[caption id="attachment_86510" align="alignleft" width="300" caption="Sebuah bangunan yang disinyalir sebagai Makam Hamzah Fansuri berada di Ujoeng Pancu Aceh Besar. Foto ini saya ambil 3 th yg lalu. Sekarang makam ini sudah dipugar"][/caption] Hamzah nin asalnya Fansuri Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi Beroleh Khilafat ‘Ilmu yang ‘Ali Daripada ‘Abd Qadir Jailani Entah kenapa, tiba-tiba hari ini saya ingat Hamzah Fansuri, seorang sufi wahdatul wujud yang saya kagumi. Ia memberikan saya banyak petuah lewat ruba'i yang ditulisnya berabat yang lalu. Petuah tentang hidup di dunia, tentang hubungan dengan sesama, dan, tentu saja, seperti sufi-sifi lainnya, ia menjelaskan tentang hubungan dengan Tuhan. Dalam khazanah kajian sufisme di Indonesia para ahli tidak bisa mengabaikan peran Hamzah Fansuri dalam mengembangkan ajaran mistik Islam ini kepada masyarakat Nusantara. Pada abat XV ia mulai melakukan pengembaraan yang berbagai belahan dunia Islam untuk mendapatkan pencerahan ilmu ketuhanan. Ia mengarungi samudra menantang ombak untuk sampai ke tanah impian kunjungan semua ulama pada masanya, Makkah al-Mukarramah. Di sana ia memulai pengembaraan intelektual dengan menjumpai guru-guru spiritual yang mahsyur pada masanya. Dari Makkah ia beranjak ke Persia dan beberapa negara Asia Timur, dan tidak lupa ke Palestina, Masjidil Aqsa. Setelah pndi-pundi pengetahuannya dirasa cukup ia kembali ke Nusantara. Ada dua hal yang mencjadi ciri khas tasawuf Hamzah Fansuri,yaitu cara penyampaiannya dan kandungan isi tasawufnya. Hamzah adalah sufi pertama Nusantara yang menyampaikan ajarannya melalui ruba'i. Ruba'i adalah pantun empat baris dengan sajak AAAA, atau ABAB. Pola pantun yang dikembangkan HAmzah ini disinyalir sebagai cikal-bakal lahirnya pantun melayu modern hingga saat ini. Di sisi lain, pola ini pula yang dikembangkan penyair-penyair spiritual Indonesia sejak angkatan lama hingga penyair kontemporer. Ciri khas dalam ajaran adalah penekanan Hamzah pada ajaran Wahdatul Wujud. Membaca "trilogi" karya prosa Hamzah jelas menunjukkan bagaimana ia menempatkan manusia sebagai "bayang-bayang Tuhan" dalam wujud relatif. Ia mentamsilkan manusia dan Tuhan laksanakan laut dan gelombang. Sekilas nampak terpisah dan semua orang dapat membedakan, namun pada hakikatnya keduanya menyatu dan tidak mungkin terpisahkan. Pandangan demikian adalah khas pandangan sufi-sufi wahdatul wujud lama dalam sejarah sufisme Islam, seperti Ibnu 'Arabi, Al-Jili dan 'Ain al-Qudhat al-Hamdani. Bahkan kalau kita telisik lebih jauh, ajaran yang demikian sudah mulai berkembang pada abad kedua Hijriah yang dimulai oleh Abu Mansur al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bistami. Hamzah mengulang saja apa yang disampaikan oleh pendahulunya dengan penambahan konteks lokal baik dalam tamsilan maupun dalam metode penyampaiannya. Salah satu syair Hamzah yang sangat terkenal adalah Syair Perahu. Braginsky, sejarawan Nusantara asal Rusia menyebutkan ada banyak versi Syair ini yang terus berkembang setelah kematian Hamzah. Namun beberapa syair awalnya dipandang "asli" mentamsilkan kehidupan adalah sebuah perahu layar: Inilah gerangan suatu madah mengarangkan syair terlalu indah, membetuli jalan tempat berpindah, di sanalah i’tikat diperbetuli sudah Wahai muda kenali dirimu, ialah perahu tamsil tubuhmu, tiadalah berapa lama hidupmu, ke akhirat jua kekal diammu. Hai muda arif-budiman, hasilkan kemudi dengan pedoman, alat perahumu jua kerjakan, itulah jalan membetuli insan. (selengkapnya di sini) Masihkah perahu Hamzah Fansuri membawa kita kepada Tuhan? entahlah. Tentang makam Hamzah Fansuri lihat di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H