Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kenapa Kita Disebut Indon!

12 Februari 2010   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya mendengar mengenai ejekan orang Malaysia mengani orang Indonesia dengan ucapan ‘Indon.’ Meskipun saya tahu itu menyakitkan dan melecehkan harga dirisebagai sebuah bangsa, namun saya belum pernah mengalaminya sampai saya datang ke Penang awal tahun lalu. Ceritanya saat saya mau jalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan di Komtar, Penang.

Perjalanan ke Komtar ditempuh selama 20 menit dengan bus Rapid. Bus full AC yang sangat nyaman dan berjalan dengan tenang ini sangat jauh berbeda dengan angkutan umum di Banda Aceh, kota saya. Saya tidak tahu di kota lain di Indonesia. Setiap penumpang masuk dari depan dan memasukkan uang RM 1.40 ke dalam sebuah box yang ada dekat sopir. Sopir akan memberikan secarik kertas sebagai tiket. Saat saya duduk di bangku belakang sopir, sementara beberapa orang yang sekalian naik dengan saya langsung ke belakang duduk di permukaan yang lebih tinggi. Setengah perjalanan sayabaru lihat di dinding samping saya duduk ada logo nenek tua pegang tongkat. Saya lihat di sekitar saya, benar saja semuanya orang tua dan satu orang anak muda yang naik dengan menggunakan tongkat. Saya jadi malu dalam hati sebab kursi ini ternyata diperuntukkan kepada orang tua dan orang cacat saja.

Di salah satu dinding bus saya juga baca kalau tiket harus dipegang sampai yang bersangkutan tiba di tujuan. Kalau tiket hilang maka akan di finalti dengan RM 4. Namun beberapa orang yang naik, terutama orang tua saya lihat tidak memberikan uang RM 1.40, namun ia menunjukkan sebuah kartu dan hanya memasukkan uang beberapa sen. Mungkin mereka subsidi pemerintah. Ada juga yang hanya menunjukkan sebuah kartu kepada sopir dan mereka tidak bayar lagi. Mungkin mereka berlanggaganan. Saya sempat berfikir, kalau kartu seperti itu disediakan di Banda Aceh, pasti semua orang akan memilikinya. Sebab akan banyak perusahaan yang mampu membuat duplikasinya. Apalagi Sopir tidak peduli apakah kartu itu asli atau palsu.

Sepanjang kunjungan inilah saya melihat bagaimana beberapa orang di sana memandang orang Indonesia. Kejadiannya saat saya masuk ke sebuah toko batik.Saya mau beli pesanan istri yang katanya ada kain khas Malaysia yang lembut dan bagus untuk baju gamis. Toko itu dijaga oleh seorang warga Malaysia etnis Cina. Saat saya masuk dan melihat-lihat kain batik ia mengatakan; “kain batik ini asli made in Malaysia, buatan tangan bukan seperti batik Indonyang dibuat pakai mesin.” Saya langsung terbayang kata “indon" yang berkonotasi tidak baik. Dan itu membuat saya sedikit emosi dan ingin “membalas” atas kelakuan si penjaga toko tersebut. Lalu saya katakan, “ya sudah tidak jadi saya beli. Di Indonesia batik beginian sangat banyak dan jauh lebih murah. Datanglah ke Indonesia nanti saya bawa ke pasar Batik.” Lalu saya keluar dari toko itu dan pergi. Saya tidak yakin kata-kata saya dapat memberi pelajaran kepadanya, namun setidaknya sedikit kemarahan saya sudah terlampiaskan.

Pengalaman ke dua ketika saya mau beli jeruk. Saya menanyakan berapa harganya, penjualnya yang kebetulan juga etnis Cina mengatakan RM 6. Ia langsung mengambil jeruk dan mengisi ke dalam plastik. Saya bilang saya tidak mau kalau RM 6, saya mau RM 5. “Tidak boleh, ini jeruk bagus masih baru”. Seorang temannyayang lain mengatakan dari jauh, “kau kasihlah kat Indon tu.” Lagi-lagi saya emosi dan tersinggung. Saya bilang tidak jadi membeli jeruk sampai menjauhinya. Ia masih memanggil dan mengatakan boleh RM 5, saya tidak mau lagi. Yah… merajuk lah sedikit, kira-kira begitu.

Naas bagi saya saat pulang kembali ke apartemen. Saya naik bus Rapid sebagaimana saya pergi tadi. Saat antri di stasion saya sudah lihat sekelompok perempuan yang menyandang tas Vincci. Vincci adalah sepatu atau sandal made in Malaysia. Banyak yang mengatakan kalau kualitasnya bagus tapi harganya jauh lebih murah jika dibeli di Penang di bandingkan dibeli di Indonesia. Saya tahu juga mereka orang Indonesia dari bahasanya. Saya tidak tahu pasti asal mereka. Dari pakaian pasti bukan Aceh. Mereka semua bicara bahasa Indonesia. Ciri Indonesianya juga terlihat saat mereka naik ke dalam bus. Mereka naik berdesak-desakan dan ingin mendahului temannya sendiri. Orang lain “tersingkir” dan mengalah saja dan membiarkan mereka naik berebutan.

Sepanjang jalan, ketika seseorang hendak turunmereka menekan bel sekali saja. Bel akan berbunyi tiga kali dan pasti didengar oleh sopir karena tidak ada yang berbicara di dalam bus kecuali bisik-bisikan kecil. Setelah bel ditekan maka sopir akan mencari halte paling dekat dan berhenti, membuka pintu bus dan penumpang turun dengan tertib. Penumpang dari Indonesia ini, seperti juga saya akan turun di sebuah apartemen sebelum sampai rumah sakit Lam Wah Ee. Pada tikungan terakhir sebelum masuk ke jalan menunju rumah sakit, seorang penumpang menekan bel. Namun sopir tidak berhenti karena masih di tikungan dan tidak ada halte. Seorang mulai berteriak “kami turun di sini, kami turun di sini. Pak sopir, kami di sini.” Ia diikuti oleh beberapa yang lain sambil menekan bel. Berkali-kali bel berbunyi karena terus ditekan sambil meneriakkan “kami turun di sini”. Tapi sopir masih belum menghentikan busnya karena tidak ada posisi yang pas dan tidak ada halte. Namun para penumpang ini tidak tahu, mereka terus berteriak seperti anak kecil minta permen. Saya lihat sedikit perubahan pada wajah sopir saat meminggirkan busnya di tempat yang tidak ada halte, mungkin ia tidak tahan lagi dengan ulah penumpangnya, lalu berhenti di tengah jalan. Ketika menekan tombol pembuka pintu, sebuah kata keluar dari mulut si sopir, “Dasar Indon”. Jantung saya berdegup kencang, kalah telah 6-0!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun