[caption id="attachment_101246" align="alignleft" width="269" caption="ilustrasi"][/caption] Tahun 2001, saat masih mahasiswa, saya dengan seorang teman, Ardi, menghadiri sebuah undangan pertemuan junalis kampus di Jember, Jawa Timur. Sebagai sesama jurnalis kampus kami diundang bersama teman yang lain untuk mempresentasikan perkembangan media kampus kami kepada teman-teman lain di Indonesia. Demikian juga dari berbagai kampus lainnya. Kebetulan saya dan Ardi yang punya waktu dan bersedia mengambil resiko perjalanan. Sekedar kilas balik informasi, tahun 2001 adalah waktu di mana perjalanan Aceh-Medan Sumatera Utara via bus adalah perjalanan hidup mati. Banyak yang selamat di jalan, namun banyak juga yang selamat jalan untuk selamanya. Jangan tanya kenapa, itu kisah pilu negeri kami masa lalu. Kami menumpang bus kelas ekonomi dari Banda Aceh menuju Jakarta. Sebab saya hanya mengantongi uang Rp. 500 ribu, demikian juga teman saya. Saya mendapatkan uang bantuan dari Kantor Gubernur Aceh yang saat itu di bawah pimpinan Abdullah Puteh. Saya menandatangani kuitansi Rp. 1.200 000, dan hanya mebawa pulang Rp. 500 ribu. Yah... maklum saja. Ongkos bus ke Jakarta saat itu Rp. 210 ribu. Tapi kami nekat saja, dengan doa dan tawakkal kami yakin jalan kami akan lancar. Cerita ini bermula saat kami tiba diperbatasan Aceh dengan Sumatera Utara. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sekelompok Polisi berseragam lengkap, di depan kantor mereka yang remang-remang meminta bus dihentikan dan semua penumpang diturunkan. Tidak ada yang aneh, sebab ini adalah pemeriksanan yang kesekian kalinya sepanjang perjalanan kami yang sudah tujuh jam. Beberapa anggota polisi naik ke dalam bus dan mulai memeriksa KTP penumpang dan barang-barang yang dimasukkan dalam Bus. Beberapa yang lain menunggu di bawah mengelilingi bus, dan melihat-lihat barang di dalam bagasi. Tiba-tiba... srreekkk..., terdengar sebuah suara sesuatu meluncur di lantai bus. Dua polisi yang ada di dalam bus melihat ke bawah tempat duduk penumpang. Tiba-tiba mereka menemukan sebuah bungkusan seukuran bantal kursi di ruang tamu. Bungkusan itu dimasukkan ke dalam sebuah kotak dan diikat dengan sangat rapi. Buru-buru seorang polisi mengambilnya dan lalu membawa turun. Hanya berselang menit, sebuah suara dari bawah mubil berteriak, "turun.... turun... semua penumpang turun...." Suara itu sangat keras dan ganas, lebish keras dari suara Sueharto di FIlm PKI. Di bawah, kami dibariskan. Sebelum ditanyai apa-apa setiap laki-laki mendapatkan "salaman" pembukaan. Alhamdulillah saya hanya dapat dua hok kanan di perut dan satu tendangan di pantat. Teman saya, saya tahunya belakangan, mendapatkan beberapa pukulan di perut dan dua di pipi. Namun ada yang lebih dahsyat lagi, seorang laki-laki yang duduk persis di belakang kami. Dia dipukul, ditampar, ditendang, uang dalam dompetnya diambil, sebuah rantai emas di lehernya dirampas. Setiap pukulan dilakukan untuk sebuah jawaban dari pertanyaan: "Siapa pemilik ganja itu?" ternyata bungkusan tersebut berisi ganja 3,5 kg. Setelah tidk sukses di pinggir jalan, semua penumpang dibawa ke dalam kompleks kantor polisi. KAmi dipanggil dua-dua orang ke dalam ruangan ntuk diselidiki. Sementara yang lain menunggu di halaman sambil dag-dig-dug membayangkan nasib. Kami menunggu tanpa bicara. Alhamdulillah... setelah dua ham menunggu polisi mengatakan pemilik ganja sudah ditemukan. Seorang ibu dengan seorang anak lima tahun yang ikut bersamanya. Namun kami tetap belum boleh melanjutkan perjalanan. Saya tidak tahu kenapa. Seorang polisi muda setengah mabok, bermata merah, menghampiri kami. Ia nampak lebih ramah dan sepertinya mau diajak ngobrol. Saya ingat kalau dia tadi termasuk salah seorang yang memukul kami. Di depan kami yang duduk di halaman berbatu kerikil ia mulai bercerita tentang susahnya untuk menjadi polisi. "Kita harus lewat beberapa tas fisik yang berat. Jadi polisi itu harus kuat fisik dan mental, kalau ngak ngak bisa." Lalau dia menyebutkan beberapa jenis tes yang dilakukan sebelum akhirnya ia terpilih menjadi seorang polisi. Diantaranya push up dengan dua jari, bergerak kedepan dengan kekuatan siku, sit-up, jalan jongkok, dan beberapa tes lainnya. Dan model tes ini pula katanya yang dipakai waktu latihan. Tiba-tiba seorang penumpang bersuara, setengah bertanya. "Mana mungkin push up dengan dua jari bang?" Polisi terkejut, saya juga. Beraninya teman ini bertanya. Tiba-tiba polisi setengah mabok itu menjawab. "Iya, bisa donk. Nih, coba lihat" katanya, sambil melakukan push up dengan dua jari beberapa kali. "Ooo... kalu itu memang mudah, tapi kalau jalan dengan siku kan tidak mungkin?" orang tadi bertanya lagi. "Kenapa ngak mungkin? lihat ni" kata polisi itu lagi sambil berjalan dengan siku keliling halaman. Saat kembali tiba di hadapan kami saya lihat siku polisi itu berdarah. Namun si penumpang ini tidak peduli, dia tersu bertanya dan polisi itu menjawab dan melakukannya. Sampai kami diminta aik bus kembali. Saat itu sudah jam tiga pagi. Setelah bus berjalan, sopir bilang: "Apa yang kalian lakukan sama polisi tadi?" hahaha... kami tertawa hampir serempak. "Mantap..... satu sama" kata sopir. *** Saat engkau terlena dengan pujian dan sanjungan,pelan-pelan engkau membunuh dirimu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H