Mohon tunggu...
sehacahyaramdani
sehacahyaramdani Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis penyebab kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan kampus

25 Januari 2025   08:54 Diperbarui: 25 Januari 2025   08:53 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah masalah yang perlu diatasi karena dapat berdampak buruk pada korban dan komunitas kampus. Kekerasan seksual di kampus dapat berupa pelecehan, merendahkan, atau menyerang tubuh dan fungsi reproduksi seseorang.

Dampak kekerasan seksual di kampus: Mengganggu karier akademik dan sosial korban, membuat korban merasa terpinggirkan, membuat korban mengalami tekanan mental, stres, dan post-traumatik. Salah satu contoh isu yang ada adalah mahasiswa dari Universitas Brawijaya atau UB, NWR mengalami pelecehan seksual pada 2017 yang baru dilaporkan pada 2020. "Pada awal Januari 2020, NWR melaporkan kasus pelecehan seksual yang pernah dialaminya kepada Fungsionaris FIB UB," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UB, Agus Suman, pada 5 Desember 2021. Agus menjelaskan pelaku pelecehan seksual merupakan kakak tingkat NWR yang juga mahasiswa Program Studi Bahasa Inggris FIB UB berinisial RAW Saat itu, usai menerima laporan, FIB UB melakukan tindak lanjut dengan membentuk Komisi Etik. RAW pun terbukti bersalah dan telah diberikan sanksi oleh pihak UB. Sementara itu, NWR diberikan pendampingan berupa konseling.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:

a. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia

Adanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal, patriarki dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling mendasar.

b. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual

Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban.

c.Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya

Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).

d.Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun