Mohon tunggu...
Sehabuddin Abdul Aziz
Sehabuddin Abdul Aziz Mohon Tunggu... wiraswasta -

Blogger buku dan founder booktiin.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merekayasa Mudik Ritual Menjadi Mudik Spiritual

6 Agustus 2011   15:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:02 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MANUSIA, siapapun orangnya, menginginkan perubahan. Sejak lahir, para orang tua menginginkan anaknya cepat dewasa. Setelah dewasa mendapatkan kerja dan lain sebagainya. Perubahan itu ada yang datang tanpa diundang, dan datang secara alamiah dan natural. Perubahan yang datang tanpa diundang, misalkan akibat globalisasi. Trend mode, hilangnya kearifan lokal, munculnya kekerabatan semu, dan gejala-gejala sosial, itu berubah nyaris tanpa diharapkan, karena sejalan dengan perkembangan zaman.

Lalu, perubahan yang direncanakan, bisa melalui berbagai macam metode. Salah satunya melalui reengginering (merekayasa kembali) dalam arti positif sehingga menjadi transformasi nilai bagi yang melakukannya. Misalkan, perubahan dari tidak puasa menjadi puasa dengan melatih sekuat tenaga menahan haus dan dahaga. Pada hakikatnya itu sebuah rekayasa yang dilakukan oleh pribadi umat muslim.

Kalau wajib mengapa harus direkayasa? Ini sangat perlu, karena dalam kenyataanya, masih banyak umat muslim yang tidak berpuasa. Nah, untuk membentuk pribadi yang berpuasa, perlu latihan secara terus menerus sehingga memberikan nilai bagi yang melakukannya.

Disini, penulis ingin memberikan sebuah perjalanan reengineering dengan merefleksikan positif dari tradisi mudik yang dilakukan pada saat lebaran. Apa hubungannya, mudik dalam konteks kebudayaan atau kebiasaan, dan memaknakan mudik dalam arti perpindahan nilai positif setelah kita melaksanakan puasa, yang penulis sebut ‘mudik spiritual’.

Tinjauan Mudik Sebagai Kebiasaan

Seorang pemudik, biasanya telah mempersiapkan berbagai rencana jauh sebelum mudik dilakukan. Tiket, oleh-oleh untuk keluarga di kampung, kendaraan apa yang ingin digunakan untuk mudik, sampai persiapan mental selama diperjalanan. Bahkan, informasi mudik sudah di informasikan kepada kerabat di kampung halaman. Semua persiapan itu, berbanding lurus memaknakan mudik sebagai kebiasaan atau ritual saja.

Apa yang dirasakan pemudik? Tentu saja sangat bahagia apabila mudiknya kesampaian. Apalagi, ada keringanan dari Tuhan, saat mudik, untuk berbuka alias tidak puasa. Maka, jangan heran, kalau para pemudik pun, menikmati perjalanan bias dengan makan minum, bercanda ria, mengumbar orang lain, termasuk cas cis cus soal material yang menampakan ria.

Karena mudik hanya dilihat sebagai kebiasaan, tak heran pula, bila para pemudik tidak menemukan perubahan dengan berpuasa itu. Padahal, saat ia mudik masih dalam keberkahan dan kemukjizatan Ramadhan. Lihat saja, pertengkaran saat mudik masih kerap terjadi karena tak mampu menahan amarah antarsesama pemudik. Mengumpat penjual tiket karena tak kebagian karcis. Bahkan, melakukan perbuatan tidak terpuji selama diperjalanan.

Tinjauan Mudik Sebagai Nilai

Seorang pemudik yang melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh, terlihat dari perubahan positif seperti etika, perilaku, dan tata cara mudik. Pemudik yang demikian, tetap ajeg dengan etika dan perilakunya, karena mudik yang dilakukan, bukan hanya mudik sebagai kebiasaan, namun tengah merasakan mudik spiritual sebagai efek positif dari melaksanakan puasa.

Penulis contohkan. Seorang pemudik meskipun sudah ada keringanan dari Tuhan untuk berbuka atau tidak berpuasa, namun tetap memilih berpuasa. Mereka tidak akan sembarangan memilih kendaraan. Sebab, kendaraan itu bukan hanya nyaman dijalan, tapi juga bisa nyaman beribadah selama diperjalanan. Ia pun secara detil sebelum berangkat harus tahu, berapa kali kendaraan yang akan ditumpangi berhenti dijalan, didaerah mana perjalanan tiba saat berbuka dan sahur. Kemudian, saat antre membeli tiket berjalan sesuai prosedur, barang bawaan pun dibawa secukupnya, sehingga tidak menimbulkan ria, baik dilihat orang dalam perjalanan, maupun saat tiba dikampung halaman.

Dua Sisi yang Berbeda

Perbedaan dua konteks mudik sebagai kebiasaan dan mudik spiritual itu, sebagai gambaran untuk menjelaskan, berbagai potret mudik yang sering dilihat selama ini. Tahun sebelumnya, misalkan, satu bus kecelakaan dijalan tol dan seluruh penumpang tewas. Lalu, kemacetan yang sudah lazim saat mudik, telah menyebabkan berbagai kerusakan fasilitas publik karena dirusak oleh para pemudik yang kesal dan tak mampu menahan emosi sehingga fasilitas yang dimiliki oleh Kereta Api dicuri atau hilang.

Penulis mengandaikan, bila kejadian itu dalam tinjauan mudik hanya sebagai kebiasaan, tentu kecelakaan plus kematian para pemudik menjadi konyol dan sia-sia. Hilangnya fasilitas publik pun menjadi bagian yang sulit diantisipasi oleh pejabat KA, kendati sudah diberi keterangan dan warning kepada para pemudik.

Coba, bila kejadian itu dalam tinjauan mudik spiritual, maka kecelakaan dan kematian para pemudik akan menjadi kebaikan. Karena dari mulai keluar dari rumah sampai selama diperjalanan berada dalam keadaan puasa. Dan tentunya juga, tetap berada dalam nilai-nilai ruhiah yang selama ini tengah dirasakan.

Oleh karena itu, penulis menawarkan gagasan, sudah saatnya untuk urusan mudik pun direkayasa dalam konteks perubahan spiritual. Misalkan, Kementerian Perhubungan mewajibkan seluruh pengusaha untuk memasang do’a-do’a dalam perjalanan, baik itu untuk umat muslim maupun non muslim. Saat berkendaraan juga, kondektur bukan hanya memposisikan diri sebagai pelayan penumpang, namun dibekali kemampuan agar dalam kendaraan diberi tatacara dan etika untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga mudik dan potret buram yang terjadi selama ini, tidak terjadi lagi. Penulis yakin, tidak ada yang bisa melawan takdir kecuali dengan BERDOA. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahua’lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun