Pandemi Covid-19 yang terjadi hampir di setiap negara telah memicu krisis ekonomi di salah satu negara, termasuk Indonesia. Untuk menjaga tingkat konsumsi dan meminimalkan peningkatan angka kemiskinan akibat pandemi, pemerintah memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang terkena dampak ekonomi. Namun, bantuan sosial yang seharusnya menjadi sarana stabilisasi perekonomian masyarakat, rentan disalahgunakan. Beberapa permasalahan muncul dalam penyaluran bansos, mulai dari minimnya sasaran penerima bansos, pengurangan nominal bansos, korupsi, hingga minimnya penyaluran kepada masyarakat.
Meningkatnya kasus korupsi dana bansos selalu dikaitkan dengan besarnya dana yang dikucurkan oleh pemerintah. Di masa pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah pusat dan daerah telah menyediakan anggaran terkait pelaksanaan bansos dalam kerangka Jaring Pengaman Sosial (JPS). Pemerintah pusat telah mengucurkan anggaran sebesar Rp. 405 triliun, termasuk dana kesejahteraan sebesar Rs 110 triliun. Sementara pemerintah daerah memiliki anggaran sebesar Rs 67,32 triliun, termasuk Rs 25 triliun dalam bentuk bantuan sosial untuk masyarakat.
Kerentanan terhadap penyalahgunaan kesejahteraan saat menangani Covid-19 dapat diuji dengan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada 3 Juli 2020, terdapat total 621 pengaduan masyarakat terkait penyaluran bansos. Pengaduan tersebut meliputi 268 laporan bahwa tidak ada bantuan yang diterima meskipun telah didaftarkan, 66 laporan bahwa pihak berwenang tidak mendistribusikan bantuan kepada penerima, 47 laporan penerimaan manfaat sosial yang lebih rendah, 31 laporan penerima manfaat fiktif (nama tidak termasuk dalam daftar bantuan). ), 6 laporan bahwa bantuan yang diterima berkualitas buruk, 5 laporan yang seharusnya tidak menerima bantuan tetapi menerimanya, dan 191 laporan lainnya.
Menurut laporan Kabag Humas Mabes Polri, saat ini terdapat beberapa kasus dugaan korupsi kesejahteraan sosial di berbagai wilayah Indonesia yang sedang ditangani kepolisian, di antaranya 38 kasus. di Polda Sumut, Kasus Polda Jabar Desember. Polda NTB 8 kasus, Polda Riau 7 kasus, Polda Sulsel 4 kasus dan Polda Banten masing-masing 3 kasus, Polda Jatim, Polda Sulteng dan Polda NTT.
Sebelumnya, kasus korupsi dana bencana juga muncul di berbagai daerah yang terkena bencana alam, seperti Aceh, korban tsunami Nias, Donggala dan Sukabumi, serta korban gempa di Lombok. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada 87 kasus korupsi dana bencana yang ditangani polisi, kejaksaan, atau KPK dalam satu dekade terakhir. Titik rawan korupsi dana bencana dimulai pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan pemulihan/rekonstruksi daerah bencana. Nilai kerugian korupsi pemerintah dalam Dana Bencana juga cukup tinggi, mencapai ratusan miliar rupiah.
Pada 2005, BPK juga menemukan bukti korupsi dana bencana tsunami di Aceh dan Nias senilai Rp 150 miliar. Pelakunya adalah pimpinan daerah, pejabat atau pejabat menteri, pejabat pemerintah dari lembaga perlindungan sipil daerah, dan perseorangan. Terdapat indikasi penyelewengan dana di Provinsi Banten untuk tahun anggaran 2014-2015 sebesar 114.760 juta euro. Ancaman hukuman bagi koruptor dengan dana bantuan sosial, promosi atau bencana sangat tinggi. Pasal 2 (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Penghapusan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam dana bencana.
Menurut koordinator Departemen Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa penyebab penyalahgunaan dana bansos ada beberapa penyebab: Pertama, database kacau, dimana penerima selalu banyak dan karena membingungkan. data penerima bansos Data tidak akurat. Kedua, lemahnya pengawasan dan audit untuk meminimalkan penyalahgunaan dana kesejahteraan. Pasalnya, pemerintah belum memiliki rencana serius untuk memantau dana bansos mulai dari penyaluran hingga pelaporan.
Dalam hal ini, kerawanan penyalahgunaan dana kesejahteraan pada masa pandemi Covid-19 yang membuka kemungkinan korupsi kepada pihak yang tidak bertanggung jawab, disebabkan oleh tidak adanya pelayanan publik yang transparan dan bertanggung jawab dalam penyaluran dana kesejahteraan kepada masyarakat dari Tengah. di tingkat daerah. Untuk mencegah korupsi dana bansos Covid-19 dan agar alokasinya lebih tepat sasaran, maka diperlukan sistem pelayanan publik yang transparan dan akuntabel, di mana penyaluran bansos dikontrol secara ketat hingga menjangkau masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfedo, J. M. (2020). Sistem Informasi Pencegahan Korupsi Bantuan Sosial di Indonesia
Bahtiar, R. A. (2020). DAMPAK COVID-19 TERHADAP PERLAMBATAN EKONOMI.