Judul di atas adalah ungkapan dari seorang pengikut tarekat Shiddiqiyah, warga Wonodadi di mana saya melakukan kunjungan lapangan selama dua minggu. Baginya, Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya, atau bahkan tidak bergama sekalipun adalah sama saja dalam menempuh hidup di dunia ini. Sama-sama manusia dan sama-sama ciptaan Allah. Kalau kemudian mereka berbeda dalam memahaminya, maka itu adalah sebuah kewajaran karena Allah sendiri menciptakan manusia itu dalam keberagaman, termasuk dalam berfikir. Jadi berbagai agama, berbagai kepercayaan, berbagai keyakinan baik dalam agama yang berbeda atau dalam satu agama tertentu sebagai sebuah hal yang wajar saja. Yang penting adalah terbangunnya rasa saling menghormati dan memupuk keberagaman itu untuk kebaikan bersama.
Pak Tahir, demikian nama bapak yang saya temui itu adalah salah seorang anggota tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi. Tarekat ini masuk ke sana belasan tahun yang lalu. Semula dibawa oleh seorang guru SD yang sekarang sudah pindah, lalu bermunculan tokoh lokal di Wonodadi sendiri. Menurut sejarahnya, tarekat Shiddiqiyah dikembangkan pertama kali oleh Kiai Muhammad Mukhtar Luthfi dari Jombang, Jawa Timur. Tarekat ini bertujuan mendapatkan ridha Allah dalam menjalani kehidupan di dunia. Dalam pemahaman mereka, tarekat adalah tingkatan dalam beragama setelah syariat. Seseorang tidak cukup hanya melaksanakan syariat saja, namun perlu juga melaksanakan tarekat untuk kesempurnaan beragama. Dengan tarekat seseorang akan lebih banyak amalannya dalam beribadah.
Kehadiran tarekat Shiddiqiyah awalnya ditentang oleh sebagian masyarakat Wonodadi karena dianggap sebagai agama baru. Namun saat saya berada di sanapenentangan itu tidak nampak lagi. Mungkin saja mereka yang menentang tidak paham dengan apa yang dilakukan jamaah tarekat. Atau jamaah tarekat yang mampu menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain sebagai sebuah pelaksanaan ajaran agama juga. Saya belum mendapatkan jawaban. Yang pasti, saat ini hampir setengah masyarakat Wonodadi adalah anggota jamaah Shiddiqiyah. Di pinggiran sebuah hutan tidak jauh dari perkampungan dibangun sebuah gubuk zikir yang khusus digunakan untuk berzikir bagi jamaah Tarekat Shiddiqiyah.
Tarekat Shiddiqiyah adalah sebuah tarekat yang mengusung semboyan kedamaian hidup berbangsa dan bertanah air Indonesia. Saya mengikuti dua kali kausaran, sebuah pengajian tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi. Dalam pengantarnya yang memakai Bahasa Jawa yang tidak sepenuhnya saya pahami, pemimpin tarekat menjelaskan bahwa doa tarekat ditujukan untuk kedamaian hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan berbangsa dan bertanah air Indonesia. Dalam pengantar itu juga dijelaskan kenapa kedamaian itu perlu. Antara lain karena dalam damai sebuah kedekatan dan silaturahim akan terbina. Silaturahim dengan manusia dan alam, serta silaturahim dengan Allah. Dalam damai pula sebuah peradaban akan tumbuh, sebuah kesejahteraan akan muncul dan keadilan akan bisa diwujudkan.
Wujud kecintaan kepada kemanusiaan jamaah tarekat Wonodadi memupuk semangat saling membantu dalam kehidupan dunia dan kehiudpan spiritual. Dalam kehiudpan duniawi, dusun kecil Wonodadi ikut memberikan sumbangan untuk berbagai musibah yang menimpa masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Menurut Pak Rahmat, sesepuh tarekat di Wonodadi, saat gempa Bantul dan Sumatera Barat, mereka menyumbangkan sejumlah uang yang disatukan dengan sumbangan jamaah Shiddiqiyah yang lain dari seluaruh Indonesia. Dalam bentuk spiritual, mereka mengadakan kausaran selama empat puluh hari pasca gampa. Dalam kausaran mereka berzikir dan berdoa agar apa yang menimpa masyarakat di daerah bencana tertasi dan mereka diberi ketabahan oleh Allah.
Dusun Wonodadi memang terpencil dari transportasi dan komunikasi. Namun masyarakat di sana memiliki pandangan luas tentang kemanusiaan. Semangat membantu, semangat menghargai, semangat memahami jauh melampaui batas-batas dusun mereka yang kecil dan sempit. Boleh saja jalan tidak ada, namun itu tidak menciutkan jalan mereka untuk membantu. Boleh saya komunikasi terbatas, namun itu didak menghalangi mereka untuk menjalin persaudaraan dengan berbagai masyarakat lain di Indonesia, meskipun memlalui doa.
Catatan:
Tulisan ini adalah rangkaian dari kunjungan saya ke Dusun Wonodadi, Pekalongan. Bagi pembaca yang belum tahu Wonodadi dapat membacanya di dua tuisan sebelumnya: Dua Minggu Hidup di Dusun Pedalaman Jawa atau Kenapa Orang Jawa Tidak Mau Memberontak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H