Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dari Mana Gula Jawa?

22 Mei 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wonodadi (seperti saya tulis di sini) adalah sebuah dusun yang terletak di pedalaman Jawa Tengah. Saya berkesempatan mengunjunginya pada awal tahun lalu dalam rangka belajar metodologi penelitian etnografi dengan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sebagai masyarakat yang sangat jauh dari kota, berada di dataran tinggi, di tengah hutan pinus, tidak ada akses transportasi yang baik, menjadikan kehidupan mereka sangat sederhana. Pun demikian, kesederhanaan ini bukan menjadi sebuah keluhan, namun memunculkan sebuah semangat yang menjadi teladan. [caption id="attachment_147216" align="alignnone" width="500" caption="Dukuh Wonodadi dilihat dari atas (Sumber koleksi pribadi)"][/caption] Salah satu semangat terihat dari pekerjaan mereka. Semua masyarakat di Wonodadi adalah petani. Selain menanam padi di sawah dan memetik kopi, mereka juga memelihara beberapa ekor sapi dan kambing. Namun semua mereka adalah petani aren. Karena itu semua masyarakat di sana memiliki kebun yang ditumbuhi pohon aren. [caption id="attachment_147218" align="alignnone" width="500" caption="Seorang warga yang baru saja pulang memotong rumput untuk pakan ternak (Sumber: dokumentasi pribadi)"][/caption] Menurut beberapa warga, pohon aren tidak pernah ditanam. Ia hidup sendiri sesukanya. Malah terkadang kita harus mencabut dan mengelola pertumbuhannya. Sebab kalau tidak, bisa-bisa pohon ini akan memenuhi semua lahan di sana, karena pertumbuhannya sangat banyak. Oleh sebab itu, jika ia tumbuh di tempat-tempat yang tidak tepat, pohon itu akan dicabut. Hanya di gunung saja yang dibiarkan pohon aren tumbuh berkembang. [caption id="attachment_147219" align="alignnone" width="500" caption="Pohon Aren dan petani (Dok. Pribadi)"][/caption] Pohon aren yang sudah tumbuh besar akan mengeluarkan buah. Buahnya akan menjadi petunjuk apakah ia sudah layak diambil airnya atau tidak. Menurut petani di sana, pohon aren akan berbuah sepanjang tahun. Meskipun ada saat-saat tidak berbuah, namun itu sangat jarang terjadi. Apalagi mereka memiliki banyak batang aren, sehingga kalau ada yang tidak berbuah mereka bisa mengambil yang lainnya. Dan inilah yang mereka lakukan saban hari. Pagi dan petang. [caption id="attachment_147223" align="alignnone" width="500" caption="Membawa pulang air nira (dok. pribadi)"][/caption] Buah aren yang sudah matang akan dipotong. Caranya, petani akan niak ke atas, mengoyang-goyang tandannya, lalu memotong. Di ujung tandan yang terpotong dipasang bambu yang khusus dibuat untuk menampung air nira. Mereka menyebutnya bumbung. Biasanya petani melakukan itu pada pagi dan sore hari. Jadi ada waktu sekitar 12 jam untuk pohon mengeluarkan air nira hingga bumbung penuh. Proses pengambilan ini disebut nderes. [caption id="attachment_147225" align="alignnone" width="500" caption="Ibu Bau (Istri kepala dusun) memasak air aren (dok. pribadi)"][/caption] Air nira dibawa pulang dan dimasak di atas tungku. Semua rumah yang saya masuki di dapurnya terdapat sebuah tungku yang dipakai untuk memasak air nira menjadi aren. Tungku itu terbuat dari tanah. Sebuah tungku memiliki tiga lobang di bagian atas. Satu lobang yang paling besar dipakai untuk memasak aren, yang lain untuk memasak keperluan konsumsi harian. Air nira dimasak selama enam atau tujuh jam hingga mengental berwarna coklat keemasan. Air tesebut tidak dicampur dengan apapun juga, alias murni air nira. [caption id="attachment_147227" align="alignnone" width="500" caption="Air nira yang sudah di masak menjadi coklat keemasan dan siap dicetak (dok. pribadi)"][/caption] Air yang sudah mengental dimasukkan dalam cetakan. Cetakan yang diapakai oleh masyarakat wonodadi adalah cetakan kayu yang lobangnya bulat-bulat. mereka membuat demikian untuk mudah menghitungnya. Enam buah sama dengan satu kilogram. Hanya butuh beberapa menit saja air kental coklat keemasan tersebut akan mengering dan menjadi gula aren atau sering juga disebut gula jawa. [caption id="attachment_147234" align="alignnone" width="500" caption="Memasukkan dalam cetakan (dok. Pribadi)"][/caption] Gula aren akan dijual kepada pedagang yang datang ke sama dua kali dalam seminggu. Terkadang mereka juga menukar gula aren dengan kebutuhan harian, seperti iakan asin, garam, gula dan lain sebagainya. Sistim perdagangan barter masih berlaku dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. [caption id="attachment_147211" align="alignnone" width="300" caption="Anak-anak penerus sejarah Wonodadi (dok. pribadi)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun