Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jadi TKI atau di Kampung Sama Saja!

6 Mei 2010   02:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada saat konflik melanda Aceh, banyak pemuda yang kelaur dari kampung. Sebab hanya ada dua pulihan saat itu, keluar kampung atau masuk GAM. Bila tidak, misalnya anda memilih menjadi warga biasa yang tinggal menetap di kampung, itu sama saja dengan menyerahkan nyawa anda secara gratis pada kekejaman perang. Pihak aparat Indonesia akan menuduh anda sebagai GAM, pihak GAM akan menuduh anda sabagai mata-mata. Sama saja akhirnya, anda ditangkap, diintrogasi, dzalimi. Syukur kalau masih hidup, namun biasanya kalau itu terjadi anda akan pulang cengan tubuh cacat.

Hal seperti inilah yang dihindari banyak pemuda. Caranya antara lain dengan pergi mengaji ke pesantren.Saat konflik dulu, pesantren adalah tempat yang relatif aman dari gangguan para pihak yang berkonflik. Di sana mereka tinggal sambil belajar agama. Mereka hanya bisa berada di komplek pesantren dan tidak banyak keluar kecuali benar-benar diperlukan. Teungku pesantrenlah yang akan menyediakan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Mereka juga tidak bisa berharap banyak dari keluarga yang ditinggalkan karena pasti mereka juga sama menderita. Kedua adalah dengan merantau.

Merantau sebenarnya memang salah satu budaya masyarakat Aceh yang sudah memudar, terutama Aceh Selatan. Dulu, seingat saya, seorang laki-laki akan sangat malu melamar seorang gadis jika ia belum pernah merantau. Sebab itu artinya orang yang sangat tertinggal dan tidak mengenal dunia luar. Ketika konflik melanda Aceh, semangat ini kembali muncul. Namun alasannya bukan lagi gengsi sosial di depan gadis yang ingin dinikahi, namun ingin menyelamatkan diri dari konflik. Banyak pemuda keluar kampung dan pergi ke berbagai daerah. Orang kampung saya kebanyakan pergi ke Banda Aceh, Medan, Riau, Palembang, Jambi dan ke negeri jiran, Malaisya.

Adik sepupu saya pergi ke Negeri Jiran Malaysia tahun 2002. Tujuannya sama saja dengan kebanyakan pemuda yang lain, yaitu untuk menyelamatkan diri dari situasi konflik. Ia pergi dengan beberapa pemuda desa lainnya yang juga memiliki tujuan yang sama. Seingat saya, ia pergi dengan sangat mendadak dan tidak ada yang tahu. Bahkan kami semua mengira ia sudah diculik oleh GAM atau aparat Indonesia, seperti kebanyakan peristiwa yang lain. Namun kami sedikit lega setelah ia mengirimkan sebuah surat yang isinya menyatakan ia ada di kota lain dan dalam situasi aman. Ia berjanji akan memberikan infrmasi lebih banyak setelah ia mendapatkan pekerjaan.

Dari cerita ibunya, beberapa bulan kemudia ia mengirimmi surat mengatakan kalau ia bekerja sebagai buruh di perkebunan di Malaysia. Ia mendapatkan tempat tinggal yang disediakan pemilik kebun dan makanan yang tidak kurang. Beberapabulan selanjutnya ia mulai mengirimi ibunya uang meskipun tidak banyak. Namun ini menandakan kalau ia sudah memiliki pekerjaan yang baik dan menghasilkan uang. Setalah empat tahun ia tetap mengabarkan masalah pekerjaan pada ibunya dan selalu mengirimi uang pada ibunya.

Pasca tsunami dan perdamaian di Aceh, ia pulang ke Aceh karena sudah sedikit aman. Ia pulang karena rindu pada ibunya dan pada kampung halaman umumnya. Apalagi setelah pejanjian dalam banyak teman dari berbagai perantauan dan pengajian di pesantren juga pulang kampung. Jadinya mereka kembali berkumpul dan bercerita pengalaman masing-masing selama mengasingkan diri. Selama di kampung tentu saja ia kehabisan uang. Ia harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan biaya kembali ke Malaysia, tempat di mana ia bekerja.

Dua tahun yang lalu saat pulang kampung saya jumpa dengannya. Ia bercerita banyak mengani kehidupannya di sana. Dari pekerjaan yang melelahkan sepanjang hari, pengalaman bergaul dengan orang yang berbeda, cerita mengenaikota-kota di Malaysia di mana ia sesekali mengunjunginya, pacar-pacarnya selama bekerja di Malaysia, pertengkarannya, dan berbagai cerita lainnya. Satu hal yang saya tangkap dari ceritanya adalah ia sangat bangga dengan apa yang telah ia lakukan, dan itu adalah pengalaman terhebat yang ia dapatkan dalam hidupnya.

Lalu saya tanyakan, kalau demikian adanya kenapa ia kembali ke kampung dan tidak bekerja di Malaysia saja? Jawabannya mengejutkan saya. Katanya, “Bang, kalau di sini (kampung) saya bekerja sama kerasnya dengan di Malaysia, sama rajinnya dengan di Malaysia, sama disiplinnya dengan di sana, saya sangat yakin akan mendapatkan uang jauh lebih banyak dari bekerja di sana. Makanya, selama merantau saya sudah belajar arti kerja keras, disiplin, rajin dan penuh dedikasi. Dan ilmu itu akan saya praktekkan di sini. Di kampung kita tidak jauh dari keluarga, dapat menjadi bagian dari perkembangan masyarakat kita, dapat membantu tetangga dan handai taulan semuanya.

Dan kini ia bekerja di kampung. Bertani dengan dedikasi dan disiplin tinggi. Saya mendengar ia sudah menjadi salah seorang petani yang "diperhitungkan" di kampung karena berbagai kesuksesan usaha pertanian yang ia lakukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun