Sebuah informasi muncul di gawai saya sekira sebulan yang lalu, tepatnya tanggal 12 November 2018, tertulis:
"selamat kepada tim yang startup yang berhasil lolos ke tahap Demo Day di Jakarta. Â Tahap dimana kalian akan dipertemukan dengan inkubator, akselerator, investor, dan media untuk kalian promosikan startup kalian di tingkat nasional. Segera persiapkan pitching, dan kelengkapan promosi yang menarik!"
"ini beneran?" tanya saya kepada Inne, istri saya. Ia mengangguk pelan dan tersenyum simpul.
"Alhamdulillah" ujar kami berbarengan, dan langsung menghubungi dua anggota dalam tim untuk mengabarkan kabar baik ini. Siapa yang menyangka, sebuah masalah dan ide kecil membuat kami berempat mendapat kesempatan untuk bicara pada skala nasional.
Tunggu dulu, ini emang lagi  ngomongin apaan, sih?
jadi cerita begini, sekira dua bulan yang lalu, kami (Inne, Yusna, Bejo, dan saya) mengikuti sebuah acara yang diadakan oleh sebuah Badan Nasional yang mengurusi soal Ekonomi Kreatif. temanya soal membangun Start-Up atau sederhananya usaha rintisan berbasis digital. acaranya dilaksanakan di salah satu hotel di Kota Balikpapan selama dua hari.
Pada hari pertama, Inne datang sendiri dan katanya di dalam ballroom hotel tersebut banyak anak-anak muda yang semangat belajar bagaimana merintis dan membangun usaha. Di hari kedua, saya penasaran ikut acara ini, dan benar saja, ada sekira 30 orang anak muda yang antusias mendengarkan setiap pemaparan dari mentor soal bisnis rintisan.
Tapi persoalannya, kami bukan pebisnis, dan sangat awam di dunia programming/coding, dua hal yang setidaknya menjadi alasan kuat bagi kami untuk berhenti di awal dan fokus pada hal lain.
Namun, setelah mengikuti acara ini, persepsi diatas lantas buyar, para peserta tidak langsung dihadapkan oleh persoalan teknis soal membuat program aplikasi tetapi lebih mendasar lagi, soal masalah yang ada dan tawaran solusi yang diberikan atas solusi itu, walaupun baru berbentuk ide.
Lalu apa masalahnya?
Selama dua tahun terakhir, Inne dan Yusna mengelola taman baca secara swadaya di Pasar Tradisional Klandasan, Namanya Pena dan Buku. Selama dua tahun, koleksi buku di Pena dan Buku terus bertambah yang didapatkan dari para donatur. Namun disisi lain, selama ini biaya operasional sewa kaos masih dibiayai dari kocek pribadi, yang artinya keberlanjutan operasional kios amat sangat rentan. Hal ini juga yang menjadi masalah klasik bagi taman baca masyarakat.
Masalah lain adalah soal harga buku. harga buku di Luar Jawa, khususnya di Balikpapan tergolong mahal bila dibandingkan di pulau jawa, pun bila membeli via online, ongkos kirim juga  tidak murah.
Dari dua masalah ini, tercetus ide untuk membuat kanal berbagi buku melalui sistem sewa yang menghubungkan antara pencari buku dan pemilik buku yang pada akhirnya bisa memberdayakaan taman baca masyarakat.
Kanal berbagi buku melalu sistem sewa ini bernama Sebuku. Pada awalnya baru berbentuk ide sampai akhirnya kita dibantu oleh Agus Bejo yang membangun aplikasi berbasis web, dan menerjemahkan ide ini pada tatanan aksi.
Nah, singkat cerita, Sebuku terpilih menjadi Terbaik I dan berkesempatan melakukan pitching (presentasi) di jakarta.
Tapi persoalan lain muncul, selain menyiapkan pitching, kami juga diwajibkan untuk menyiapkan sarana promosi seperti kartu nama, flyer, brosur, banner untuk kebutuhan stand booth, dan waktu yang tersisa hanya 2 hari.
Bayangin aja, dengan waktu yang terbatas kami harus putar otak mencari sarana promosi yang efektif dan juga murah, maklum saja biaya tersebut harus kami siapkan sendiri. Â Flyer sepertinya bukan jadi pilihan, terlebih saat ini orang lebih aware dengan postingan digital seperti e-poster, sedangkan banner dan kartu nama bisa kami buat di percetakan di Jakarta, tapi masih ada yang kurang, kami pengen buat brand Sebuku yang mudah dilihat, dan pilihannya adalah Kaos.
Tapi apa bisa bikin kaos dengan desain custom yang bisa jadi sehari? Dan pertanyaan lanjutannya, kalaupun ada, biayanya murah, gak?
Setelah googling, dua pertanyaan itu tidak bisa dijawab mudah, karena yang terbatas/limited biasanya tidak bisa cepat dan mahal, dan yang murah biasanya harus dibuat massal untuk menekan biaya operasional.
Ditengah kegalauan, baru teringat salah seorang teman yang baru merintis usaha Sablon kaos, Namanya Sindhu.
Kucoba hubungi via WA. Â
"Bro, mau tanya, bisa pesen kaos satuan kah? Tapi bisa jadi sehari?"
"Bisa banget, kirimin aja desainnya via WA, kutunggu ya"
Wah, mantap bener nih, tapi saya gak langsung seneng, masih ada pertanyaan kunci
"harganya berapaan, bro?" tanya saya pakai emot nyengir
"Degh"...
Sindhu mengetikkan angka, dan boleh percaya atau tidak, harganya amat sangat terjangkau bila dibandingkan dengan yang lain.
Semua aktifitas pemesanan dikirimkan melalui pesan WA, berikut juga desainnya, dan Sindhu juga memberikan pilihan desain alternatif agar tampil lebih menarik. Dan untuk jasa desain tidak berbayar alias gratis.
"Wah, bagus banget, Bro!, dirimu bener-bener penyelamat, dah" teriak saya.
"ya memang kerjaannya, kan, sablon kaos, bro" ujarnya berusaha merendah.
"tapi tunggu dulu, kamu kesini trus toko siapa yang jaga?" tanya saya.
"ya tutup dulu, makanya gak bisa lama-lama ditinggal"
"Waduh, berabe juga ya, kenapa gak pakai jasa kurir aja? Biar efektif"
"Emang ada jasa kurir dalam kota?" tanya dia
"Wah, kuper nih, coba deh ke JNE, ada namanya layanan Intracity 4 Jam, yaitu pengiriman dalam satu kota maksimal 4 jam, dan memungkinkan barang dibayar ditempat." ujar saya.
"Wiuh, mantap, aku biasa sih pakai jasa JNE tapi untuk pengiman barang ke luar kota, baru tau kalau ada pengiriman dalam kota, makasih banyak infonya, bro" katanya senang.
Sindhu merintis usaha sejak 5 tahun yang lalu. setelah lulus sarjana jurusan desain grafis di Yogyakarta, ia memulai kerja sebagai animator di salah satu rumah produksi ternama di Jakarta. Disamping itu, ia juga nyambi menjadi desain grafis freelancer dari situs-situs jasa pembuatan desain. Setelah sekian lama berkutat di Ibukota, muncul keinginan untuk membuka usaha sendiri. Ia lantas pulang ke Balikpapan.
Usahanya dinamai C7 atau dibaca secara terpeleset menjadi Ci Tujuh atau  Setuju. Sindhu punya alasan tersendiri mencantumkan nama itu. bukan  karena fans Cristiano Ronaldo tetapi lebih ke harapan setuju yang  artinya setiap klien yang memberikan order kepadanya harapannya akan  setuju atas hasil pekerjaannya. "tidak ada yang lebih membahagiakan  ketika melihat klien puas atas hasil pekerjaanku" ujarnya sembari  tersenyum lepas.
Pada awalnya usaha yang dibangun tidak berkaitan dengan desain grafis dan cetak sablon, tetapi ke penjualan alat tulis kantor dan usaha fotokopi. Ekosistem kebutuhan desain grafis dan animasi tidak seramai seperti di Jakarta. Sindhu pelan-pelan harus melihat pangsa pasar sembari membangun ketertarikan soal desain grafis dengan membuka kursus animasi dan desain grafis.
Di toko yang berukuran 25 meter persegi, semua order sebagian besar dikerjakan sendiri, dan ini yang membuat ongkos produksi bisa ditekan seefisien mungkin tapi tetap menjaga keberlangsungan usaha.
Sindhu dengan C7 menjadi bukti bahwa kekuatan keberlangsungan usaha, sekalipun di skala UMKM dilihat dari sejauh mana ia bisa merespon perubahan, baik dari segi pangsa pasar dan perilaku konsumen serba ingin cepat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H