Mohon tunggu...
Sehat Ihsan Shadiqin
Sehat Ihsan Shadiqin Mohon Tunggu... profesional -

Menulis Itu Sehat, Sehat Itu Menulis\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cinta Anak Alam: Kisah Dari Wonodadi (4)

15 Februari 2010   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak memiliki bahasa yang sama, bahasa cinta dan kasih sayang yang tulus. Di mana saja mereka terbebas dari kepentingan, prasangka dan kemunafikan. Ketulusan yang ditunjukkan anak-anak Wonodadi, sebuah dusun pedalama Jawa Tengah, selama saya berada di lapangan adalah salah satu contohnya. Mereka mengungkapkan persahabatan dengan jujur tanpa mengharapkan balasan. Mereka menunjukkan perhatian dengan tulus tanpa meminta imbalan. Mereka membantu dengan iklas dan sepenuh hati. Beberapa pengalaman berikut adalah bukti itu semua.

Suatu sore, anak-anak berkumpul di depan rumah di mana saya tinggal. Saya tidak tahu kapan, namun mereka mengatakan saya berjanji untuk main-main ke pemandian di atas gunung yang dikenal dengan Kali Sepi (saya tidak tahu kenapa namanya sepi, meskipun memang di sana sangat sepi karena di lereng gunung). Saat itu jam masih menunjukkan pukul 12 siang. Di Wonodadi, jam 12 siang sama sekali tidak terasa terik mata hari. Tanah selalu dilindungi awan dari sengatan matahari. Karenanya, meskipun tengah hari bukanlah saat yang terik kalau mau melakukan perjalanan.

Saya sebenarnya sedikit malas untuk pergi mandi sebab ini siang hari dan sedang ada pekerjaan (menulis cacatatan lapangan). Lalu saya katakan kalau saya khawatir akan terjadi hujan dan mengajak mereka mandi keesokan hari saja. Sebab biasanya siang hujan akan turun meskipun nampaknya matahari bersinar terang. Namun alasan ini kurang diterima oleh anak-anak itu. Mereka tetap mengajak sayauntuk pergi ke pemandian. Saya tidak punya alasan lain. Saya meminta mereka menunggu sampai anak-anak kelas lima dan enam pulang dari sekolah mereka. Nampak mereka bersabar.

Setelah semua anak berkumpul kami pergi menunju pemandian. Hampir semua anak di dusun ini ikut bersama. Ada beberapa yang, karena masih terlalu kecil, tidak mau ikut karena karena terlalu jauh. Beberapa orang warga yang lewat menanyakan ke mana kami mau pergi dan saya jawab mau main-main bersama anak-anak dusun, dan mereka paham dengan kenyataan ini. Saya tidak mendengar ungkapan, “hati-hati ya,” dari para orang tua yang melihat anaknya dalam rombongan itu. Kemungknan bagi mereka ini sudah biasa dan mereka sudah selalu melihat anaknya naik ke sana.

Saat anak-anak sedang asik mandi, tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Saya mengajak mereka naik ke darat dan segera pulang. Semuanya bergegas naik dan mengenakan pakaian. Hujan terus turun dengan sangat lebat dan mereka berpakaian cepat-cepat dan segera beranjak pulang. Kami berjalan buru-buru pulang karena hujan semakin deras. Tidak jauh dari tempat permandian kami sudah basah kuyup. Beberapa anak perempuan mengambil daun keladi besar sebagai payung. Namun angin yang kencang menerbangkan payung itu. Mereka berlari kembali. Tiba-tiba dari belakang seorang anak laki-laki menawarkan saya daun pisang yang entah diambil di mana dan bagaimana. Sebuah daun pisang kecil tentu tidak cukup melindungi dari guyuran hujan. Namun tidak mungkin juga menolak pemberian itu. Saya mengucapkan terima kasih dan mengambil daun pisang tersebut. Saya terus berjalan dalam hujan itu dengan cepat dan meminta anak-anak juga berjalan cepat.

Saat melewati anak perempuan, seorang anak perempuan mengatakan meminta maaf kepada saya karena mengajak saya ke pemandian sehingga menjadi basah. Padahal saya sebelum berangkat sudah mengatakan kalau hujan mau turun dan menawarkan pergi ke pemandian keesokan harinya. Namun mereka memaksa untuk tetap pergi lalu saya ikut pergi. Jadinya sekarang kami semua basah kuyup. Saya mengatakan tidak apa-apa dan tidak ada yang salah. Mereka mengkhawatirkan saya kemasukan angin dan sakit. Saya mengatakan tidak masalah, sebab kalau masuk angin nanti saya akan keluarkan di kelas saat mengajar. Dan mereka tertawa.

Pada suatu pagi yang lain, saya mengajak mereka jalan-jalan sebelum kelas dimulai. Kami jalan-jalan ke jembatan besar di mana turbin listrik diletakkan. Jalan menuju ke sana lebih terjal dibandingkan dengan jalan pemandian yang penah kami lewati sebelumnya. Jalan ini terbuat dari batu gunung yang dipecahkan dan disusun rapi. Kami berjalan menurun sedikit demi sedikit. Bekas hujan malam tadi menyebabkan jalanya mash dan licin. Saya harus selalu mengingatkan anak-anak agar hati-hati. Sebab dalam pandangan saya mereka terlalu ceroboh dan buru-buru. Mungkin saja ini hanya pandangan saya, sebab kenyataannya mereka memang selalu berjalan cepat pada jalan seperti itu. Turun ke jembatan memang membutuhkan energi besar. Jalan yang terjal dan licin membutuhkan kehati-hatian yang besar.

Kami hanya berfoto bersama di jembatan dan melihat-lihat sungai dengan air yang mengalir deras. Setelah berfoto bersama saya dan anak-anak mau kembali ke sekolah. Kembali ke sekolah berarti harus menempuh jalan menanjak yang terjal dan licin yang tadi kami turuni. Baru beberapa meter berjalan saya sudah merasakan kelelahan dan ini langsung nampak pada anak-anak. Saya berjalan sangat lambat dan dengan nafas tersengal-sengal. Sesekali saya menompang tangan di lutut untuk menambah tenaga. Melihat ini beberapa anak perempuan langsung memberikan bantuan dengan mendorong saya. Tiga anak perempuan meletakkan kedua tangannya di pinggul saya dan mendorong saya ke depan. Terasa lebih nyaman dan kuat. Namun hal ini tidak mungkin saya lakukan karena akan menjadikan mereka lebih capek. Bagaimanapun kami sedang menempuh jalan yang sama dengan tanjakan yang sama. Namun mereka tidak mengindahkan larangan saya dan terus mendorong. Sampai akhirnya saya harus memegang tangan kecil itu dan memindahkannya.

Kami kembali berjalan sampai ke atas. Saya sangat kelehan. Keringat keluar mengalirmembasahi baju. Begitu sampai di tanah yang datar saya langsung duduk di sebuah kayu balok yang akan dijadikan papan cor. Beberapa anak-anak meminta izin pada saya untuk minum. Mereka pergi ke arah perumahan di belakang sekolah. Sekejap kemudian mereka datang kembali dengan membawa segelas air dan memberikan kepada saya. “Mas kan capek,” katanya.

Catatan:

Tulisan ini adalah rangkaian dari tulisan saya hasil kunjungan ke sebuah dusun pedalaman Jawa tengah, Wonodadi. Kepada teman-teman yang hendak mengerti konteksnya silakan baca tulisan sebelumnya.

1. Dua Minggu Hidup di Dusun Pedalaman Jawa (1) 2. Kenapa Orang Jawa Tidak Mau Memberontak? (2) 3. Agama Itu Sama Saja, yang Penting Akhlaknya (3)

Tulisan saya yang lain silahkan kunjungi www.sehatihsan.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun