[caption id="attachment_108794" align="alignleft" width="300" caption="Mesjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh. Saksi bisu perjalanan sejarah Aceh"][/caption] Pada tahun 2008 yang lalu PT. Mercer Indonesia membuat sebuah survey tentang kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia. Hasilnya, kota Balikpapan adalah juaranya. Hanya berselisih tujuh poin dengan Jakarta yang duduk di peringkat kedua. Sayangnya, dalam survey tersebut tidak memasukkan Banda Aceh. Saya tidak tahu pasti apakah karena Banda Aceh masih tergolong kota kecil yang tidak dimasukkan dalam Survey atau dianggap dapat diwakili oleh kota Medan, karena sama-sama berada di bagian Barat Indonesia. Karena saya tidak pernah ke Balikpapan dan kebetulan juga tidak punya teman di sana, saya coba tanyakan Google, bagaimana biaya hidup di kota Provinsi Kalimantan Timur tesebut. Hasilnya, ternyata tidak membuat saya terkejut. Sebuah blog yang ditulis oleh Mohamad Adriyanto menceritakan sedikit biaya hidup di kota Kalimantan dan Samarinda yang diasumsikan sama:
".....harga nasi goreng standar di dekat rumah saya di kawasan Loa Bakung Samarinda adalah Rp 8000 per piring. Nasi Padang sederhana dengan sepotong ayam plus minuman teh, paling murah Rp 12 ribu. Angkot? Rp 3500 sekali trip. Sayur bayam 1 ikat kecil (sebesar jempol dan telunjuk yang dilingkarkan) Rp 1000-1500. Telur ayam mentah Rp 1000-1500 per butir. Pisang goreng kecil normal Rp 750-1000 per potong..."
Saya mengatakan tidak terkejut karena biaya yang sama juga berlaku di Aceh, bahkan lebih mahal. Sebungkus nasi dengan sepotong ikan plus menuman tidak kurang dari Rp. 10.000. Segelas juice buah yang lebih banyak es dari pada juice-nya harus ditebus Rp. 7.000. Kalau mau sedikit enak, maka nasi kari kambing maka anda harus merogoh kocek minimal Rp. 20.000. Apalagi kalau makan ikar bakar yang ada di pinggiran jalan atau di rumah makan khas daerah tertentu, Aceh, Padang, Jawa dan lain sebagainya. Maka siap-siaplah dengan segepok uang atau anda akan kacewa. Saya sampai terkaget-kaget ketika pertama kali pergi ke Jogja karta dan makan di sebuah warung nasi pinggir jalan. Saya bersama dengan tiga orang teman makan nasi dengan ikan dan telor plus kerupuk dan minum juice hanya diminta bayar Rp. 14.000 semuanya. Kalau saya kira-kira, dengan makan seperti itu di Banda Aceh, maka saya harus bayar tidak kurang dari Rp. 40.000. demikian juga ketika kami makan rame-rame di restoran Pondok Cabe Jogjakarta. Kami ada 21 orang dan makan malam di sana. Bos saya sudah mengeluarkan uang Rp. 2.000.000, sebab ia bayangkan harga makan di Aceh. ternyata setelah setelah dihitung oleh kasirnya, kami hanya bayar Rp. 470.000. Bos saya kaget dan meminta kasir menghitung ulang. Si kasir ketakutan, dikira kami merasa sangat mahal dengan harga tersebut. Padahal justru sebaliknya, harga itu tidak akan mungkin diperolah di Aceh. Ekses Bule NGO [caption id="attachment_108798" align="alignleft" width="300" caption="Peta Kota Banda Aceh"][/caption] Mahalnya biaya hidup di Aceh bukan hanya untuk urusan makanan. Yang lebih nampak adalah biaya sewa rumah. Seorang teman saya yang sedang kuliah di Jakarta mengatakan membayar sewa rumah yang memiliki dua kamar sekitar Rp. 4 jutaan setahun. Di Jogja, sebuah rumah dengan tiga kamar juga dibayar hampir sama. Kalau di Banda Aceh pasca tsunami, harga rumah tipe 36 dengan dua kamar harus dibayar Rp. 7-10 juta pertahun, untuk rumah agak dekat dengan pusat kota, atau Rp. 2-4 juta jika jauh dari kota.Untuk rumah keluarga dengan banyak kamar dan fasilitas, maka anda bisa kalikan sendiri. Harga demikian adalah fenomena baru di Banda Aceh, khususnya pasca tsunami. Pada awal-awal tsunami orang bule yang datang dengan niat membantu masyarakat Aceh yang menjadi korban, mau mengeluarkan uang berapa saja untuk sewa rumah. Sebuah rumah besar dengan 7-12 kamar, memiliki garasi dan halaman besar bisa disewa ratusan juta. Bahkan saya dengar IFRC yang menjadi kantor pusat seluruh palang merah asing di Banda Aceh pada tahun 2006 menyewa sebuah rumah Rp. 1 M pertahun. Begitu pula untuk rumah-rumah yang digunakan untuk penginapan mereka. Harganya selalu di atas Rp. 100 juta. Bukan hanya itu, mereka juga membayat mahal untuk makanan dan pelayanan transportasi. Tanpa dimintapun, ongkos becak yang seharusnya Rp. 5.000 dibayar Rp. 20.000. Harga makanan Rp. 6.000, dibayar Rp. 10.000. Praktek seperti ini bagi mereka tidak masalah. Sebab selama bekerja di Aceh orang bule dibayar dengan dolar dan mengikuti bayaran di negeri mereka. Jadi apalah artinya lembaran rupiah dibandingkan dengan dolar, poundsterling, yen, dan lainnya. Jadi bagi mereka itu adalah bagian dari usaha membantu rakyat Aceh yang kena musibah. Nah, celakanya, infiltrasinya jauh dari hanya sekedar apa yang mereka lakukan saat itu. Sampai sekarang harga makanan, biaya sewa rumah, sewa kenderaan, harga perabotan rumah tangga dan lain sebagainya tetap tidak turun meskipun mereka, para bule itu, sudah pulang ke negerinya. Kenaikan harga yang mereka rangsang sekarang masih bertahan dan saya tidak tahu apakah masih ada kemungkinan untuk turun lagi. Kenyataannya, biaya hidup di Banda Aceh masih sangat tinggi dan masih berada di atas Balik Papan, yang katanya kota termahal di Indonesia. Nah, kalau begitu, apakah Banda Aceh menjadi kota termahal? mudah-mudahan ada survey yang membuktikan. Atau pengalaman kompasianers yang pernah berkunjung ke Aceh akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H