Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Minggu Hidup di Dusun Pedalaman Jawa (1)

3 Februari 2010   02:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua minggu terakhir bulan Januari 2010 yang mengkuti pelatihan penelitian etnografi dengan taman-teman dari Jurusan Antropologi UGM Jogjakarta. Pelatihan ini langsung menempatkan mahasiswa di lapangan selama dua minggu. Kali ini, lapangan yang dipilih adalah dua kecamatan di Kab. Pekalongan Jawa Tengah, yaitu Kec. Lebakbarang dan Kec. Petungkroyono. Kedua kecamatan ini berada dalam hutan dan memiliki jalan akases yang agak sulit ke kota. Tingkat kesulitannya berbeda-beda. Sebagian besar dusun di Kec. Lebak Barang jauh lebih mudah diakses sarana transportasi dibandingkan dengan kebanyakan dusun di Petungkriyono. Saya sendiri dikirim ke dusun Wonodadi, Kec. Petungkriyono bersama dengan seorang mahasiswa Antropologi UGM semester lima.

Perjalanan Panjang dan Melelahkan

Perjalanan ke Wonodadi kami mulai dari Jogja dengan bus selama enam jam. Kami berhenti di Simpang Durian Kec. Karanganyar, Pekalongan. Dari sana kami naik “doplak”, sebutan masyarakat di sana untuk minibus pickup, menuju lokasi. Perjalanan dengan doplak menghabiskan waktu tiga jam melewati perkampungan dan perkebunan. Setelah satu jam perjalanan mulai mendaki gunung dengan jurang di sebelah kanan dan tebing curam di sebelah kiri. Beberapa kali kami terasa sampai ke puncak gunung yang diselimuti kabut dan samar-samar melihat tumpukan-tumpuan pemukiman di lereng gunung yang lain. Tumpukan pemukiman itu adalah dusun-dusun yang dihuni oleh masyarakat. Di sekitarnya terlihat hutan belantara yang hijau.

Ketika jalan sudah berakhir dan tidak bisa ditempuh lagi dengan doplak, saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 2 km. Perjalanan ini harus menempuh sebuah turunan curam dan tanjakan terjal. Turunan ini basah dan becek karena terus diguyur hujan. Di sisi kiri saya terlihat persawahan masyarakat yang bertingkat dan membentang luas sampai ke lembah. Sementara di sisi kanan beberapa buah air terjun kecil menghiasi jalan. Air tersebut mengalir di sisi jalan bahkan banyak yang masuk ke area jalan hingga jalan menjadi sangat basah. Belakangan saya ketahui jalan itu adalah jalan yang dibuat sendiri oleh masyarakat secara kerja sama. Mereka butuh waktu empat tahun untuk menyelesaikan jalan 2 km tersebut. Saya membutuhkan istirahat tiga kali sebelum sampai ke dusun. Olah raga yang kurang dan tidak terbiasa mungkin menjadi penyebabnya. Seorang laki-laki yang melihat saya kelelahan saat mendaki jalan yang menuju ke dusun menawarkan bantuannya. Ia mengangkat tas pakaian saya dan membawa kami ke rumah kepala Dusun Wonodadi.

Wonodadi, Dusun Yang Baru Merdeka

Dusun Wonodadi adalah sebuah dusun di Desa Songowedi Kecamatan Petungkriyono Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Dusun ini dipimpin oleh seorang laki-laki paruh baya yang dipilih oleh masyarakat. Namun karena ia tidak memiliki ijazah SMP, sebagai persyaratan untuk menjadi kepala dusun, maka secara administratif pemerintahan SK kepala dusun dibuat atas nama anak laki-lakinya. Di dusun ini jarang sekali ada orang yang berusia paruh baya memiliki ijazah. Bahkan banyak masyarakatnya tidak tamat SD. Dua bulan yang lalu ada program dari UGM Jogja melaksanakan sekolah buta aksara dan banyak warga yang mengaku ikut program itu. Sayangnya setelah program itu berakhir, berakhir pula kegiatan baca tulis dalam masyarakat.

Ini semua terjadi karena Wonodadi baru saja merdeka dari isolasi kehidupan. Dibuatnya jalan oleh masyarakat empat tahun yang lalu mengawali terbukanya akses ke Wonodadi. Program PNPM membantu membuat jalan setapak yang menanjak dari Wonodadi ke kelurahan. Pemerintah membantu membuat sebuah jembatan yang kokoh sehingga pada “musim terang”, istilah masyarakat untuk musim kemarau, mobil tertentu bisa masuk ke Wonodadi. Sebuah turbin pembangkit listrik tenaga air diletakkan di dekat jembatan. Turbin inilah yang menjadikan kehidupan malam masyaraat Wonodadi lebih terang. Dan itu baru terjadi setahun terakhir. Jembatan dan turbin listrik adalah awal “kemerdekaan” masyarakat. Saat ini mereka sudah bisa menenton televisi dan membuat rumah dari semen. Sebuah masjid beton yang nampak kokoh berdiri di tengah dusun.

Hidup dari Alam

Setiap pagi laki-laki dan perempuan berjalan ke arah Selatan Dusun. Di sanalah gunung di mana masyarakat mencari rizki untuk kehidupan mereka. Sebuah gunung yang berhutan lebat seolah sebuah supermarket yang menyedikan berbagai keperluan hidup masyarakat. Di sana tumbuh ratusan pohon aren, kopi, dan cengkeh. Aren diambil oleh masyarakat setiap hari yang kemudian diolah menjadi gula jawa. Sementara kopi dan cengkeh hanya dipanen sekali dalam setahun ketika sampai musimnya. Di lereng-lereng gunung masyarakat menanam padi sepanjang tahun. Sampai saat saya berada di sana mereka belum pernah merasakan musim kering dan gagal penen karena ketersediaan air yang cukup. Semua padi disimpan dan dikonsumsi sendiri. Menjual padi sebuah hal yang tabu bagi masyarakat. Itu hanya dilakukan kalau mereka benar-benar tidak memiliki sesuatu yang lain untuk dimakan.

Masyarakat sangat tergantung dengan hasil yang diberikan alam. Aren, kopi dan cengkeh adalah tanaman yang tidak perlu perawatan dan pemupukan. Ia tumbuh sendiri dengan subur. Masyarakat hanya mebersihkan di bagian bawahnya sesekali. Beberapa warga yang saya temui bahkan tidak mengetahui siapa yang menanam kopi dan cengkeh di kebunnya. Sejak ia lahir kopi dan cengkeh itu sudah ada di sana dan dia hanya mengambilnya. Ia juga tidak pernah bertanya pada Bapaknya, apakah ia pernah menanam tanaman tersebut. Kenyataannya saat ini pohon-pohon itulah yang menghidupi mereka.

Satu-satunya sumber ekonomi yang terencana adalah peternakan sapi. Hampir semua masyarakat memelihara sapi di kebunnya. Sapi-sapi itu dikurung saja dan tidak dilepaskan. Saban hari mereka mencari rumput untuk makanan sapi. Rumput makanan sapi dicarikan oleh perempuan dan laki-laki. Perempuan yang menggendong seikat besar rumput makanan sapi di punggungnya adalah hal yang biasa dan lumarah saja di Wonodadi. Ini dilakukan di lereng-lereng terjal dan tanjakan atau turunan.

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun