Mohon tunggu...
Seftin Syahputra
Seftin Syahputra Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Komitmen Perusahaan Membangun Smelter

17 Juni 2014   18:46 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:22 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia selama 1602-1798, atau hampir sekitar dua abad lamanya. Setelahnya dan sampai detik ini, korporasi-korporasi baru melanjutkan. Sejak zaman VOC, korporasi meraup keuntungan dari ekspor sumber daya alam (SDA) mentah.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, model ini masih terus berlanjut. Jika VOC lebih dominan menjual rempah-rempah, korporasi setelahnya lebih gemar mengeruk mineral mentah. Menurut banyak pengamat, menjual SDA mentah pada dasarnya merugikan negara dan rakyat karena tak menimbulkan nilai tambah. Lagi pula, ekspor barang mentah dalam bentuk apa pun dan dari sisi apa pun tidak berkelanjutan.

Atas dasar itu, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berisi larangan ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Dengan kata lain, korporasi harus membangun instalasi pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri sebelum tenggat waktu itu.

Beberapa tahun menjelang pemberlakuan larangan, bukannya inisiatif membangun Smelter yang muncul, melainkan meningkatnya ekspor mineral mentah secara signifikan. Hanya dalam kurun waktu empat tahun, ekspor bijih bauksit meningkat lima kali lipat. Adapun ekspor bijih besi tujuh kali lipat, nikel delapan kali lipat, dan tembaga tujuh kali lipat. Peningkatan eksploitasi mineral secara berlebihan terutama terjadi menjelang Januari 2014.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor bijih nikel pada tahun 2008 sebesar 4,11 juta ton dan meningkat menjadi 10,99 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2010, ekspor bijih nikel naik lagi menjadi 16,98 juta ton dan melonjak menjadi 32,63 juta ton pada tahun 2011. Tahun 2012, ekspor bijih nikel mencapai 41,09 juta ton. Bahkan membumbung menjadi 55,08 juta ton pada tahun 2013. Menjelang berlakunya aturan larangan ekspor mineral dan batubara (minerba) ini, telah menyumbang kenaikan ekspor komoditas nonmigas untuk barang tambang pada Desember 2013. Ekspor yang melonjak pada Desember 2013 adalah tembaga karena perusahaan pengekspor mengejar waktu sebelum berlakunya aturan ekspor minerba.

Menanggapi fenomena tersebut, berdasarkan Data Badan Geologi (2010) menyebutkan, cadangan nikel Indonesia sebesar 577 juta ton. Dengan tingkat kerakusan seperti itu, cadangan bijih nikel Indonesia akan habis dalam beberapa belas tahun saja. Perlu diingat, SDA bukan monopoli korporasi dan pemerintah. Sebanyak 240 juta jiwa warga negara Indonesia adalah pemiliknya. Faktanya, model eksploitasi yang berjalan selama ini justru melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sekitar kawasan konsesi. Di sini sikap pemerintah diuji.

Mulai Membangun

Indonesia memang kaya akan mineral tambang, sayangnya, pemangku kepentingan di negeri ini selama sekian puluh tahun hanya mampu menjualnya dalam bentuk mentah. Namun, minggu lalu, Menteri Perindustrian MS Hidayat meresmikan dimulainya pembangunan pabrik baja khusus di Batam, Kepulauan Riau. Pabrik yang dibangun PT Resteel Industry Indonesia itu akan mengolah bijih nikel, pasir besi, dan bauksit menjadi baja superrendah karbon dan baja khusus.

Aktifitas pengelolahan ini tentu akan menghasilkan nilai tambah tinggi. Harga baja khusus yang digunakan industri alat utama sistem pertahanan dan perkapalan tersebut bisa mencapai 3.000 dollar AS per ton. Bandingkan dengan harga 1 ton bijih nikel yang hanya 25 dollar AS, bijih besi 60 dollar AS, dan bauksit 17 dollar AS.

Menurut penulis, selain mineral tambang, komoditas lain juga perlu menjadi perhatian pemerintah terkait dengan aktifitas pengolahan untuk menghasilkan nilai tambah lebih. Sebagai contoh, permasalahan kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) tidak terlepas dari pola pembangunan ekonominya yang berjalan tak normal, yaitu bertransformasi dari daerah pertanian dan pertambangan langsung ke sektor perdagangan dan jasa. Sementara kegiatan industri dan manufaktur yang butuh banyak tenaga kerja tidak berkembang. Idealnya, proses transformasi ekonomi dimulai dari daerah pertanian dan pertambangan (primer) ke industri (sekunder) lalu ke jasa (tersier).

Struktural perekonomiannya terlampau bergantung pada ekspor hasil tambang, pertanian, kehutanan, dan perikanan non-olahan. Tak ada nilai tambah lebih karena tak ada hilirisasi produk. KTI yang dijanjikan 5 tahun lalu oleh SBY-Boediono akan menjadi lokasi industri pengolahan hasil tambang dan industri berbasis input komoditas pertanian, masih sangat jauh dari harapan.

Padahal, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Mengekspor bahan mentah memang bisa memberi laba. Akan tetapi, manfaat akan lebih besar jika diolah terlebih dahulu menjadi barang setengah jadi. Bahkan potensi keuntungan semakin besar apabila diolah hingga produk jadi. Rangkaian proses itu juga berdampak ganda, seperti menyerap tenaga kerja dan meningkatkan devisa.

Selain PT Resteel Industry Indonesia, delapan investor asal Tiongkok berminat membangun industri pemurnian dan pengolahan mineral. Mereka ingin mengolah bahan mentah nikel menjadi feronikel dan industri turunannya. Proses pengolahan itu akan meningkatkan nilai tambah nikel. Sebagai perbandingan, harga bijih nikel 25 dollar AS per ton. Apabila diolah menjadi feronikel dan baja tahan karat nilainya akan meningkat menjadi 1.700 dollar AS dan 2.300 dollar AS per ton.

Selama ini, Tiongkok merupakan negara yang paling responsif dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mendorong pertumbuhan industri pemurnian dan pengolahan mineral. Terkait pasar produk yang dihasilkan industri pengolahan dan pemurnian tersebut, MS Hidayat mengatakan, hal itu bergantung pada kebutuhan, yang jelas mereka memperhitungkan kapasitas produksinya untuk kebutuhan domestik dan ekspor.

Freeport sendiri sebagai perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia sudah memberi jaminan 5 persen dari nilai investasinya yang disimpan di Kementerian Keuangan, sebagai tanda keseriusan mau membangun smelter. Hal ini sesuai dengan penjelasan tambahan dalam Peraturan Menteri ESDM No 1/2014. Dengan memenuhi persyaratan ini, Freeport sambil membangun smelter diperbolehkan mengekspor dengan bea keluar khusus untuk ekspor konsentrat.

Langkah pemerintah mendorong pertumbuhan industri pemurnian dan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah mineral mentah sungguh masuk akal. Tujuannya agar terjadi hilirisasi produk dan Indonesia tak sebatas menjadi penjual bahan mentah tambang. Program ini tentunya harus dikawal publik agar tidak menyimpang dari koridor, demi kemakmuran rakyat Indonesia ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun