Dalam sebuah perjalanan Jogjakarta-Jakarta, di sisi saya duduk seorang bapak dengan baju jas hitam. Rambut dan sepatunya sama-sama disemir hitam mengkilat dan nampak licin. Mungkin ini salah satu trik agar lalat tidak hinggap. Sebab jika ia berani hinggap pasti akan terpeleset dan jatuh, sebab sangat licin. Perutnya nampak agak besar hingga pahanya seolah memangku perut tersebut. Ia duduk di kursi A, tepat di pinggir jendela. Sementara saya di B, persis di sebelah kanannya. Bangku yang kecil di pesawat membuat lengan kiri saya dan lengan kanannya beradu pada sebuah sandaran tangan kursi pesawat. Kami saling menatap dan tersenyum.
Saya memberanikan diri menyapa, menanyakan tujuan perjalanannya. Ternyata ia mau pergi ke Medan, namun akan singgah sebentar di Jakarta untuk sebuah urusan. Ia bukan orang Medan, tapi Jawa Timur, hanya saja ia bekerja di Medan. Saya memberanikan diri bertanya lebih jauh, apakah ia bekerja swasta atau pemerintah. Ternyata dia adalah pejabat di Departemen Kehutanan. Dia baru dua bulan ditugaskan di Medan. Sebelumnya ia bekerja di Jakarta di kantor Menteri Kehutanan. Ia juga sedikit menjelaskan tentang keluarganya. Penjelasannya yang panjang lebar dan lengkap membuat saya tidak canggung untuk bercakap-cakap lebih banyak tentang diri dan pandangannya mengenai berbagai masalah kehutanan di Indonesia.
Saya mulai dengan mengatakan kalau saya baru pulang dari Jawa Tengah, tepatnya di Kab. Pekalongan. Sudah dua minggu belakangan saya tinggal di sebuah rumah penduduk di pedalaman Jawa Tengah. Rumah tersebut berada di dalam hutan. Butuh waktu 4 jam naik L300 pickup untuk sampai di sana, plus 2 jam jalan kaki dengan mendaki dan menuruni gunung yang terjal dan becek. Di sana, dalam hutan di mana saya tinggal, banyak dusun-dusun yang berada di berbagai lokasi di puncak dan lereng gunung. Bahkan hapir seluruh desa yang ada di kecamatan itu berada di pedalaman hutan pinus milik Perhutani. Pertanyaan saya, bagaimana status hutan itu? Sebab kalau di Aceh banyak masyarakat yang diusir oleh pemerintah dari kampung mereka karena dianggap tinggal di hutan lindung. Meskipun masyarakat di sana jauh lebih duluan ada dibandingkan dengan status hutan tersebut.
Si Bapak mengatakan kalau saat ini seluruh hutan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur di dikelola oleh PT. Perhutani. Merekalah yang memonopoli sumberdaya hutan yang ada di Jawa. Di Pekalongan, Perhutani menanam pohon pinus. Jadinya, hutan di sana kebanyakan adalah hutan pinus. Nah, menurut si Bapak, penduduk yang ada di sana adalah illegal. Mereka tidak berhak menempati daerah hutan pinus yang dikelola oleh Perhutani. Sebab seluruh hutan Perhutani adalah daerah terlarang untuk domisili penduduk.
Saya berusaha membela penduduk. Saya katakan opini saya kalau penduduk di sana tinggal secara sah dan legal. Buktinya mereka memiliki pemerintahan yang sah dan beberapa fasilitas yang diberikan pemerintah, seperti sebuah jembatan dan sebuah turbin pembangkit listrik tenaga air. Apalagi mereka sudah ada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka. Buktinya, ada beberapa kuburan tua di bagian uatra dusun. Ini menunjukkan mereka adalah penduduk sah di sana. Perhutanilah yang mencaplok tanah mereka. Bahkan belakangan lahan pertanian mereka menjadi sempit karena banyak lahan diklaim sebagai milik perhutani. Lebih sedih lagi mereka harus membayar pajak kepada Perhutani karena menanam kopi di lahan Perhutani.
Si Bapak mengemukakan argumennya. Asal muasal penduduk Jawa pedalaman adalah orang pelarian dari kejaran Belanda atau mereka yang memiliki kesalahan dengan pemerintahan yang sah. Mereka tetap di sana hingga sekarang dan tidak mau kembali ke daerah asalnya. Si Bapak juga menyalahkan pemerintah yang mensupport pembangunan ke daerah pedalaman dengan bantuan listrik dan pembangunan jalan. Di satu sisi, katanya, pemerintah ingin membangun hutan lindung, di sisi lain mereka memberikan fasilitas kepada mereka yang ada di pedalaman. Padahal jika pemerintah serius mau membangun bangsa ini, pemerintah harus mengehentikan pembangunan di daerah terpencil sehingga penduduk di sana benar-benar kesulitan lalu mereka melakukan migrasi ke daerah legal di pinggiran jalan negara atau ke kota.
Kita harus jeli melihat, lanjut Si Bapak, bahwa legalitas tinggal di sana bukan hanya dari struktur pemerintahan dan bangunan tua. Sebab itu memang perilaku masyarakat kita, mau tinggal di daerah yang mudah karena kebutuhan hidup mereka disediakan oleh alam. Di sana mereka berkembang sangat cepat karena keluarga tidak ber KB. Akibatnya lahirlah generasi pengangguran, anak jalanan, palacuran, TKW illegal, dan pelaku tindak kriminal. Ini semua karena pemerintah masih toleririr dengan kehidupan masyarakat pedalaman tersebut. Padahal kalau memang mau membangun bangsa, pemerintah harus bersikap tegas melarang mereka tinggal di sana atau jangan subsidi dan bangun fasilitas publik untuk mereka. Mereka pasti akan mulai sadar.
Saya tertunduk, tercengang, kesal dengan ungkapan Si Bapak. Terbayang lagi wajah polos masyarakat pedalaman di mana saya tinggal selama dua minggu. Terbayang semangat kerja mereka, kekompakan mereka, keramahan dan ketulusan mereka, penerimaan mereka pada orang asing yang dianggap sebagai anggota keluarga yang baru pulang dari rantau. Saya terbayang lagi anak-anak yang cerdas dan kreatif,anak muda yang tidak sekolah karena sekolah mahal dan sangat jauh, pasangan muda yang telah memiliki tiga anak yang lucu. Apakah mereka orang Indonesia? Apakah mereka merasakan kalau kita sudah merdeka? Dan, Bapak di samping saya mengatakan mereka warga illegal! Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H