Literasi tidak hanya mencakup baca dan tulis saja. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya. Lebih lanjut, literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan, dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan (UNESCO 2003). Begitu pentingnya literasi bagi kehidupan manusia terutama di masa informasi ini berbanding terbalik dengan budaya literasi di Indonesia.Â
Dikutip dari Kompas (2016), berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
"Penilaian berdasarkan kompionen infrastruktur Indonesia ada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan," papar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, Sabtu (27/8/2016), di acara final Gramedia Reading Community Competition 2016 di Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta (Kompas, 2016).
Fakta diatas semakin didukung dengan banyaknya masyarakat yang mudah mempercayai berita hoax di media sosial. Jika masyarakat memiliki kemampuan literasi yang baik, maka masyarakat tidak akan mudah mempercayai berita yang belum jelas sumbernya atau berita opini yang hanya menyudutkan satu pihak saja.Â
Lalu bagaimana caranya agar masyarakat mulai dari kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa terbiasa dengan literasi? Budaya literasi bisa dimulai dengan membiasakan membaca.
Pertama, jangan memaksa seseorang untuk membaca. Kenapa? Sesuatu yang dilakukan dengan keterpaksaan tidak akan bertahan lama dan hanya akan membuat seseorang tertekan dan malah menjadi membenci. Cara yang lebih baik adalah dengan mencari tahu passion atau minat Anda terlebih dahulu. Semisal jika Anda tertarik tentang tumbuhan, maka Anda akan mencari tahu segala hal yang berhubungan tentang tumbuhan meskipun harus membaca buku setebal bantal sekalipun.Â
Kedua, hapus pemikiran bahwa remaja atau dewasa yang suka membaca atau menulis itu cupu, culun, tidak gaul, lugu, dan sebagainya. Meskipun hal ini terlihat sepele, namun bagi remaja atau individu yang sedang mencari jati diri labeling seperti itu bisa sangat mempengaruhi konsep diri mereka.Â
Ketiga, jika Anda bisa bermain game, menonton drama korea, ataupun nongkrong di cafe selama berjam-jam, maka seharusnya tidak sulit meluangkan waktu beberapa menit untuk membaca. Awalilah dengan menerapkan membaca buku sehari satu lembar. Jika dirasa masih terlalu berat, biasakan sehari satu halaman. Bagian terpenting bukan berapa banyak yang dibaca dalam sehari namun rutinitas atau kontinu setiap harinya, sehingga menjadi terbiasa membaca bahkan akan merasa aneh jika sehari tidak membaca. "Budaya membaca itu hadir karena ada kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca ada jika ada rencana membaca secara rutin dan rutinitas dalam baca itu penting sekali," kata Anies (Kompas, 2016).
Nah setelah mengetahui begitu pentingnya literasi, mari mulai budayakan literasi dari diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H