapatkan nomor antrian. Pegawai pajak memberikan nomor antrian bukan berdasarkan orang yang datang, namun berdasarkan waktu. Saya yang datang jam 13.45 tidak mendapatkan nomor antrian satu, meskipun di sana hanya ada saya satu-satunya. Alasannya counter belum dibuka. Saat dibuka, sudah ada puluhan orang berada di sana. Dan mereka berebutan mendapatkan omor antrian. Saya mengundurkan diri dan tidak jadi membuat NPWP karena tidak mendapatkan nomor antrian, meskipun sudah datang duluan. Salings serobot juga di loket bus dan kereta api. Yang mendapatkan pelayanan bagus adalah yang besar dan uat fisik dan besar suara. Berteriak, membentak, mengahrdik siapa saja. Ia segera mendapatkan apa yang ia mau. Orang yang mengikuti aturan, berdiri di garis antrian, harus berdiri saja melihat pemandangan itu. Dan tidak jarang harus menunggu berjam-jem baru mendapatkan pelayanan. Fasilitas Publik Apakah ada WC yang bersih di tempat umum? Mungkin di bandara internasional dan beberapa tempat lainnya. Namun banyak WC yang jorok dan kotor, menjadikan kita yang sudah keelet sekalipun harus mengurungkan niat menggunakannya. Di Mall dan pusat hiburan, juga tidak ada mushalla yang represenatif yang meengakomodir kebutuhan banyak pelanggan muslim. Di sebuah mall di Jogja, ruang shalat diletakkan di tempat parkir, remang-remang, sempit dan berbau asap. Padahal, banyak pelanggan mereka adalah muslim, membutuhkan tempat nyaman untuk beribadah. Bukan hanya di mall dan tempat hiburan saja, di kantor pemerintahan, perusahaan dan yang sering juga terjadi di kampus-kampus, berbagai fasilitas mendasar manusia tidak tersedia dengan baik. Bahkan, lebih buruk lagi, di masjid-masid yang ada di hampir seluruh Indoensia, banyak fasilitas toilet yang kumuh dan tidak layak pakai. PAdahal untuk shalat yang sempurna jelas harus bersih dan suci. Ketertiban Pasar [caption id="attachment_143115" align="alignleft" width="274" caption="PKL di mana-mana"][/caption] Di Banda Aceh ada pedagang kaki lima yang berjualan di badan jalan. Saat ada penertiban yang dilakukan Satpol PP beberapa ktivis mengatakan pemerintah tidak punya menghargai kemanusiaan, tidak menghormati masyarakatnya. Ada benarnya. Pemerintah bertanggung jawab untuk menjadikan masyarakat mendapatkan pekerjaan. Namun masyarakat juga "bertanggung jawab" menjaga ketertiban. Tidak berjualan di badan jalan, di lorong-lorong di pasar, membuat kios kecil di depan pertokoan orang, membuat tenda di pinggir jalan, dll. Pasar yang menjadi tempat di mana banyak orang berkunjung untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, seharunya nyaman dan menyenangkan. Sebab ini dikunjungi hampir setiap hari. Namun ulah dari sebagai orang yang tidak mau menjaga ketertiban, pasar menjadi sangat sumpek dan padat. Pergi ke pasar harus dengan nawitu yang kuat dan tidak bisa "sambilan" saja. Kita harus "bertempur" dengan hukum kesemrautan pasar. Kapan Bisa Tertib? Tertib adalah sunnatullah, fitrah kemanusiaan. Pada dasarnya manusia ingin tertib dan hidup teratur. Manusia mencintai kebersihan dan kenyamanan. Namun terkadang keinginan berlebihan dan mendapatkan sesuatu lebih banyak dari orang lain menjadikan mereka tida tertib dan tidak menjadi kaidah dan norma bersama. Yang muncul adalah egoisme dan kesombongan. Merasa dirinya paling benar lalu melakukan apa saja demi "kebenran" tersebut. Kaban bisa tertib? Ini adalah persoalan budaya. Hukum, seperti apapaun dibuat, jika budaya tertib tidak ada dalam masyarakat, maka ia akan tetap semraut, seenaknya, suka-suka saya, yang penting saya sukses, dan berbagai prinsip yang lain. Budaya tertib mesti dibangun dengan pendidikan karakter dan keteladanan. Tidak mungkin mengajarkan tertib kepada anak yang yang orang tuanya saja menerobos lampu merah. Tidak mungkin mengajarkan tertib kepada murid yang gurunya saja merokok di dalam ruangan kelas. Sangat msutahil menjadikan masyarakat tertib jika pomimpinnya saja sering tidak disiplin. Tertibkanlah dirimu sendiri lalu tunjukkan itu pada orang lain. Dan satu saat bangsa kita akan tumbuh menjadi bangsa yang tertib. Itulah kehidupan yang mulia. Sumber foto: satu, dua, tiga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H