Mohon tunggu...
Sehabuddin Abdul Aziz
Sehabuddin Abdul Aziz Mohon Tunggu... wiraswasta -

Blogger buku dan founder booktiin.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tukang Sihir di Blackberry Messanger

8 Juli 2011   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1310113200215340589

HAMPIR tak bisa menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Empat bulan lalu. Atau  kurang tujuh hari lagi, genap lima bulan. Aku hanya bisa menatapnya. Aku tak bisa merabanya. Aku hanya bisa membacanya, tapi tak bisa menelisik lebih dalam siapa dirinya.

Tak ada rasa yang bisa dijadikan bangga. Manusia itu nampaknya hanya bermain hati. Tidak ada ketulusan untuk mencintai. Hari ini bisa jadi malaikat. Besok bisa berubah menjadi makhluk menakutkan.

Sihir apakah yang ada dalam dirinya. Sampai tak mampu lagi berpijak nyata dengan kedua kakinya. Selama ini ia menerawang harapan yang sangat mustahil bisa diraih. Padahal, sudah sering diingatkan. Cukuplah sampai disitu. Cukup!

♦♦♦

NAMUN, pergantian hari tak menaruh perubahan apapun. Semakin kerdil dengan sihir. Semakin kaku dengan asa yang lama-lama akan membeku.

Aku menyebutnya Tukang Sihir di Blackberry Messanger. Semua orang bisa melakukan apapun, dengan barang digenggaman itu. Tapi aneh, tiap hari luput dengan makna. Hilang sejenak datang kembali, sihir itu dari dirinya.

Padahal, perjalanan hidup sudah bermil-mil ditempuh. Ketidaksadaran sudah pernah dialami. Bahkan, ruang-ruang nilai yang katanya bisa memberikan arti besar, justru hanya ruang hampa yang tak bernyawa.

“Ya memang seperti ini aku. Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau. Jadi mengapa kamu harus campur tangan urusanku,” katanya.

Sampailah disuatu malam. Aku tak peduli apapun, makhluk itu hantu atau bukan. Kucoba mendekati secara perlahan. Dia makhluk hitam legam. Dia sangat pandai memoles kata, dan menaruhnya dalam perasaan setiap perempuan.

Setelah aku tahu makhluk itu. Subhanallah, busuknya minta ampun. Aku pun baru tahu. Bukan hanya hitam legam badannya. Tapi juga si tukang sihir memang pantas disematkan kepadanya.

Sampailah aku dalam rumah kecil disebuah kota. Beruntung perjalanan yang sudah hampir satu minggu itu, sedikit demi sedikit ada ruang untuk didialogkan. Ya teman lama. Teman yang pada saat kuliah, merupakan sahabat terbaik yang pernah dimiliki.

Aku bercerita tentang tukang sihir itu. Ia tertawa. Tidak percya dengan apa yang aku katakan. Tapi setelah sekian lama dijelaskan, ia pun baru memberikan komentar.

Zaman sekarang bagi temanku aneh. Serba modern, serba dekat, serba mudah, namun justru serba sulit dan serba tak masuk akal. Hanya ada satu catatan dari komentar sahabatku, “Semestinya tak perlu dia melakukan apa yang sebenarnya tidak mungkin. Bila demikian, maka baginya tidak akan ada ruang baru yang bisa menemukan cinta sejati dari seseorang yang sebetulnya bisa ia cari,” katanya.

♦♦♦

AKU menyampaikan pesan itu kepada dia. Eeh……..apa yang terjadi? Dia menganggap apa yang selama ini dilakukan adalah sebuah kebenaran iman, sebuah kekayaan batin yang tak mungkin bisa diberikan kepada orang lain. “Ya aku hanya sekedar memberikan kabar,” kataku.

Sudah hampir tiga bulan, aku tidak menemukan tukang sihir itu lagi. Tapi pesan-pesan itu selalu sampai padanya. Apakah ini memang benar hakikat iman, dari sebuah teknologi modern? Aku hanya bisa tertawa lepas.

Ternyata, kesadaran iman saat ini tidak hanya berada di mesjid dan majelis-majelis taklim, toh  bisa digenggam kemana-mana. Katanya sich, bisa lebih dipercaya.

Kini jalan itu katanya sudah terputus oleh gelombang yang perlahan-lahan menghantam kekuatan dan fondasi keyakinan yang memang dari awal semu. Sebuah badai besar mungkin akan terjadi lagi, bila si tukang sihir itu bereaksi.

Aku hanya percaya, kebenaran iman itu bukan didakwa dengan kebenaran teknologi, dan kenyatan hidup dipersalahkan dengan serta merta. Entahlah, aku hanya bisa bersabar dan merasakan bagaimana badai itu tiap hari menghantam dinding hatinya. Bukan aku tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Namun, lebih baik aku hanya terdiam seribu bahasa karena aku bukan pecundang.

http://trikdantipsblackberry.files.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun