Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Harus Mendidik, Bukan Mengajar!

27 Mei 2010   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"JIka Anak dididik dengan cinta ia akan tumbuh menjadi orang yang mau menghargai sesama" [caption id="attachment_151056" align="alignleft" width="300" caption="Transfer of knowledge (ilustrasi)"][/caption] Semula saya akan memberikan komentar pada tulisan Bang Ali: Mahalnya Ongkos Sekolah. Tapi sudah kepanjangan. Ya sudah, saya “sempurnakan” sedikit lalu saya posting menjadi tulisan sendiri, lagi pula pagi ini saya belum dapat ide bagus untuk ditulis. Hehehe :-) Ada beberapa kata yang sangat berhubungan dengan pendidikan, antara lain adalah Sekolah, belajar/mengajar dan mendidik. Pemahaman yang keliru dalam istilah ini menjadikan kita salah dalam menilai dunia keilmuan dan dunia moral dalam kehidupan bersama. Kesalahannya adalah, kita sering menjadikan sekolah/guru sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan. Menurut saya ada perbedaan besar antara Sekolah, belajar dan pendidikan. Sekolah hanyalah sebuah lembaga yang di sana bisa saja berlangsung sebuah proses belajar atau pendidikan. Umumnya sekolah dikelola negara. Meskipun bangunan dan fasilitasnya disediakan oleh swasta, namun dari sisi kerikulum, proses dan evaluasi selalu berhubungan dengan negara. Negara membuat sebuah standar khusus untuk sekolah yang harus diikuti oleh semua penyelenggara sekolah di Indoensia. Selain sekolah ada juga pesantren (Aceh: Dayah). Berbeda dengan sekolah pesantren memfokuskan diri pada pengajaran ilmu agama Islam semata. Selain belajar ilmu agama Islam, dalam pesantren juga dilakukan praktik-praktik religius tertentu sebagai bagianda ri peribadatan. Misalnya ada praktik shalat malam bersama, pengajian, suluk, zikir bersama, dan lain sebagainya. Kalaupun ada pelajaran lain yang lebih umum, itu hanyalah keterampilan atau skill sederhan yang digunakan untuk bekal kerja setelah ia tamat di pesantren. Belajar/mengajar adalah sebuaha transfer of knowledge. Anak didik dianggap sebagai sebuah gelas kosong yang tidak ada airnya. Sementara guru bagaikan sebuah ceret penuh air yang kemudian menuangkan air ke dalam gelas (anak). Maka dalam proses ini hampir tidak ada proses penjelasan; air apa yang dituangkan, untuk apa, mau dibawa kemana, berapa banyak yang diperlukan, dll. Si anak menerima si guru memberikan, bahkan terkadang dengan paksaan. Di sisi lain, pendidikan adalah sebuah proses pendewasaan seorang anak oleh orang lain. Orang lain di sini bisa saja dilakukan oleh guru atau orang tua, atau –dan ini sangat penting- lingkungan di mana si anak hidup. Oleh sebab itu pendewasaan bukan hanya dalam ilmu-ilmu teoritis saja dengan mengkaji buku-buku yang ada, namun juga "ilmu kehidupan" yang kebanyakannya tidak tertulis. Ia ada di alam dan kita perolah melalui cerita pengalaman orang atau perenungan sendiri. Karenanya pendidikan bukan hanya di sekolah, namun lebih banyak di rumah dan dalam kehidupan sosial. Yang terjadi selama ini, menurut saya, sekolah hanya mengajarkan anak, namun tidak mendidik. Padahal yang lebih banyak ditangkap oleh anak dalam proses ini adalah "pendidikan" bukan "pengajaran. Contohnya, guru mengajarkan siswa jujur, baik, perhatian, dll. Dalam ujian ia akan ditanya apa yang dimaksud dengan jujur. Anak-anak yang rajin belajar akan tahu pengertian jujur. Pada saat ujian akhir, takut siswanya tidak lululs, guru memberikan jawaban ujian yang berarti ia sudah mempraktekkan ketidakjujuran. Praktek ini akan terekam dalam jiwa anak-anak, dan inilah yang paling berkesan dalam hidupnya. Sementara penegertian jujur yang telah dipalajari sebelumnya akan hilang dan ditinggalkan setelah ujian selesai. Seharusnya sekolah bukan hanya lembaga transfer of knowledge, tapi juga sebuah lembaga yang mendidik. Dalam kondisi ini juga guru hendaknya seorang pendidik bukan pengajar. Selain itu orang tua di rumah dan lingkungan di mana seorang anak hidup juga mesti berfungsi sebagai guru yang mendidiknya mejadi lebih baik. Biaya yang tinggi yang digunakan untuk menjadikan “anak cerdas” melalui lembaga pendidikan tidak serta merta menjadikan ia sebagai “anak yang terdidik” meskipun ia cerdasa dalam ilmu pengetahuan. Namun, sebaliknya, kelas jauh di pedalaman yang tidak ada fasilitas bisa saja melahirkan seorang anak yang “terdidik” dan cerdas dalam ilmu kehidupan. Dan idealnya adalah adanya sebuah perpaduan antara pengajaran dan pendidikan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun