"Aku seorang sufi" "Apa kamu seorang muslim?" "Bukan, tapi aku suka sufi, dan aku bermujahadah dan riadhah" Begitulah percakapan singkatku dengan teman ini. Ia orang Veneto, provinsi yang beribukota Venezia. Minggu lalu ia menyewa kamar satu apartemen denganku. Pada malam pertama ia menginap di sana kami berbincang banyak hal, termasuk masalah sufisme. Di sanalah aku tahu kalau ia menyukai sufi. Semula aku tidak percaya. Bagaimana mungkin di kota Milan yang materialitis ini ada seorang laki-laki Italia mengaku pengagum Sufi? Bagaimana mungkin dalam budaya hidup yang nafsi-nafsi ini ada seorang pria yang menyukai spiritualitas? Lebih aneh lagi, bagaimana mungkin ada orang yang mengatakan diri sufi namun ia bukan seorang Muslim? Tapi aku tidak bisa menanyakan ini padanya. Aku justru ingin tahu lebih lanjut apa yang ia pikirkan tentang sufi. Ia bercerita bagaimana ia sampai ke jalan sufisme. "Aku sudah 38 tahun, sudah pernah menikah meskipun hanya tiga bulan. Perkenalanku dengan sufi terjadi lima tahun yang lalu. Setelah pernikahanku bubar aku mengalami goncangan yang besar. Aku menemukan seorang teman yang menunjukkan jalan sufi kepadaku. Semula aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Namun katanya, engkau tidak rugi kalau mencoba. Aku setuju, dan bergabung dengan komunitas sufi di Milan. Sejak saat itu, aku adalah seorang sufi, meskipun aku bukan seorang Muslim." Tidak hanya bercerita, ia juga mengambli leptop. Menunjukkan kepadaku foto-foto kunjungannya ke Cyprus, "markas besar" Tarekat Naqsabandi-Haqqani. Ia juga menujukkan fotonya bersama beberapa "sohbet" dari berbagai negera. Ia mengatakan sudah tiga kali pergi ke Cyprus dan berjumpa dengan Syaikh tertinggi Naqsabandi Haqqani. Sekarangpun, di Milan, ia secara rutin setiap kamis malam mengikuti zikir tarekat di salah satu rumah jamaah Naqsabandi. Masih belum cukup, ia menunjukkan koleksi rekaman zikir yang pernah diikutinya di berbagai negara. Italia, Cyprus, London, Paris, dan terakhir di -aku lupa nama kotanya-, di Amerika. Ia mendemonstrasikan di hadapanku beberapa surat dalam Al-Qur'an yang sudah dihafalnya. Tapi dia mengaku masih belum bisa membaca al-Qur'an dan belum bisa shalat. "Apa kamu bisa azan?" "Pasti!" jawabku. "Coba!" Aku mengumandangkan azan di dapur kami yang tidak terlalu luas itu. Meskipun bukan dengan suara keras, namun aku tetap menjaga irama azan khas Indonesia tidak hilang. Aku mendengar ia menjawab semua lafaz azanku dengan benar. Begitu selesai, ia mengatakan: "Incredible...inceredibile..." luar biasa! Ia mengatakan irama itu belum pernah didengarnya. Ia biasanya mendengar azan yang datar-datar saja, tidak mengalun. Aku melihat ia seperti hendak menangis tapi menahan tangisan itu. Malam itu, dia juga menujnukkan sebuah mandolin khas Napoli dan memainkannya dengan sangat baik. Mandolin adalah alat musik yang sering juga dipakai oleh pengikut Naqsabandi Haqqani untuk mengiringi zikir mereka selain Rebana (aceh: rapai). Ia memainkan Mandolin dan mebaca zikir tarekat yang sudah dihafalnya dengan sangat baik. Aku sungguh terperangah dengan semua yang terjadi malam itu! Incredibile! Sayangnya ia hanya tinggal di apartemen itu dua malam saja. Ia punya sedikit masalah dengan pemilik apartemen dan memilih untuk pindah. Tapi aku belajar satu hal. Jauh berjalan banyak dilihat. Perbedaan, keunikan, keanehan, dan pluralitas kehidupan semakin banyak tersaji. Dunia ini nampak semakin luas dan indah jika kita bisa memahami perbedaan-perbedaan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H